16. Kambuhnya trauma Maria

2.2K 96 2
                                    

Maria mengernyit saat mendengar ibu dari bosnya ini mengatakan kalau wajah dia dan Arkan mirip. Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya Maria juga sepemikiran dengan Arum. Namun, dia cukup tau diri, saat tahu membandingkan orang itu bukan perilaku yang baik.

"Iya, wajah den ganteng ini memang mirip sama Maria." Bok Narsih juga ikut-ikutan mengeluarkan pendapatnya.

Maria tidak mengatakan apa-apa. Namun, sebagai gantinya dia menatap Arkan penasaran. Apa benar Arkan ini kakak laki-lakinya, dia juga selalu ada setiap saat Maria mengalami bahaya. Maria merasa kalau Arkan ini memang sengaja selalu ada disekitarnya untuk memastikan dia dalam bahaya atau enggak.

Arkan sendiri yang malah balik ditatap pemasaran oleh Maria hanya mengedikan bahu acuh. Dia melengos menghindari tatapan Maria yang menuntut.

"Kenapa kita mirip?" Maria akhirnya membuka suara karena tidak tahan dengan kebisuan Arkan. "Apa karena memang benar kita sepasang kakak dan adik?"

"Kenapa kamu mikirnya kita sepasang kakak dan adik? Orang yang mirip itu banyak, mungkin kita berdua salah satunya." Arkan menjawab santai. Dia tersenyum dan menatap Maria penuh arti.

"Oh, jadi kalian bukan kakak dan adik," Arum mengangguk ngerti. Dia kira karena wajah Maria dan laki-laki yang bernama Arkan ini mirip, mereka itu sepasang kakak dan adik. Ternyata bukan.

"Mbok juga tadi mikirnya kalau den ganteng ini kakaknya Maria, loh. Soalnya mirip, tapi ternyata bukan." Bok Narsoh menambahi ucapan Arum. Dia terkekeh malu saat Arkan tersenyum mengerti ke arahnya.

Arkan mengangguk membenarkan dan tersenyum pada Arum dan bok Narsih. Namun, saat tatapannya jatuh pada Maria, dia sedikit menyurutkan senyumannya tatkala Maria masih menatapnya penasaran.

"Kamu kenapa?" Arkan bertanya saat Maria tidak juga mengalihkan pandangannya dari dia.

Maria membuang muka. Entah kenapa dia merasa kecewa mendapati jawaban Arkan yang mengatakan seolah mereka hanya dua orang asing yang kebetulan mirip. Hati kecilnya mengatakan kalau Arkan ini sosok keluarga baginya. Namun, jawaban Arkan barusan seolah menampar dengan kenyataan yang berkata lain.

Arkan merasa sakit dalam hatinya, dia tahu arti raut wajah Maria. Itu kecewa. Namun, saat ini dia todak bisa berbuat apa-apa untuk mengembalikan senyum di wajah gadis kecilnya dulu.

"Kalau Maria ada perlu dengan Arkan ini, biar saya dan Bok Narsih duluan saja. Takutnya ada hal penting yang mau kalian bicarakan. Kami duluan ya, Maria." Arum menepuk sekilas bahu Maria, kemudian dia pergi bersama bok Narsih sebelum Maria sempat menghentikannya.

"Ayo, saya antar kamu pulang!" Arkan mendekati mobilnya dan membuka pintu di bagian penumpang. Namun, dia hanya bisa menghela napas kecewa saat melihat Maria tak bergeming sama sekali.

Arkan kembali menutup pintu dan malah menyandarkan pinggulnya pada kap mobil, lalu memasukan kedua tangannya pada saku celana bahan yang saat ini dia pakai. "Apa kamu mengharapkan saya ini kakak kamu?"

Maria mendengus kesal saat tatapan Arkan menyorotnya geli.

"Idih malah ngambek. Ok, kalau kamu inginnya kita kakak berdua kakak adik, kita memang kakak adik."

Ucapan Arkan barusan sukses membuat Maria menoleh kaget. Namun, berangsur mukanya kembali datar saat mendengar tawa renyah Arkan.

"Bercanda. Serius amat, sih."

"Kamu tahu, kadang saya suka berpikir. Kenapa saya tidak bisa memingat masa kecilku? Apa mungkin saya ini pernah hilang ingatan? Namun, saat saya menanyakannya pada nenek, nenek hanya akan diam dan itu membuatku frustasi." Maria menatap Arkan dengan sorot terluka.

Maria menambahkan, "saya selalu berharap seorang yang namanya keluarga akan tiba-tiba datang menjemput dan akhirnya saya bisa hidup layaknya anak-anak lain. Namun, harapan tinggal harapan, harapan itu tidak pernah terkabul, bahkan sampai saya dewasa. Pada akhirnya datang seorang laki-laki untuk pertama kalinya mau memberikan apa yang namanya keluarga. Kami menikah dan hidup bahagia."

Arkan mengepalkan kedua tangannya yang berada di dalam saku celananga kuat sampai urat menonjol di sekitarannya. Satu persatu kaliamat yang Maria ucapkan begitu menggores hatinya. Rasa bersalah yang begitu besar tak pernah hilang dari cengkraman hatinya. Brengsek, Arkan mengumpat dalam hati.

Maria mengusap sudut matanya yang menheluarkan air mata. "Sekarang saya baru tahu, ternyata keluarga itu semu. Satu-satunya orang yang saya sangka keluarga ternyata tega menghianati dan menyakitiku." Maria menatap Arkan lekat, "apa sekarang menurutmu saya harus percaya dengan apa yang namanya keluarga?"

Bibir Arkan kelu, ingin menolak semua pemikiran Maria. Namun, dia sadar itu percuma saat Maria sudah terlanjur sesakit sekarang. Arkan terlalu takut Maria membencinya bila dia jujur tentang semua hal, termasuk alasan dia tidak menemui Maria selama ini.

Mari tertawa pedi. Bila dibandingkan luka yang Fiko torehkan dalam pernikahannya, Maria nyatanya lebih terluka akibat luka yang keluarganya torehkan.

"Maria," Fiko memanggil sedih.

"Sakit Ar, sakit." Maria meremas dadanya. "Apalagi saat Sela memberitahukan kenyataan tentang sosok ibu yang dengan sengaja menitipkanku pada nenek. Namun, sampai sekarang dia tidak kembali menjemputku. Bukankah itu artinya saya dibuang?"

Arkan terperanjat begitu Maria mengatakan tentang ibunya. Ini salah, yang diucapkan Maria barusan salah. "Dari mana Sela mengetahui informasi yang dia berikan kepadamu?"

"Ibu-nya Mas Fiko." Maria menjawab singkat.

"Itu semua bohong!" Arkan berucap marah. Tanpa kata, Arkan menyeret Maria untuk masuk ke dalam mobil miliknya. Arkan seolah mati rassa saat Mari meronta minta dilepaskan karena pergelangan tangannya sakit.

Maria terdiam kaku tatkala Arkan mengemudikan mobil dengan ugal-ugalan. Sekelebat bayangan muncul membuat rasa sakit di kepalnya terasa ditusuk-tusuk. Maria ingin menjerit, tapi vita suaranya seolah disumbat hingga hanya diam yang dia punya. Badannya gemetar seiras dengan pupil matanya yang terlihat kosong.

Sampai pada akhirnya Arkan memberhentikan mobilnya di depan Rumah sakit jiwa. Begitu dia melihat ke arah Maria untuk memintanya turun, Arkan terbelakak terkejut mendapati Maria seperti raga kosong dengan pandangan lurus ke depan.

Terperanjat Arkan menggoyang-goyangkan bahu Maria. Namun, Maria tak kunjung sadar juga. Arkan panik, mendadak otak pintarnya buntu saat menghadapi Maria yang seperti ini.

Arkan baru sadar saat kaca mobilnya diketuk dari luar. Buru-buru Arkan membuka pintu mobil dan langsung meminta bantuan pada orang-orang terutama perawat yang kebetulan lewat.

Arkan berlari mengikuti perawat yang mendorong brankar Maria menuju ruang pemeriksaan. Saat pintu akan ditutup, Arkan melihat mata Maria yang sudah terpejam rapat. Arkan memperkirakan Maria sudah pingsan, barulah dia menghembuskan napas lega.

"Bodoh!" Arkan meremas rambutnya frustasi. Harusnya tadi dia bisa menahan emosi saat dihadapan Maria. Kalau begini caranya, buat apa selama ini dia berusaha bersembunyi dari Maria?

***

Mawar Hitam BerdarahWhere stories live. Discover now