17. Pertemuan dengan ibu kandung

1.5K 72 0
                                    

Arkan hanya diam mematung menatap Maria yang terpasang infus dari kaca di balik pintu. Maria sudah sadar satu jam yang lalu. Namun, dia sama sekali tidak ada keberanian menemuinya. Selain takut masa lalaunya terbongkar, dia juga sangat merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Maria.

"Pak Arkan."

Arkan membalikan badan pada perawat yang memanggilnya. Itu perawat Mia, perawat yang selalu merawat ibunya di rumah sakit jiwa ini. "Ada apa?"

"Ada yang mau saya sampaikan mengenai ibu Kinanti."

"Nanti saja, sekarang saya harus memantau keadaan adik saya dulu." Arkan mengusir halus perawat yang sudah berjasa mengurus ibunya ini selama belasan tahun.

"Tapi ini ada kaitannya dengan adik Pak Arkan yang di dalam."

Arkan langsung menegakan kepalanya. Dia menoleh ke arah Maria yang tengah memandang langit-langit kamar, lalu menatap kembali perawat Mia dengan sorot mata rumit. "Ayo, bicara di ruangan saya!"

"Katakan!" Tanpa basa-basi Arkan memerintahkan wanita paruh baya yang berpropesi perawat itu untuk segera menyampaikan informasi penting yang dia punya.

Perawat Mia menunduk penuh penyesalan, "maaf atas kelalaian saya, Pak Arkan. Saat saya keluar sebentar ternyata ibu Kinanti berlari ke luar kamar dan tanpa sengaja melihat adik Anda yang lagi dirawat di kamar rumah sakit ini. Bu Kinanti mengenalinya dan memaksa ingin masuk. Namun, beruntung saya keburu menghentikannya sehingga bu Kinanti berhasil saya bawa kembali ke kamarnya.

Perawat Mia menambahkan, " dari kejadian itu sepertinya saat melihat adik Anda, kesehatan bu Kianti berangsur membaik. Apa Pak Arkan tidak ingin mempertemukan bu Kinanti pada adik Anda saja?"

Arkan bergeming di tempatnya. Sekarang dia bingung harus memilih yang mana. Di satau sisi kalau dia mempertemukan ibunya dengan Maria, maka kesehatan ibunya akan membaik. Namun, di satu sisi kalau dia nekat, Arkan takut kesehatan Maria tentang traumanya akan memperburuk keadaan Maria.

Sebab itu pula selama ini dia tidak menemui Maria kecuali memantaunya dari jauh untuk memastikan Maria baik-baik saja. Arkan meremas rambutnya frustasi. Dia bingung harus melakukana apa.

"Jadi bagaimana, Pak Arkan? Apa keputusan yang akan Pak Arkan ambil?" Perawat Mia menatap Arkan penuh tuntutan. Dia jelas tahu sepenuhnya kondisi pasien yang selama ini dia rawat adalah depresi karena kehilangan seorang anak. Mempertemukannya dengan anak yang selama ini dia rindukan jelas akan membawa pengaruh baik bagi pasiennya. Dia tidak mengetahui alasan apa yang Arkan punya sehingga mencegah bertemunya ibu dan anak itu.

"Saya belum tahu. Sekarang perawat Mia boleh keluar."

"Baik, Pak Arkan."

Setelah memastikan perawat Mia keluar, Arkan memukul meja dengan keras karena saking frustasinya. "Brengsek!" Umpatnya penuh kekesalan.

Arkan keluar karena ingin melihat kondisi ibunya. Namun, begitu dia keluar dari ruangannya tubuhnya mematung kaku. Arkan menatap kaget Maria yang sudah berdiri di depan pintunya dengan linangan air mata.

Arkan tidak tahu apakah Maria mendengar semua pembicaraannya dengan perawat Mia atau tidak, tapi melihat air mata pada kedua bola matanya Arkan sudah dapat menebaknya.

"Ma-maria," Arkan memanggil terbata. Dia sampai harus memeras tenggorokannya karena mendadak suaranya terasa tercekat.

Maria tidak menjawab. Dia hanya berdiri sambil menatap Arkan dengan tatapan marah, kecewa, dan terluka. Bahkan air mata yang sedari tadi meleleh pun tidak ada yang dia susut.

Melihat Maria yang seperti ini, Arkan tak kuasa menahan air matanya. Dia menangis dalam diam menyaksikan adik yang selama ini dia jaga hancur, bahkan lebih hancur dari pernikahannya dengan Fiko.

Perlahan Arkan melangkah ingin menghampiri Maria. Namun, langkahnya otomatis berhenti saat Maria mundur. Arkan hanya bisa diam di tempat saat melihat Maria terus mundur dan berakhir berlari setelah melepas infus dari lengan kirinya.

Arkan melihat tiang infus yang tergeletak dengan titik-titik darah yang mengikuti jejak Maria. Setelah menelusurinya, ternyata jejak itu mengarah pada ruang rawat ibunya. Sontak jantung Arkan berdebar keras begitu langkahnya semakin dekat pada ruanngan itu.

Arkan mendengar suara tangisan pilu. Perlahan langkah kakinya membawa dia mendekat. Arkan dapat melihat Maria kini tengah dipeluk ibunya dengan erat. Air mata Arkan semakin deras mengalir, dia berbalik membelakangi pintu dengan badan merosot ke bawah.

Apa selama ini saya salah dalam mengambil langkah? Apa selama ini semua kesakitan Maria dan ibunya bersumber karena dirinya? Arkan menundukan kepalanya untuk menyembunyikan air mata dari orang-orang yang berlalu lalang di depannya.

Sedangkan di dalam ruangan, Kinanti tengah memeluk Maria erat. Ikatan batin tidak dapat dibohongi, walaupun putrinya kini sudah beranjak dewasa. Namun, Kinanti masih dapat mengenalinya dengan benar. Selama ini dia depresi berat karena kehilangan Maria dan saat Maria sendiri yang datang menemuinya, Kinanti tidak dapat menjabarkan rasa bahagia yang saat ini dia rasakan.

"Uri, putri mamah." Kinanti tetap memeluk erat Maria.

"Apa benar kalau aku ini putri ibu?" Maria bertanya perlahan.

Kinanti mengurai pelukannya agar dapat melihat wajah Maria dengan jelas, "Maria Nurindah, itu namamu 'kan?"

Maria mengangguk.

"Waktu kamu kecil kita berdua mengalami kecelakaan parah. Namun, saat Mamah bangun, kamu sudah pergi. Semua orang mengatakan kamu sudah meninggal, tapi Mamah sama sekali tidak percaya dan akhirnya ucapan Mamah memang benar kalau kamu masih hidup. Mamah sangat bahagia bertemu kembali dengan putri kecil Mamah." Kinanti membelai lembut pipi Maria dengan rona kebahagiaan jelas terpancar dari raut wajahnya.

Hati Maria sangat sakit setelah mengetahui bahwa ibu yang selama ini dia anggap membuangnya ternyata sangat merindukannya samapi harus dirawat di rumah sakit jiwa.

Kinanti mengusap air mata bahagianya, "kamu sudah makan?"

Mendapati perhatian untuk pertama kalinya dari seorang ibu, hati Maria menghangat. Jadi seperti ini ya kasih sayang seorang ibu. Bukannya menjawab, Maria malah menangis terisak sambil memeluk Kinanti erat. Dalam pelukan sang ibu Maria mejawab serak, "belum, aku belum makan."

"Kalau begitu Uri mau makan apa? Nanti biar mamah pesankan." Kinanti menjawab lembut sambil mengusap pelan punggung Maria.

"Aku tidak ingin makan. Aku hanya ingin memeluk Mamah sampai puas."

Dalam diam mereka saling memeluk erat melepaskan rindu yang sudah bertahun-tahun menggerogoti duka.

"Arkan, kenapa kamu duduk di depan kamar mamahmu?"

Arkan mendongak melihat ke atas, ke arah sang papa yang baru saja datang. Melihat wajah sembab anaknya, sontak Bagus Mahreja segera melihat istrinya karena takut terjadi sesuatu. Namun, saat dia melihat dari balik kaca ternyata istrinya sedang berpelukan dengan seorang perempuan muda. Bagus dapat melihat rona bahagia yang sudah lama meredup dari wajah sang istri kini hidup kembali. Sebenarnya siapa perempuan muda itu? Bagus membatin penasaran.

"Arkan, siapa perempuan muda yang bersama mamah kamu?"

***

Assalamualaikum.

Maaf semua, cerita Mawar Hitam Berdarah aku upload sampai bab ini. Namun, bila ada yang ingin membaca lebih banyak, kalian bisa melihatnya di KBM, Joylada, dan Goodnovel. Di sana MHB sudah ada banyak bab.

Sebenarnya upload di wattpad itu saya sengaja singkat, jadi otomatis cerita di KBM, Joylada, dan Goodnovel versi cerita lengkapnya.

Kira-kira MHB akan segera tamat karena sekarang sudah ada dipuncak konflik.

Sekian dan terima kasih.

Wassalamualaikum wr. wb.

Mawar Hitam BerdarahTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon