LARCUS Cecilia Lika

118 19 0
                                    

LARCUS Cecilia Lika

"Kamu ini apa?"

Si gadis mungil mencengkeram gaunnya dengan gugup. Matanya yang bulat besar berbinar, terpaku menatapku.

"Seperti kuda. Seperti orang," gumamnya.

Ia berlari dengan kaki-kaki kecilnya mendekat—menginjak-injak rumput yang basah karena hujan pagi tadi—kemudian berdiri diam mengamati. Kupikir tubuhku yang berbeda dari kaumnya akan membuatnya takut, namun aku salah. Mau tak mau aku meringkik dan menghentakkan kaki saat ia mengulurkan tangan ingin menyentuh badanku. Rasanya tidak nyaman berada dekat dengan manusia, mungkin karena aroma mereka atau karena wajahnya yang ingin menangis setelah kugertak, entahlah.

Anehnya, ia tidak juga pergi.

Matahari yang bersembunyi di balik pegunungan kini bersemburat merah, menandakan gelap akan datang, dan dia bergeming. Aku tidak suka keheningan yang canggung.

"Aku disebut centaurus, manusia kuda," ujarku akhirnya.

Gadis itu melongo menggumamkan oh panjang lalu tersenyum, membuat jantungku melompat sekilas. Ia mengulurkan tangannya lagi, kali ini hendak berjabat tangan.

"Aku Lulu," ia tersipu, "Aku tinggal di Dalamar. Apa kamu pernah kesana?"

Aku menjabat tangannya, mengabaikan pesan ayah untuk tidak main-main dengan kaum manusia. Kupikir ia tidak mungkin berbahaya, apa sulitnya mengatasi manusia yang berukuran sedikit lebih kecil dariku.

"Namaku Larcus," aku membalas, "Dan ya, aku pernah ke sana bersama ayahku. Kunjungan yang tidak menyenangkan."

Lulu menelengkan kepala. Apa maksud Larcus? Bukankah centaurus itu juga warga Kerajaan Castoria, seperti dirinya? Namun sebelum aku sempat menjelaskan, telingaku menangkap suara manusia di kejauhan dan badanku sontak menegang. Bila lebih banyak manusia datang, sepertinya ini saat bagiku untuk lari. Tapi rupanya yang datang hanya seorang lagi manusia wanita.

"Seseorang mencarimu," kataku. Lulu mendelik, sepertinya sama sekali tidak percaya.

"Dari mana kau tahu?"

Sayup-sayup terdengar suara wanita itu memanggil-manggil Lulu, membuatnya seketika lesu dan menggumam kecewa.

"Aku harus pulang," ujarnya singkat, kentara sekali enggan pergi.

Entah harus merasa lega atau sedih, namun aneh, ekorku tak hentinya berdesir. Lulu memandangku terakhir kali kemudian berbalik, berlari menuju asal suara. Dan jantungku berdegup kencang melihat punggungnya menjauh. Kapan aku bisa menemuinya lagi?

"Lulu!"

Yang kupanggil berhenti dan menoleh. Mata zamrudnya....

"Apa...," ujarku gugup, "Apakah kau akan datang lagi?"

Ia tertawa.

"Pasti!" Ia melambai bersemangat.

Aku mengawasinya hilang di balik pepohonan, kemudian senyumku mengembang tanpa alasan. Seharusnya aku cepat-cepat pulang, tapi kakiku tidak mau bergerak. Tidak saat aku masih bisa mendengar suara nyaring Lulu di kejauhan.

Walau dia manusia, dia adalah teman pertamaku. Rasa hangat yang aneh pun mengii dada. Aneh, tapi begitu nyaman. Aku sengaja berlambat-lambat pulang, berharap rasa ini tak pernah hilang.

==oOo==

Beberapa tahun kemudian...

Aku menunggunya di pinggir danau. Seperti biasa. Namun kali ini, langit telah berubah ungu gelap sebelum ia datang tergopoh. Gaunnya berantakan dihiasi ranting dan daun. Rambutnya yang hitam sepanjang pinggang agak kusut diacak angin.

EVERNA SAGA lintas.masaWhere stories live. Discover now