11. Nasi goreng.

1.1K 80 2
                                    

Maria masuk ke dalam Minimarket mengikuti Gudy. Dia melihat-lihat sekelilingnya berharap menemukan Sinta. Karena tidak terlalu pokus dengan yang di depannya, dia sampai tidak menyadari Gudy berhenti di tempat membuat hidung dan dahi Maria menabrak punggung lebar Gudy.

"Apa yang kamu pikirkan?" Rudy bertanya heran. Dia melihat Maria yang tingginya hanya sebahu itu tengah menggosok hidung dan dahinya, lalu mengernyit. Apa sebegitu kerasnya tadi Maria menabraknya? hidung dan dahinya sampai terlihat memerah.

"Saya hanya sedang mencari teman." Maria menjawab sambil menahan ngilu.  Dia merutuki punggung Gudy yang keras seperti tembok. Dia bertanya dalam hati, di kasih makan apa Gudy oleh Bu Arum sehingga dapat tumbuh tinggi besar seperti sekarang.

"Siapa?" Mendadak Gudy kepo. Teman yang di cari Maria laki- laki atau perempuan. Tanpa dicegah, kepalanya celingukan kesana sini mencari seseorang yang kira-kira Maria cari.

Maria agak memicingkam mata. Namun, buru-buru dia mengenyahkan pemikiran absrud yang hinggap di otaknya. Sekelebat ingatan tadi pagi tidak dapat untuk tidak Maria pikirkan. Bagaimana bisa Gudy mengangguk mengiyakan begitu saja? "Sinta, Pak."

Gudy mengangguk paham. "Sinta hari ini ijin cuti. Ibunya sakit, jadi harus menemaninya ke Dokter." Jelasnya.

"Oh, saya kira ke mana." Maria menjawab mengerti.

"Ya sudah. Ayo, kita keruangan saya. Pekerjaanmu bukan di sini." Gudy kembali berjalan di ikuti Maria yang mengekor seperti anak ayam mengikuti induknya.

Maria di bawa masuk ke dalam ruangan yang agak luas. Ruangan itu berisi meja kerja beserta kursinya, lemari buku, sopa, dua pintu lagi yang Maria perkirakan satu pintu untuk Wc, dan satu pintunya lagi dia belum mengetahuinya. Ruangan ini tampak asri dengan berbagai tanaman di setiap sudutnya. Juga kaca jendela yang terbuka menambah udara segar masuk.

Seseorang baru saja mengetuk pintu, bergegas Maria membukanya. Dua orang laki-laki datang dengan menggotong sebuah meja dan satu orang lagi membawa kursi. Mereka meletakan meja dan kursi itu di samping kanan meja Gudy sesuai arahan yang di berikan Gudy.

"Terima kasih." Maria menunduk sekilas pada tiga orang yang baru dia antar keluar dari ruangan Gudy. Setelah memastikan orang itu pergi, Maria berbalik menghampiri Gudy.

"Untuk apa meja ini, Pak?" Maria bertanya heran.

Gudy menggeleng tak habis pikir. " kamu mau duduk di atas lantai?"

Maria berkedip. Dia melihat sopa yang terletak di tengah ruangan. "Ada sopa. Saya bisa duduk di sana." Maria menunjuk sopa dengan polosnya.

"Sopa di peruntukan hanya untuk tamu." Gudy menjawab datar.

Maria membulatkan bibirnya. "Kalau begitu, pekerjaan pertama saya apa?"

Gudy pergi ke mejanya dan mengambil beberapa berkas. Dia membawa berkas itu ke arah meja untu Maria tempati. "Cek semua laporan keuangan ini."

Maria duduk di kursi dan langsung  menghadapkanya pada berkas yang harus dia periksa. Setelah di tela'ah terlebih dahulu dan menggabungkannya dengan penjelasan Gudy, barulah Maria mengangguk paham. Dia mengerjakan tugas pertama yang di berikan Gudy dengan teliti agar tidak mendapat kesalahan sedikitpun.

Berkali-kali Gudy melirik arlojinya yang terpasang di tangan, dia tengah menunggu waktu untuk makan siang. Sungguh, tidak sabar rasanya ingin cepat-cepat merasakan Nasi goreng buatan Maria waktu itu.

Tinggal sedikit lagi Maria menyelesaikan tugasnya, Gudy sudah menyuruhnya berhenti. "Tapi ini tanggung sedikit lagi." Maria mencoba memberi pengertian.

"Perut saya lebih penting ketimbang berkas-berkas yang kamu kerjakan itu." Gudy keukeuh tidak mau mengalah.

"Baiklah." Maria memutuskan untuk mengalah. Lagipula Bosnya di sini adalah Gudy, dia di gajipun berdasaran pekerjaan yang Gudy berikan.

"Kalau begitu, Bapak ingin di belikan makanan atau di pesankan mungkin?"

Gudy menggoyangkan telujuk nya ke kiri dan kanan. "No no no. Kamu ingat poin ke 3 di surat kontrak?"

Maria mengangguk. "Jago memasak nasi goreng."  Maria mengulangnya.

"Nah," Gudy menjentikan jari dengan senyum mengembang senang. "Buatkan saya nasi goreng sekarang juga!"

"Sekarang?" Maria bertanya heran. Dia melihat ke setiap sudut ruangan. "Tapi di sini tidak ada dapur, bagaimana bisa saya memasak?"

"Ikut saya!" Gudy melangkah ke arah pintu kanan bersebelahan dengan kamar mandi yang ada di ruangan. Setelah Gudy membukanya, Maria dibuat tercengang karena di balik pintu itu terdapat ruangan yang lengkap perabotan. Ada sopa, ranjang, lemari pakaian, dan yang terpenting mini bar lengkap dengan peralatan dapur.

Gudy mengajak Maria untuk masuk ke ruang peristirahatannya. "Silahkan kamu gunakan dapurnya untuk memasak nasi goreng. Usahakan agar rasa nasi gorengnya sama persis dengan yang waktu itu saya makan!"

Maria melihat Gudy yang sudah nyaman duduk di atas sopa, dia memutuskan untuk berjalan kearah mini bar dan membuka kulkas. Sekali lagi Maria di buat tercengang, isi kulkas itu begitu lengkap dengan berbagai bahan makanan. Ada daging, sayur-sayuran, susu, dan ada banyak lagi. Lalu Maria mengambil kacang polong, wortel, bakso, sosis, kecap asin, dan bumbu-bumbu lainnya.

Ketika Maria sedang berkutat dengan alat masaknya, Gudy malah sedang tengkurapan sambil membalas pesan-pesan yang di kirimkan mitra bisnisnya. Tidak lama hidungnya mencium bau lezat yang menggugah selera, dia bangun dari tidurannya dan ternyata Maria sudah selesai memasak.

Setelah menatanya dalam piring, Maria membawa dua piring nasi dan dua gelas air putih di atas nampan. "Silahkan Pak Bos."

Gudy bangkit duduk, menerima piring yang diasongkan Maria. Di ciumnya aroma lezat yang menggugah selera, tapi ada sedikit yang aneh. Wanginya tidak sama dengan aroma nasi goreng yang pertama kali dia makan. "Kok, agak lain aromanya?"

"Memang beda." Maria memasukan sesuap nasi kedalam mulutnya, setelah mengunyah dan menelannya dia melanjutkan. "Bahan di kulkas Bapak lebih kumplit. Mungkin rasanya agak berbeda, tapi saya jamin lebih enak dari yang Bapak makan tempo hari."

Gudy meneliti tampilan nasi goreng di tangannya, penampilan cantik yang membuat air liur hampir menetes. Aromanya pun memang terasa lebih menggugah selera. Satu suapan masuk dan rasanya.... enak. Gudy bahkan sampai susah berhenti makan. Dalam 5 menit, nasi di atas piring tandas masu

Maria tertawa kecil melihat makan Gudy yang cepat, persis seperti orang yang tidak makan berhari-hari. "Apa memang se enak itu?"

Gudy mengangguk. "Lebih enak dari masakan koki di restoran tempat ngebucin Ayah sama Bunda." Jelasnya berlebihan. Dia tertawa setelahnya karena mengingat wajah kesal Bundanya setiap kali habis pulang dinner bersama Ayahnya. Ayahnya memang suka bersikap berlebihan, terutama pada seorang laki-laki yang memandang Bundanya. Padahal, belum tentu laki-laki itu suka atau hanya kebetulan nengok saja.

Maria mengangguk-anggukan kepala pura-pura percaya. Dia berdiri menyimpan Piring bekas dirinya dan Gudy, setelah itu pamit untuk undur diri. "Makanan saya sudah habis, gak enak juga kita terlalu lama berduaan. Saya keluar duluan."

Gudy mengangguk mengerti. "Silahkan."

Sebelum tangannya memegang kenop pintu, Maria berbalik ke arah Gudy. "Oh ya, Pak. Saya mau tanya, kenapa tadi pagi Bapak mengangguk saja saat Bunda bilang Pak Gudy ingin melamar saya?" Tanyanya penasaran.

Gudy yang ingin meregangkan tangannya sontak terhenti. Dengan tampang kaget dia melihat ke arah Maria. "APA?"

***

Mawar Hitam BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang