2. Hanya mendapat sisa gaji.

1.2K 73 6
                                    

Maria tersentak ketika mendapati air dingin menyiram kewajahnya. Dia mendongak mendapati Marni yang tersenyum culas memandangnya jijik. Seolah belum puas, Marni kembali melempari Maria dengan gayung yang tadi dia pakai untuk menampung air.

"Dasar pemalas. Cepat bangun dan siapakan sarapan!" Marni melewati Maria begitu saja. Dengan sengaja Marni tidak menjauhkan roda kursinya yang ada di depan jari tangan Maria sehingga dengan naas menggilasnya.

Maria menjerit sakit ketika tangannya tergilas roda. Marni hanya melihatnya sekilas lalu melanjutkan niatnya untuk keluar.

Maria mengusap jari tangannya pelan. Ingin marah, tapi dia cukup sadar dengan keberadaan di rumah ini saja orang-orang sudah tak menginginkannya.
Dia melihat jam di nakas dan baru menunjukan pukul 04. Pagi. Dia bergegas kekamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah selesai menunaikan ibadah shalat, dia pergi kedapur untuk memasak. Namun, waktu melewati kamarnya yang dulu dia dan Fiko tempati, pintu itu sedikit terbuka, dia mendapati Fiko masih tertidur sambil berpelukan dengan Sela. Hatinya sakit, namun dia mengingatkan diri bahwa Sela juga istrinya, dan wajar mereka melakukan hal seperti itu.

Marni yang bersembunyi dibelakang tembok menyeringai puas. Dia sengaja membuka sedikit pintu kamar Fiko dan Sela agar ada celah untuk Maria melihatnya yang sedang berpelukan mesra. Setidaknya wanita yang sayangnya masih menantunya itu sadar diri bahwa Fiko sudah tidak membutuhkannya lagi karena ada Sela yang menggantikannya.

Tanpa menggagu Fiko dan Sela, Maria melanjutkan langkahnya kedapur guna memasak sarapan untuk semua orang. Selesai masak, Maria membereskan seluruh rumah sampai beres. Dia melihat jam sudah menunjukan pukul 07:30 pagi, dia memutuskan untuk membersihkan tubuhnya terlebih dahulu sebelum berkumpul untuk makan. Namun, begitu dia keluar untuk makan, Maria tak mendapati sayur dan ikan yang tadi dia masak. Hanya tertinggal nasi sedikit di atas bakul.

Fiko yang masih duduk di kursi makan menatap heran kearah Maria yang memandang meja dengan tatapan kecewa. "Kenapa kamu memandang meja seperti itu?"

Maria mendudukan tubuhnya disebelah Fiko. "Kenapa kalian tidak menungguku makan?" Maria balik bertanya. Dia menyorot Fiko hampa. Padahal perutnya sudah kelaparan karena lelah dari subuh membereskan rumah.

Fiko menggelengkan kepala heran. "Bukannya kamu sudah makan?"

"Kapan?" Maria bertanya bingung. Dia belum menyentuh makanan sedikitpun, lalu bagaimana bisa dia di bilang sudah makan.

"Ibu bilang kamu makan duluan tadi." Marni memang mengatakan pada Fiko bahwa dia melihat Maria makan duluan tanpa menunggu yang lain. Fiko berpikir mungkin karena Maria sudah lapar bekerja dari subuh, makanya memutuskan untuk makan duluan tanpa menunggu yang lain.

"Dan mas percaya?" Maria menyorot Fiko kecewa. Sudah sering terbukti kalau Marni sering mengarang cerita bohong tentang dirinya, namun Fiko tetap mempercayainya seolah Marni tak pernah melakukan kebohongan sekalipun.

"Ibu gak mungkin berbohong!" Fiko agak meninggikan suaranya karena tidak suka dengan pertanyaan Maria yang seolah menyebut ibunya tidak jujur. Ibunya, wanita yang paling Fiko hormati adalah wanita terbaik dalam hidupnya. Setelah kepergian ayahnya 15 tahun yang lalu, hanya ibunyalah seorang yang membesarkannya sampai sesukses sekarang.

Maria bangkit berdiri meninggalkan Fiko yang termenung. Fiko sangat menghormati ibunya, sehingga tak mingkin dia menjelekan ibunya. Terlepas dari benar atau salahnya Marni, Fiko tetap akan membelanya walau itu artinya harus menyakiti istrinya.

Maria pergi kebelakang rumah. Dia menangis disana menumpahkan segala amarah yang terpendam. Berkali-kali dia memukul dadanya berharap rasa sakit itu mereda walau hanya sedikit.

"Sakit. Sakit. Sakit." Maria terus memukuli dadanya sampai rasa lapar diperutnya terlupakan terganti dengan rasa sakit hatinya yang tak terkira. Dia ingin marah pada Fiko, namun kewajiban seorang istri kepada suaminya masih terikat untuk selalu taat selagi masih belum melenceng dari syariat Islam.

Samar Maria mendengar Fiko memanggilnya. Buru-buru dia menghapus air matanya sebelum ketahuan.

Fiko datang menjinjing kantong di tangannya. "Ini ada nasi dan lauknya, sebaiknya kamu makan sebelum mag kamu kambuh!"

Maria menerimanya. Dibibirnya tersungging senyum kecil. Fiko masih memperhatikannya, dan itu cukup untuk Maria bertahan. Ya perhatian Fiko saja cukup untuk dirinya. Dia tidak meminta lebih, asal Fiko masih menganggapnya ada. Katakan Maria labil, namun di dunia ini hanya Fiko yang dia punya. Tentu Maria punya batas kesabaran, dan untuk saat ini, kesabaran itu masih ada selagi Fiko adil kepadanya.

"kamu tau aku belum makan?" Tanyanya penuh haru. Rona diwajahnya kembali ceria seolah baru saja mengisi energ.

Fiko mengangguk dan memperhatikan wajah Maria lekat. Dia menyadari mata Maria bengkak. Maria adalah wanita tangguh, kalau dia menangis berarti sesuatu itu sangat menyakiti hatinya. Dan Fiko tentu sadar dengan apa yang membuat Maria menangis, itu dirinya. Dirinya si laki-laki berengsek yang tega membuat wanita sebaik Maria mengeluarkan air mata, wanita yang dia cintai setulus hati, namun sekaligus wanita yang tidak bisa memberinya keturunan. "Habiskan!"

Maria mengangguk. Dalam diam dia menghabiskan makanannya ditemani Fiko. Tanpa mereka sadari seseorang mengepalkan tangannya marah menyaksikan antara Maria dan Fiko. Dia bersumpah akan membuat Fiko membuang Maria dari hidupnya.

"Aku mendapatkan gajiku kemarin." Fiko memulai kembali pembicaraan disaat makanan Maria telah habis.

Mari mendongak menampilkan senyum kecil dibibirnya. "Bagus dong."

Fiko ikut tersenyum melihat senyum muncul dibibir Maria. "Ya. Mulai sekarang kamu gak usah lagi mengatur kebutuhan rumah. Karena kata ibu, Sela lebih bisa mengatur keuangan, jadi aku kasih hampir semua gajihku kepadanya." Fiko merogoh sesuatu dari dalam sakunya. "Ini ada tiga ratus ribu untuk uang jajanmu. Kalau tidak cukup, kamu bisa memintanya lagi pada Sela."

Senyum Maria lenyap tak tersisa. Hatinya kembali pedih. Dia kira hanya dengan Fiko masih menganggapnya ada itu sudah cukup untuknya. Nyatanya, hal inipun sama menggores luka. Dengan tangan bergetar, Maria menerima uang pemberian Fiko.

"Kenapa Mas tidak mendiskusikannya denganku terlebih dahulu?" Maria bertanya tanpa melihat Fiko. Kepalanya menunduk memandang pada cekalan tangannya yang mengerat kuat pada uang. Dia kecewa, ingin marah karena tidak mendapat perlakukan selayaknya pasangan yang selalu di ikut sertakan dalam hal apapun.

"Kalau soal itu, Mas percaya kalau kamu pasti setuju dengan apa yang menjadi keputusan Mas. Selama ini kamu memang suka begitu, kan." Fiko menjawab enteng tanpa menyadari perubahan emosi wanita di depannya.

Maria tersenyum pedih. "Mas, benar. Selama ini memang aku selalu ngikutin apa yang menjadi keputusan, Mas. Tapi, itu terjadi karena Mas juga tidak pernah sekalipun bertanya hal mengenai apapun padaku. Mas lebih suka merundingkannya bersama ibu." Maria mendongak ke arah Fiko. Tatapan matanya menggambarkan kehampaan "Apa keputusan sekarang Mas mengajak Sela?"

Fiko membeku. Seakan lupa dengan satu hal. Bagaimana pun Maria selalu mengikuti keinginannya, Maria tetap saja wanita yang punya hati dan keinginan tersendiri. Fiko sadar selama ini sering melupakan akan pakta itu. "Maaf." Balas Fiko menyesal. "Harusnya Mas ajak kamu juga! Maaf sayang. Mas minta maaf." Fiko mengambil tangan Maria dan menciumnya lembut penuh penghayatan.

Maria menghela napas pasrah. Bagaimana pun itu juga sudah menjadi keputusan suaminya. Akhirnya Maria hanya bisa mengangguk membuat senyum lega Fiko terbit.

"Ya sudah. Mas masuk kedalam." Fiko berdiri dan menepuki celana bahannya yang tertempeli daun kering. Sebelum pergi, sekilas dia mengusap kepala Maria yang tertutup hijab.

Maria memandang kepergian Fiko sampai menghilang di balik pintu. Dia berdiri dan  memutuskan untuk menyusul masuk ke dalam rumah. Namun, niatnya itu harus tertunda dengan kedatangan seseorang yang kini tengah menghalangi jalannya.

***

Mawar Hitam BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang