3. Teman sebangku

87 11 1
                                    

Sepanjang perjalanan menuju kelas baru, Salsa terus mencebikkan bibirnya. Suasana di dalam maupun di depan kelas yang Ia lewati sangatlah bising, teriakan perempuan dan laki-laki saling bersautan di sana sini, saling memperebutkan tempat duduk yang mereka pilih, Salsa harap kelasnya tak sebising kelas mereka.

Salsa terjengat kaget ketika tiba-tiba tangan Sagara menutup kedua telinganya. Ketika Salsa menoleh, Sagara memasang senyum yang katanya mampu membuat siapapun yang melihatnya menjadi mabuk kepayang. Kejadian itu tak luput dari mata para murid perempuan yang berada di sana. Meleleh? Tentu saja, baru sehari menjadi anak SMA mereka sudah disuguhi adegan romantis seperti itu. Ternyata benar, menjadi murid SMA harus kuat fisik, mental dan hati.

"Gara ngapain? Salsa kan gak bisa denger kalo kupingnya ditutupin," keluh Salsa, berupaya melepas tangan Sagara.

Sagara menepis halus tangan Salsa lalu berkata, "udah jalan aja, Salsa gak suka berisik kan?"

Senyum manis tercetak di bibir gadis berambut terurai itu. Sagara dan kedua orang tua Salsa adalah orang yang paling mengerti Salsa dibanding dirinya sendiri. Tanpa merasa malu karena menjadi pusat perhatian, Salsa kembali berjalan menuju kelasnya.

"Ini beneran kelas Salsa?" tanya Sagara setelah sampai di depan kelas 10 IPA 1.

Salsa menoleh pada Sagara yang terus menatap setiap inci kelas, hal yang membuat Sagara maupun Salsa heran adalah suasana kelas yang begitu sepi meskipun sudah banyak murid yang ada di dalam kelas, berbanding terbalik dengan kelas-kelas yang mereka lalui di sepanjang perjalanan menuju kemari. Salsa memang tidak terlalu suka dengan kebisingan, tetapi berada di kelas yang sepi seperti ini membuatnya merasa takut.

"Berasa lagi kayak di kuburan," celetuk Sagara.

Apa karena kelas 10 IPA 1 ini berisikan murid-murid pintar? Pikir Sagara. Tong penuh gak ada bunyinya, seingat Sagara itulah peribahasa yang pernah dikatakan Mamahnya, orang pintar tidak banyak bicara seperti Sagara yang cerewet. Loh tunggu?

"Salsa kok takut ya, Gara."

Digenggamnya tangan Salsa yang tengah mematung ketakutan oleh Sagara. Salsa adalah tipikal orang yang sulit membangun komunikasi, Sagara tahu itu. Salsa membutuhkan orang seperti Sagara, seseorang yang banyak bicara, periang, dan peduli. Bukan si kutu buku, pendiam, atau si ambisius yang mementingkan dirinya sendiri.

"Salsa tenang aja, kelas ini tuh ibaratnya kayak Mamah sama Papah Salsa."

"Maksud Gara?" Alis Salsa mengkerut.

"Gini." Sagara memutar tubuh Salsa agar berhadapan dengannya. "Kata Mamah Gara, orang pinter seperti tong penuh, kalo dipukul gak ada suaranya, sama kayak Tante Kaila kan, Tante Kaila orang yang pinter, dia gak banyak bicara, tapi peduli sama banyak orang."

Sagara harap Salsa mengerti penjelasannya, padahal Sagara sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya Ia bicarakan ini. Cara Sagara menjelaskan sebuah perumpamaan sama buruknya dengan sang Mamah. Tujuannya hanya untuk menenangkan Salsa, sekalipun harus terlihat bodoh di depan gadis tersebut.

"Tapi Salsa gak terlalu pendiam, kadang Salsa banyak bicara," sergah Salsa.

Buntu, untuk sesaat Sagara menemukan kebuntuan, sampai akhirnya sebuah anugerah menghampiri otaknya yang seukuran baut itu. "Mungkin tongnya Salsa tumpah gara-gara Om Raihan, jadi isi tongnya tinggal setengah, makanya Salsa kadang bisa jadi pendiam kadang cerewet."

"Gara kok Salsa pusing ya? Kenapa kita harus ngomongin tong?" tanya Salsa.

Sagara memijat pelipisnya, bukan hanya Salsa saja yang pusing, Sagara malah jauh lebih pusing dengan ucapannya sendiri.

SalsaWhere stories live. Discover now