6. Jeweran maha dahsyat.

1.4K 86 1
                                    

"Tuh Bun orangnya!" Nudy menunjuk Gudy yang baru saja sampai dirumahnya.

Arum, orang yang dipanggil Bun oleh Nudy itu menoleh pada Gudy yang baru saja sampai. Arum berkacak pinggang sambil mengetuk-ngetukan kaki kanannya kelantai karena tidak sabar menunggu Gudy berjalan mendekatinya.

"Hai Bun." Gudy menyapa sang Bunda dengan santai. Gudy sama sekali tidak menyadari bahwa sang Bunda kini tengah menahan geram ingin menggetuk kepala Gudy memakai spatula yang ada ditangannya.

"Apa hai-hai...hai-hai..." Arum memelototi Gudy dengan galak.

"Apaan sih Bun. Itu mata udah kaya mau loncat  aja." Gudy risih dipandang tak ayalnya penjahat oleh Ibunya sendiri. Dia merasa, dirinya tidak berbuat apa-apa yang bisa membuat Binda kesayangannya itu marah.

Arum, sang Ibu malah makin melebarkan matanya. Tanpa ba bi bu dia langsung menjewer telinga Gudy dengan kejam sampai si empunya menjerit kesakitan.

"Aduduh Bun. Aduh, kenapa telinga aku di jewer gini? Salah aku apa Bun?" Gudy mengusap telinganya yang memerah bekas jeweran maha dahsyat ala Emak. "Bunda ini sebenarnya Ibu kandungku apa Ibu tirinya Cinderella sih?" Gerutunya pelan.

Arum memukul punggung Gudy dengan sepatula yang ada ditangannya. "Dasar anak nakal."

Gudy melirik Nudy tajam yang kini tengah cekikikan dibelakang sana. "Loe ngomong apa ke Bunda sampai Bunda galakin gue gini?"

Nudy hanya mengangkat bahu cuek. Dia melanjutkan kembali sarapannya yang sempat tertunda karena aksi seru sang Bunda ketika mengeluarkan jurus ala Emaknya. Dia tentu saja tidak ingin melewatkan kesempatan saat-saat  Bunda menyiksa Gudy. Menurutnya ini adalah momen langka karena biasanya yang sering kena marah sang Bunda adalah dirinya.

Gudy yang tengah memandang Nudy sengit sontak kembali mengaduh ketika telinga sebelahnya lagi terkena jeweran tangan Arum. "Kenapa kamu masuk rumah orang sembarangan?"

Gudy yang diacuhkan Nudy hanya bisa mendelik kesal. Kemudian dia melihat sang Bunda yang tengah menunggu jawabannya. "Aku salah masuk rumah Bun. Aku kira itu rumahnya Bok Narsih. Ya mana aku tau nyatanya itu malah rumah orang lain."

Arum menghela napas lelah. "Kapan sih kamu dewasa? Umur udah 26 tahun masih aja kaya bocah."

"Lah, apa hubungannya?" Gudy bertanya heran.

Nyatanya bukan hanya Gudy saja yang tak paham. Dibelakang sana, Nudypun mengernyit tak paham antara hubungannya salah masuk rumah orang dan umur yang sudah dewasa. Berhubung itu masih termasuk kedalam kekesalan Bunda pada sang Kaka, Nudy tetap memilih diam menyaksikan drama live didepannya.

"Berani kamu mejawab!" Arum menjawab marah. Tak tanggung-tanggung Arum menggetok kepala Gudy menggunakan sepatula yang dia pegang.

Gudy kicep. Walaupun merasakan sakit dikepalanya bekas getokan dari sepatula, namun dia tidak berani mengusapnya karena takut salah lagi dimata sang Bunda. Dia memilih merapatkan mulutnya daripada kena omel lagi. Gudy hanya mangut-mangut saja ketika Arum memberinya wejangan tentang menjadi anak baik. Ingat wahai para anaknya Ibu, Ibu adalah seorang yang selalu benar, kalau dalam keadaan marah sering bertanya namun tidak ingin dijawab. Maka demi keselamatan jiwa dan raga, mari sama-sama kita menjadi anak patuh dan tidak melawan Ibu.

"Dengar kamu?" Arum menyudahi sesi wejangannya setelah dirasa sudah cukup. Dia merasa puas melihat Gudy diam tak berkutik.

Gudy mengangguk mengiyakan. Dia bernapas lega ketika melihat sang Bunda sudah berlalu masuk kedalam kamar. Dengan gontai dia duduk didepan Nudy yang tengah asyik melahap nasi goreng buatan Bundanya.

Melihat nasi goreng, seketika Gudy mengingat kembali rasa lezatnya nasi goreng buatan perempuan yang tadi dia temui. Rasa dari nasinya sangat membuat lidah ketagihan ingin merasakannya lagi.

"Kenapa loe Kak?" Nudy bertanya heran karena melihat Gudy tengah merenung sambil melihat nasi goreng. Dia agak sangsi kalau Gudy drop karena baru saja dimarahi Bunda.

Gudy menghela napas perlahan. Wajahnya persis seperti orang yang tengah punya penyakit menahun, tiada gairah hidup sama sekali. "Loe tau?" Tanyanya menggantung. "Gue seperti sudah tak punya harapan hidup."

Nudy menggaruk kepalanya bingung karena tidak mengerti kemana arah pembicaraannya Gudy. "Gimana maksudnya?"

"Gimana ini Nud?" Gudy makin memelas. "Gue kepengen makan lagi tuh nasi goreng!"

Nudy melirik piringnya yang berisi nasi goreng tinggal separuh, kemudian menyodorkannya kearah Gudy. "Nih!"

Gudy memandang datar Nudy. Tanpa kata dia meninggalkan Nudy yang semakin memandangnya aneh. Nudy yang ditinggal hanya mengernyit heran. Dia bertanya-tanya, apa baru saja dia melakukan kesalahan?

***

Malam hari, diruang tamu yang hanya beralaskan karpet itu berserakan koran, Maria tengah memilahnya untuk mencari lowongan pekerjaan pas dengan ijazahnya yang hanya keluaran SMA. Setelah dirasa tidak ada pekerjaan yang cocok, dia beralih ke gawainya untuk membrosing di situs internet. Maria sudah menghabis kan dua gelas kopi untuk menghalang kantuk yang datang, namun lowongan pekerjaan tak kunjung dia dapatkan juga.

Maria mengusap wajahnya kasar karena hampir putus asa. Dia mengingat-ngingat semua teman dan kenalannya yang kira-kira bisa memberinya pekerjaan. Satu persatu dia coba untuk mengkontaknya. Dari sekian banyak kontak, ada satu orang yang menawarinya untuk bekerja menjadi kasir di Minimarket. Tanpa pikir panjang Maria menerimanya dan akan mengirim surat lamarannya besok.

Setelah membereskan kekacauan yang diperbuatnya, Maria memutuskan membuat mie instan untuk mengganjal perutnya yang keroncongan. Dia menyiapkan satu bungkus mie, cabe, telur, dan sawi. Setelah mienya matang, dia membawanya kekursi dan memakannya dalam diam.

Baru saja Maria ingin membaringkan tubuhnya diatas kasur. Namun urung karena mendengar suara ketukan pintu. Dengan terpaksa dia memakai kembali hijabnya dan memeeiksa siapa orang yang bertamu tengah malam begini.

Maria membuka sedikit gorden kaca rumah. Disana, diteras rumahnya berdiri seorang laki-laki membelakangi rumahnya yang perawakannya sangat Maria kenali. Maria berdiri kaku dengan tangan memegang erat gorden.

Maria kembali menutup gorden, namun tidak beranjak dari sana. Dia berdiri menghadap pintu namun tidak ada niatan untuk membukanya. Dia benci, marah, kesal, bercampur menjadi satu. Kenapa Fiko harus mendatanginya selarut ini? Tidakah disana Sela marah karena Fiko tidak disampingnya dan malah menemui Maria yang jelas-jelas sudah menjadi mantan istrinya.

Laki-laki itu berbalik dan kembali mengetuk pintu. Dia melihat jam ditangannya dan menghembuskan napas pasrah. Dia meyakinkan hatinya kalau Maria tidak membukakannya bukan karena tak ingin bertemu dengannya, melainkan karena ini sudah tengah malam dan Maria pasti sudah tertidur. Nyatanya Maria berdiri dibalik pintu sambil memandang sakit pintu seolah pintu itu adalah laki-laki yang berdiri dibaliknya.

Setelah mendengar bunyi derap langkah yang menjauh. Maria kembali menyingkap sedikit gorden. Fiko sudah pergi menjauh dari rumahnya. Maria berjongkok terisak pelan sambil meremas dadanya sakit.

***

Mawar Hitam BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang