4. Ketua kelas X IPS 5

75 8 0
                                    

Setelah sampai di luar kelas Salsa, Sagara berjalan santai menuju kelasnya. Masa bodoh jika tidak mendapatkan bangku sekalipun, toh masih ada bangku guru. Bercanda, Jangan percaya jika dia akan melakukan itu. Sagara memang anak yang nakal, tetapi dia punya sopan santun, jika dia ingat.

Belum masuk ke dalam kelas saja Ia sudah pusing mendengar teriakan-teriakan yang saling bersahutan dari sana. Sagara terus-menerus membatin, Ia pikir kelas X IPS 5 akan setenang kelas X IPA 1. Namun, realita malah sebaliknya. Sial! Orang-orang bodoh memang berisik.

Apa kabar dengan dirinya sendiri?

"Berisik!" bentak Sagara.

Suara riuh tadi mulai senyap, mereka yang ada di dalam kelas spontan menoleh ke arah lelaki yang kini tengah berdiri di pintu masuk, dengan tangan yang Ia masukkan ke dalam saku celananya.

"Udah pada SMA, kelakuan kaya anak Tk!" caci Sagara.

Wajah lelaki itu terlihat benar-benar sedang marah, sampai membuat teman-teman sekelasnya tak berani berkutik, paling-paling ada beberapa murid yang diam-diam menarik bangku yang Ia rebutkan tadi mendekat. Namun, direbut lagi dengan cara yang sama oleh rivalnya. Mereka sampai tidak yakin jika lelaki yang masih mematung di pintu masuk itu adalah orang yang sama dengan murid yang berani meminta izin ke toilet ketika ketua OSIS sedang bertanya.

"Selamat datang Ketua kelas 10 IPS 5!" Seorang murid laki-laki yang tengah duduk bersama teman sebangkunya menyapa Sagara.

Baik perhatian Sagara maupun seluruh murid terarah kepada lelaki tadi. Ketua kelas? Apa-apaan dia itu tiba-tiba melantik Sagara menjadi Ketua kelas tanpa perundingan ataupun mengambil suara terbanyak terlebih dahulu.

"Lambemu! Apa-apaan lo main lantik-lantik sembarangan?! Gue gak mau," tolak Sagara mentah-mentah.

"Lo udah bikin semua orang takut. Cocok jadi Ketua kelas kita," kata Rendi beralasan.

"Apa-apaan sih! Gak boleh gitu dong. Kita gak boleh memaksakan kehendak orang lain," kontra salah seorang murid perempuan berkaca mata.

Sagara menghembuskan napas lega, akhirnya ada yang tidak setuju. Mana mungkin Sagara mau menjadi Ketua Kelas di kelas yang kacau balau ini. Setakut apapun mereka padanya, Sagara yakin jika seiring berjalannya waktu teman-teman barunya ini akan berani melunjak. Untung ada gadis kacamata itu, yang dari penampilannya Sagara percaya kelak akan menjadi juara kelas di kelas yang isinya para bocah gemblung ini.

"Kasih alasan kenapa lo gak setuju sama usul gue." Rendi mendesak Alya.

"Pelantikan pengurus kelas harus disetujui oleh semua murid, gak boleh cuma keputusan sepihak," tutur Alya.

Sagara manggut-manggut menyetujui. Alya, setelah perdebatan ini selesai Sagara akan berterima kasih sebanyak-banyaknya pada gadis tersebut karena menjadi orang yang paling mengerti Sagara dalam situasi ini.

"Kita harus selektif dalam memilih pengurus kelas. Dari tampangnya aja kelihatan kalo mungkin suatu hari nanti dia akan jadi bibit-bibit koruptor yang akan semakin menyengsarakan rakyat."

Anggi yang duduk tepat di samping Alya, sekaligus sahabat dari gadis tersebut menepuk dahinya. Alya selalu saja serius dalam menanggapi hal-hal yang tidak seharusnya dibawa serius. Rendi dan hampir seluruh murid pun menatap aneh kepada gadis yang masih berdiri tegak itu, seolah tengah memperjuangkan Hak asasi manusia. Mereka hanya akan memilih pemimpin kelas, bukan pemimpin negara.

"Ternyata di kelas ini emang gak ada yang bener-bener tulus bantu gue," gumam Sagara sambil memasang wajah nelangsanya.

Sagara pikir Alya berbeda dengan yang lain nyatanya sama saja. Bedanya yaitu Alya berani terang-terangan untuk menghina wajahnya dengan sebutan bibit-bibit koruptor.

"Kita lagi milih ketua kelas, bukan presiden. Kalo mau speak up tentang negara, sana jadi Mentri," kata Rendi yang membuat Alya terdiam. "Udahlah, gak usah ambil suara. Gue yakin lo semua setuju sama saran gue."

Ucapan Rendi diangguki oleh yang lain, selain tidak ingin ribet, mereka juga ingin balas dendam kepada Sagara yang telah membuat jantung mereka hampir keluar dari tempatnya. Lihat saja bagaimana mereka membalasnya ketika lelaki tersebut menjadi Ketua kelas.

"Tapi, Mppphh-"

Anggi membungkam mulut sahabatnya agar tidak protes lagi, tentu saja Anggi juga tidak ingin rencananya untuk balas dendam kepada Sagara kandas begitu saja karena Alya.

"Kali ini aja, Al, Jangan protes. Lo gak tahu apa yang ada di pikiran kita semua yang setuju buat ngangkat cowok itu jadi Ketua kelas," bisik Anggi.

Alya melepas tangan Anggi dari mulutnya. "Gue berasa hidup di masa orde baru, dimana orang-orang yang mengkritik pemerintahan harus dibungkam untuk diam."

Terserah saja, Anggi sudah bosan mendengarnya. Mungkin Alya terobsesi menjadi seorang aktivis suatu hari nanti. Ya, Anggi harap itu terkabul, agar Alya tidak salah tempat dan salah topik dalam berbicara atau menyatakan usulnya.

"Sini Pak ketua, gue udah nyiapin kursi buat lo, tepat di samping gue," kata Rendi kepada Sagara yang masih setia berdiri di ambang pintu.

Murid laki-laki yang duduk di samping Rendi menoleh ke arahnya. Kursinya tidak kosong, ada dia yang duduk di sini, bahkan dialah orang yang pertama kali menduduki kursi ini sebelum Rendi datang dan duduk di sampingnya.

"Sana cari bangku lain," usir Rendi.

"Tapi kan gue duluan yang duduk di sini, kalo lo kepengen banget duduk sama tuh orang, mending cari bangku sendiri," tolak Fahmi.

Rendi mendekatkan bibirnya ke telinga Fahmi. "Serius lo berani nyuruh kita cari bangku sendiri? Lo gak takut sama ketua kelas kita yang mukanya udah kaya macan ngamuk?"

Fahmi menoleh ragu untuk menatap Sagara. Benar saja, lelaki itu memasang wajah garangnya, terlihat menahan emosi karena tiba-tiba dipilih menjadi Ketua kelas.

"Dia lagi emosi sekarang, bisa dijadiin samsak lo nanti." Rendi menakut-nakuti.

Fahmi meneguk salivanya susah payah. Tidak, Ia tidak mau babak belur di hari pertamanya menjadi anak SMA. Jika itu sampai terjadi, tak akan ada perempuan yang mendekati. Tanpa pikir panjang lagi, Fahmi berpindah tempat duduk tepat di belakang Rendi, yang merupakan bangku paling belakang.

Rendi tersenyum puas karena berhasil menakut-nakuti Fahmi. "Lo mau duduk atau gak? Masih banyak murid yang belum dapet tempat duduk."

Dengan pasrah Sagara melangkah mendekati Rendi. Mau bagaimana lagi, memang letak tempat duduk itulah yang diinginkan Sagara. Terletak di dekat kaca baris ketiga. Sama seperti tempat duduk Salsa. Sagara menghentikan langkahnya sejenak di hadapan Alya, mambuat gadis itu menatapnya tak suka.

Alya menahan napas ketika Sagara mendekatkan wajah ke arahnya. Sagara lalu berkata, "muka seganteng ini lo katain bibit koruptor? Awas aja kalo sampe gede nanti gue jadi presiden, gue depak lo dari negara ini."

"Gak perlu repot-repot, gue bakal pindah sendiri. Kalo lo yang jadi presiden, masyarakat bakal pilih buat bikin negara sendiri dari pada dipimpin sama orang kaya lo," ujar Alya.

Sagara mendengus kesal. Entah kesalahan apa yang Ia lakukan di kehidupan sebelumnya kepada gadis di hadapannya ini ampai-sampai Alya tidak suka dengan Sagara. Tak mau berlama-lama di sana dan terus dihina, Sagara melanjutkan langkahnya menuju tempat duduk Rendi. Dengan kasar Ia menghempaskan tubuhnya sendiri di samping Rendi, terlihat sangat-sangat kesal dan frustasi.

"Lo-"

"Shhhttttt!" Dengan kasar Sagara meraup wajah Rendi yang baru saja hendak berbicara. "jangan banyak omong, penderitaan gue hari ini dan seterusnya itu salah anak laknat kaya lo," kata Sagara.

SalsaWhere stories live. Discover now