8. Mantan Suami.

1.7K 128 2
                                    

Baru saja Maria sampai ke rumahnya, dia sudah di kagetkan dengan kedatangan Fiko yang sedang menunggunya didepan pintu. Maria bingung antara meneruskan langkahnya atau berbalik kembali. Dia memang tidak berniat untuk menghindari Fiko, namun bila harus bertemu dalam waktu dekat jelas dia tidak siap.

Maria ingin berbalik, tapi urung saat Fiko keburu menyadarinya. Dengan mempersiapkan hati terlebih dahulu, Maria meneruskan langkahnya.

Fiko yang melihat Maria berjalan mendekatinya sontak tersenyum sumringah. Dia sudah menunggu Maria selama 3 jam. Karena kemarin malam dia tidak bisa menemui Maria, maka dia memutuskan untuk kembali menemuinya hari ini.

"Maria." Fiko memanggil nama Maria dengan luapan penuh rindu. Seperti mimpi, kini dia dapat melihat lagi wanita yang sangat dikasihinya itu.

Berbeda dengan Fiko yang terus tersenyum bahagia, Maria malah memasang wajah datar tak berminat. "Kenapa Mas Fiko kesini?"

"Mas rindu kamu, sayang!" Fiko berucap kata rindu tanpa beban seolah antara dirinya dan Maria tidak pernah terjadi apa-apa.

Maria memandang Fiko dengan sorot tak percaya. Rindu katanya? Maria sampai ingin tertawa keras karena merasa lucu mendengarnya. "Apa kaca di rumah Mas Fiko sudah pecah?"

"Kenapa bertanya seperti itu?" Fiko balik bertanya. Perlahan senyumnya luntur setelah mendengar ada nada sinis dalam suara Maria.

"Mas Fiko mengatakan rindu dengan wajah tanpa dosa begitu. Apa karena tidak pernah berkaca sehingga urat malumu putus, Mas?" Maria mengejek karena ketidak maluan Fiko dalam bertindak.

Fiko menghela napas pasrah. "Maria, Mas memang tidak tahu malu karena masih berani menemuimu setelah kata cerai itu terucap. Tapi, Mas memang bersungguh-sungguh sangat merindukanmu."

Maria memandang Fiko dengan tatapan muak. "Saya tidak butuh rindumu lagi. Jadi, silahkan untuk segera angkat kaki dari rumah saya!"

Fiko memandang Maria tidak percaya. Kilatan tak suka nampak sangat jelas dari air mukanya. "Kamu berubah Maria! Maria yang Mas kenal dulu tidak pernah berkata sesinis ini, apalagi sampai mengusir orang."

"Mas berharap saya Maria yang dulu. Maria yang dengan bodohnya selalu memaafkan segala kesalahanmu. Maria yang selalu mengalah ketika harus menerima fitnahan Ibu demi melindungimu dari rasa hormat kepadanya. Maria yang rela tidur dilantai dingin demi dirimu agar bisa tidur diatas kasur hangat bersama Istri barumu. Maria yang setiap hari mengurus Ibu. Namun, malah mendapat cacian maki darinya. Maria yang tetap tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa saat dihadapanmu, padahal jelas-jelas kamu tengah mengataiku tidak becus dalam mengurus Ibu. Apa Mas Fiko ingin Maria yang seperti itu?" Maria menyeringai sinis.

Dia tidak akan kembali menjadi Maria yang seperti itu. Sudah cukup dirinya terjebak dalam 3 tahun pernikahannya bersama Fiko. Maria bukan meyesali pernah menikah dengan Fiko, tapi hanya menyayangkan setelah semua yang dia perbuat dan korbankan tidak ada rasa bersalah sedikitpun di mata Fiko setelah menyakitinya berulang kali. "Maaf saja, Mas. Hati saya tak sekuat itu untuk kembali menerima ketidak adilan darimu!"

"Jadi kamu selama ini tidak ikhlas menjalankan rumah tangga dengan Mas, Maria!" Fiko jelas tersindir dengan semua penuturan Maria. Selama ini Fiko memang tidak begitu memperhatikan Maria. Namun, tidak berarti juga sama sekali tidak menyadari dengan semua yang terjadi. Dia berkeyakinan selama Maria tetap disisinya, maka semua baik-baik saja.

"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi di sini." Maria menjawab lugas seolah membenarkan perkataan Fiko. Teringat sesuatu, Maria masuk kedalam rumah untuk mengambil surat perceraian dari pengadilan. Dia membawanya keluar dan langsung menyerahkannya pada Fiko.

"Apa ini?" Fiko memandang nanar surat perceraian di tangannya. "Kenapa surat ini sudah ada di tanganmu? Bahkan kita belum menjalankan sidang di pengadilan."

"Kamu lupa sudah mengatakan talak waktu itu. Apa lagi memangnya yang harus ditunggu?" Maria menyeringai sambil menyilangkan tangan di dada. Dia sangat menikmati air muka Fiko yang pias karena mendapati kejutan yang tak terduga.

Berharap Maria kembali padanya, tapi malah surat perceraian yang dia dapat. Fiko membuang muka ke arah lain. "Apa sebegitu tidak bahagianya kamu menikah dengan Mas Maria? Kamu bahkan mengambil langkah perpisahan ini."

"Saya sudah mencobanya Mas. Saya mencoba untuk bahagia, tapi luka yang kamu torehkan itu terlalu dalam. Kamu bahkan tega menghianatiku dengan menikahi wanita lain. Hatiku terluka Mas. Saya hanya wanita biasa yang masih menginginkan cinta tulus dan dukungan suami, tapi yang kudapat hanya luka, luka, dan luka. Kamu menekanku untuk bisa menerima apapun yang menjadi keinginanmu tanpa bisa mengapresiasikan keinginanku sendiri."

Amarah yang selalu dia pendam selama pernikahannya kini meluap keluar. "Apa menurut Mas Fiko saya tidak menyedihkan?"

Fiko diam, namun tangannya meremas berkas perceraian dengan kuat. Dia tidak menyangka luka yang dia berikan pada Maria sampai sedalam ini.

Tapi Fiko tetap tidak bisa melepaskan Maria. Maria adalah cintanya, segalanya. Tanpa Maria di sisinya Fiko tidak bisa tenang.

Fiko memang egois, dia menginginkan anak tapi juga menginginkan Maria. Karena ketakutan Maria tidak setuju bila Fiko ingin menikahi wanita lain untuk mendapatkanseorang anak, diam-diam dia menikahi Sela. Baru setelah itu memperkenalkannya pada Maria.

Fiko jelas tdak menyadari letak kesalahannya yang membuat hati Maria sakit adalah dengan Diam-diamnya Fiko menikahi Sela. Itu merupakan penghiatan sekaligus luka terdalam yang Fiko torehkan untuk Maria.

Fiko tau Maria menangisi kesakitannya, tapi sekali lagi Fiko membiarkannya asal Maria tetap di sampingnya. Setelah Maria pergi dari sisinya, baru Fiko menyadari bahwa dia tidak bisa terus menggemgam Maria dalam duri ditangannya. Dia menyesal, sangat menyesal.

"Lalu apa yang harus Mas lakukan sekarang? Mas tidak bisa kehilangan kamu, tapi Mas juga sudah rindu di panggil Ayah. Coba beritahu Mas, Maria! Apa yang harus Mas lakukan?" Fiko sampai berlutut di depan Maria. Dia putus asa karena keegoisannya sendiri.

"Cukup untuk egois, Mas. Tidak semua hal bisa kamu dapatkan secara bersamaan. Mas menginginkan Anak, maka lepaskan saya." Maria dengan baik memberi solusi.

Fiko berdiri dari berlututnya. Dia menatap Maria sendu. "Mas pulang, tapi pasti Mas akan kesini lagi. Mas masih yakin kalau di hatimu masih ada cinta itu, cinta tulus saat kita wal menikah."

"Cinta itu sudah pudar seiring kata talak yang kamu ucapkan."

Fiko tersenyum sinis. "Wanita itu tidak mudah melupakan. Jadi, mana mungkin segampang itu kamu membuang perasaan cinta untuk Mas."

Maria melipat tangan di depan dada. Dengan gaya angkuh, Maria memandang rendah Fiko. "Apakah boleh ku katakan kalau saat ini kamu tengah mengemis cintaku, Mas?"

Fiko mengepalkan tangannya kuat sampai urat-urat di sekitar lehernya menonjol. Dia marah karena merasa harga dirinya diinjak-injak, tapi dia juga sadar kalau saat ini tengah menginginkan Maria. "Maria." desisnya.

"O, ya. Kamu tau, kenapa saya sampai berani mengajukan perceraian? Padahal, kamu sudah mengancam dengan tidak membeberkan informasi mengenai ibu kandungku bila saya minta pisah. Itu karena Sela, dengan baik hatinya dia mencarikan informasi itu. Baik kan, dia?" Sela menyeringai puas.

Sudah di pastikan Sela akan mendapat amukan dari Fiko. Maria peduli? Tentu saja tidak. Katakan Maria jahat karena sudah memanpaatkan Sela. Namun, itu juga salahnya karena masih menginginkan Fiko setelah jelas-jelas tau kalau Fiko hanya mencintainya seorang.

"Brengsek!" Fiko menggertakan gigi kesal.

"Ibumu juga. Dia kan yang memberitahu Sela. Jadi, secara tidak langsung ibumu juga sama seperti Sela."

Setelah menendang pot bunga yang keberulan ada di dekat kaki kanannya, Fiko berbalik pergi dengan hati panas luar biasa.

Senyum di bibir Maria luntur tergantikan dengan raut datar tanpa emosi. Tanpa kata, Maria masuk kedalam rumah.

***

Mawar Hitam BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang