10. Harga Diri

27 4 1
                                    

Sagara tak dapat berhenti bertanya pada semesta mengapa Ia harus dipertemukan dengan makhluk seperti Rendi. Seakan tidak puas telah mengangkatnya menjadi Ketua Kelas dikelas yang mayoritasnya diisi oleh murid-murid biang onar, sekarang Rendi selalu mengganggu dan mengikuti kemanapun Sagara pergi.

Setelah berhasil keluar dari ruang ekstrakurikuler beladiri, Sagara memutuskan untuk segera pulang ke rumahnya. Namun, Rendi tiba-tiba membonceng motor Sagara lalu mengajak lelaki itu makan sebentar di warung tegal yang lokasinya tidak jauh dari SMA Pelita Bangsa. Dan parahnya, dengan tidak tahu diri Rendi meminta Sagara untuk membayar pesanannya. Lagi, Sagara hanya bisa mengelus dada sambil menahan tinju.

"Gwilwa lwo kweren bwangwet bwisa ngwalahin kwaratwe swabwuk cwoklwat," ucap Rendi dengan nasi memenuhi mulutnya.

Sagara mendengus kesal sambil menatap lelaki berseragam SMA yang duduk di hadapannya, tengah menyantap makanan dengan lahap. Sepertinya Google harus menambahkan fitur penerjemah bahasa alien di Google Translate. Beruntung Sagara pintar, jadi Ia bisa dengan mudah menerjemahkan ucapan Rendi. Ehh?

"Kapan sih seorang Sagara Alamsyah gak keren?" jumawa Sagara, membusungkan dada sambil menyeruput es teh pesanannya.

"Jangan sampe nasi di ginjal gue keluar lagi gara-gara ucapan lo," cemooh Rendi.

Sagara tertawa merendahkan. "Kalo bego jangan totalitas, dimana-mana itu nasi turunnya ke jantung bukan ke ginjal."

Baik Rendi ataupun Sagara, keduanya mengobrol dengan percaya diri menggunakan suara yang lantang. Hingga obrolan mereka terdengar di telinga beberapa murid SMA dan pengunjung yang juga berada di warteg tersebut. Rasa-rasanya mereka murid SMA yang berjurusan IPA ingin sekali membawa dua manusia paling bodoh yang pernah mereka temui di dunia itu menuju ruang praktikum biologi. Tentu saja untuk membedah perut keduanya lalu menunjukkan sistem pencernaan kepada Sagara dan Rendi secara langsung.

Bahkan sangking asiknya berdebat, Sagara dan Rendi sampai tidak sadar jika tengah jadi bahan ghibahan oleh bapak kuli bangunan yang kebetulan sedang makan di warteg sepulang bekerja dan ibu berbadan subur pemilik warung.

"Walaupun saya cuma Sekolah sampai kelas 6 SD, tapi setahu saya nasi tuh gak pernah lewat ginjal apalagi jantung kan ya, Pak?" tanya Bu Wiwik memastikan, wajahnya benar-benar serius.

"Iya Bu, dari sudut pandang saya sebagai tukang aduk semen, nasi itu lewatnya lambung deh kayaknya." Pak Beni juga masih di ambang keraguan akan jawabannya.

"Memang lewat lambung," celetuk salah seorang murid SMA yang mengenakan jaket serta kacamata. Lelaki itu tengah berkutat dengan bukunya.

"Loh, kalau begitu mereka salah semua?" tanya Bu Wiwik.

Murid SMA itu membetulkan kacamatanya lalu mengangguk.

"Anak SMA Pelita Bangsa kok sekarang bodoh-bodoh ya? Padahal setiap tahunnya selalu menghasilkan lulusan terbaik di kota ini," ujar Pak Beni.

"Jangan dipukul rata, Pak. Gak semua murid SMA Pelita Bangsa sebodoh itu," tukas Alvin, tak terima ikut dicap sebagai murid bodoh. Ia lalu melirik ke arah dua manusia yang masih bercekcok. "kayaknya mereka berdua adalah murid paling bodoh yang pernah ditampung SMA Pelita Bangsa," lanjutnya setengah menghina.

"Lo beneran gak makan?" tanya Rendi, setelah mereka lelah berdebat.

"Gak."

"Serius? Makanan sini enak banget loh," goda Rendi.

"Gak."

"Gini deh, biar gue yang bayar es tehnya. Sisanya lo yang bayar. Gimana?" tawar Rendi.

Cih! Penawaran macam apa itu?!

SalsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang