7. Lamaran pekerjaan.

1.2K 97 0
                                    

Keesokan harinya Maria bersiap untuk mengantar berkas yang diperlukan untuk melamar kerja. Setelah dirasa persiapannya sudah beres, dia mengecek sisa uang dalam dompet. 250 ribu, uang itu hanya cukup untuk makan kurang lebih dua minggu bila dapat membaginya secara cermat.

Maria memutuskan untuk berjalan kaki menuju Minimarket yang temannya ajukan semalam berhubing uangnya tinggal sedikit. Saat Maria hendak menyebrang, dia melihat seorang Ibu-Ibu yang hampir terserempet motor. Dengan cepat Maria menariknya hingga mereka sama-sama terjatuh diatas aspal jalan.

"Ibu tidak apa-apa?" Maria sibuk mengecek keadaan tubuh Ibu yang ditolongnya tanpa menghiroukan dirinya sendiri.

Arum, Ibu yang ditolong Maria hanya menggelengkan kepala. Namun matanya sontak membelalak begitu menyadari ada noda darah di siku lengan kanan gadis yang menolongnya. "KAMU TERLUKA!" Teriaknya heboh. Bahkan kini orang-orang yang mengerumun semakin banyak karena penasaran dengan teriakan Arum.

Maria melihat tangannya yang terasa perih. Disana, lengan bajunya sedikit sobek dan terdapt luka namun tidak begitu dalam. "Tidak apa-apa. Nanti saya bersihkan."

Arum menggeleng. Dengan hati-hati Arum meneliti luka pada lengan Maria. Dia meringis ngilu mendapati luka itu hampir tertutup oleh kerikil jalanan. " Luka ini kalau tidak buru-buru dibersihkan akan infeksi. Sebaiknya kamu ikut saya!"

Maria menurunkan tangan Arum dari lengannya. Maria tersenyum menenangkan, "Mohon maaf Ibu. Tapi saya ada keperluan mendesak, jadi harus segera pergi." Maria bangkit berdiri yang langsung diikuti oleh Arum. "Ibu hati-hati pulangnya ok! Assalamualaikum." Maria melambaikan tangannya kearah Arum.

Arum yang tidak sempat mencegah kembali Maria agar tidak cepat pergi, hanya bisa balik melambaikan tangan. "Wa'alaikum salam."

Maria mempercepat langkahnya ketika dilihatnya pembukaan lowongan hampir ditutup. Sinta, orang yang semalam memberitahukan ada lowongan pekerjaan pada Maria sontak menarik tangan Maria membawanya keruangan yang dikhususkan untuk mendaftarkan para pelamar kerja.

Sinta mendelik kesal. "Kenapa kamu bisa telat sih? Telat satu menit lagi saja tuh lowongan udah tutup. Padahal semalam aku udah beritahu kalau lowongannya ditutup jam 14:00. Mana interviuw-nya sama Bos besar lagi!"

Maria meringis merasa bersalah. "Sorry. Dijalan tadi ada kendala."

"Udahlah, yang penting lamarannya juga masih bisa masuk." Sinta mengibaskan tangan kemudian dia meneliti penampilan Maria yang acak-acakan. Sontak matanya membelalak terkejut mendapati darah di siku lengan kanan Maria. Dia memegang luka itu dengan hati-hati dan meringis ngilu. "Kamu abis kecelakaan?"

Maria mengangguk, dia menepis pelan tangan Sinta di lengannya. "Gak apa-apa Sinta. Nanti aku bersihkan."

"Udah sini!" Sinta membawa Maria kepojok ruangan dan mendudukannya di kursi. Dia pergi sebentar mencari P3K. "Kenapa bisa kecelakaan?"

Maria meringis ketika Sinta membersihkan kerikil batu di siku lengannya." Tadi ada Ibu-ibu mau keserempet motor. Karena panik, refleks aku menariknya hingga kami terjatuh bersama."

Sinta memberi perban sebagai sentuhan terakhirnya dalam mengobati luka Maria. Dia menutup kembali peralatan P3K dan menyimpannya ditempat semula. "Oh, itu sebabnya kamu terlambat."

"Sebenarnya... karena aku jalan kaki juga sih."

"APA!" Sinta berteriak. "Kenapa gak naik angkutan umum saja?"

"Aku perlu menghemat uang."

Sinta menghembuskan napas perlahan. Maria adalah temat masa SMA nya dulu. Sinta mengenal baik kepribadian Maria yang selalu menghemat uang demi meringankan sang Nenek. Bahkan Sinta tau, Maria selalu kerja paruh waktu demi menutupi kekurangan kebutuhan hidupnya dan sang Nenek. Karena kendala ekonomi juga Maria tidak dapat meneruskan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi. Hingga setelah lulus SMA, Sinta dan Maria sudah jarang bertukar komunikasi sampai akhirnya Sinta mendengar kalau Maria menikah tidak lama setelah Neneknya meninggal dunia. "Kalau kamu butuh uang, aku ada kok. Walaupun tidak banyak, tapi jangan sungkan untuk ngomong. Aku sedih lihat kamu gini!"

Maria tertawa pelan. "Iya, Ibu Sinta yang cantik."

Mengingat sesuatu, dengan hati-hati Sinta bertanya. "Maaf Maria, bukannya kamu sudah menikah? Apa suamimu berpenghasilan sedikit sehingga kamu harus ikut kerja?"

Maria menggeleng. Dia tersenyum kecil. "Aku udah cerai."

Sinta membekap mulutnya tak percaya. "Maaf."

Maria mengangguk. "Tidak apa-apa. Lagian itu juga sudah berlalu." Maria tersenyum menenangkan.

Seorang wanita memanggil Maria untuk segera melakukan wawancara. "Maria Nurindah. Silahkan masuk kedalam ruangan untuk melakukan wawancara!"

Maria berdiri setelah berpamitan dengan Sinta. Dia tersenyum karena melihat Sinta menyemangatinya dengan mengucapkan kata semangat tanpa suara. Maria membalasnya dengan mengacungkan kepalan tangan keatas.

Ketika pintu terbuka, Maria hanya bisa mematung kaku. Disana, disebrang meja terduduk laki-laki yang masih segar diingatannya. Laki-laki yang salah memasuki rumahnya dan memakan sarapannya. Jangan lupakan juga yang memanggilnya pembantu.

Gudy yang duduk disebrang mejapun tak kalah terkejut. Dia tidak tahu ini adalah sebuah keberuntungan atau bukan. Keberuntungan karena bisa memanfaatkan kesempataan ini untuk kembali bisa merasakan nasi goreng buatan perempuan ini, atau kesialan karena sejujurnya dia masih malu dengan kejadian waktu itu.

Gudy berdehem sebentar dan mempersilahkan Maria untuk duduk.

Maria menggeser sedikit kursi sebelum mendudukan dirinya. Dia menunggu Gudy untuk bertanya mengenai sesi wawancara mengenai pelamarannya. Namun yang ditunggu masih diam tak bersuara. "Ehm.." Maria berdehem untuk mengkode agar laki-laki dihadapannya segera memulai.

Gudy menegakan punggungnya dan meluruskan dasinya yang padahal tidak bengkok sama sekali. "Baiklah. Nona Maria Nurindah, perkenalkan namamu!" Gudy mengajukan pertanyaan dengan gaya berwibawa.

Maria agak tidak paham dengan pertanyaan Gudy. Gudy menyuruhnya untuk memperkenalkan namanya namun Gudy sendiri sudah menyebutkan namanya terlebih dahulu. Jadi, apakah Maria harus mengulang kembali namanya?

Melihat ketidak ada kebingungan di mata Maria. Gudy kembali mengulang pertanyaan yang lebih jelas. "Maksud saya, perkenalan Diri. Ceritakan tentang diri Anda!"

Maria mengangguk paham. "Saya lulusan sekolah menengah atas. Sebelumnya saya tinggal di Lebak Bulus dan pindah ke Kuningan untuk menempati rumah peninggalan Mendiang Nenek. Saya siap bekerja keras agar hasil dari pekerjaan saya bisa memuaskan."

"Apakah Nona mempunyai pengalaman kerja?"

Maria mengangguk. "Saya pernah bekerja paruh waktu saat sekolah menjadi Kasir disalah satu Restoran siap saji!"

Gudy mengangguk. Dia memeriksa fotocopy-an Ijazah Maria. Nilainya cukup memuaskan untuk ukuran anak Sekolah yang waktunya digunakan sebagian untuk bekerja. "Apakah Nona tidak keberatan bekerja sampai larut untuk mengenal sistemnya?"

"Saya sangat paham bahwa sebagai pendatang baru, saya perlu memberikan performa terbaik." Maria menjawab mantap.

Gudy mengangguk. Dia membereskan kembali berkas-berkas yang sempat dia acak kemudian menyimpannya kesudut meja. "Apakah Nona punya pertanyaan?"

"Bagaimana dengan gaji?"

Gudy tersenyum tipis. "Pegawai yang baru lulus akan mendapatkan gaji sekitar 2,5 jutaan."

Gudy berdiri yang di ikuti Maria.

"Terima kasih untuk waktunya." Maria tersenyum sopan sebagai tanda perpisahan. "Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam." Gudy membalas yang diselingi senyuman.

Setelah Maria keluar dari ruangannya. Gudy langsung menyandarkan punggungnya yang menegak selama sesi wawancara. Dia jadi bertanya-tanya, kenapa berhadapan dengan wanita itu selalu membuatnya gugup tak karuan? Beruntung barusan dia bisa mengendalikan suara dan air mukanya agar tetap terlihat berwibawa.

***

Mawar Hitam BerdarahWhere stories live. Discover now