Chapter 4

5.8K 406 4
                                    

What a awkward wedding!

Pikiran itu yang melintas di benak Tari saat berada di pernikahannya sendiri. Di ballroom hotel yang luas dan sudah didekorasi sedemikian rupa, nuansa adanya pesta begitu terasa. Ballroom itu didominasi oleh warna putih. Mulai dari dekorasi hingga properti, sampai pada hal-hal yang paling detail seperti taplak meja. Para tamu undangan juga terlihat sangat menikmati aneka hidangan lezat yang disajikan. Namun, bukan itu masalahnya. Ada yang terasa janggal. Tidak seorang pun keluarga Devan ada di sana, termasuk orang tua dan adiknya, Rayhan. Devan mengatakan bahwa orang tuanya sedang berada di luar negeri. Tapi, kenapa mereka melewatkan begitu saja momen penting dan sakral seperti ini? Apalagi yang menikah adalah anak mereka sendiri.

Sudah sejak tadi kilatan lampu kamera menerpa dan menyambar-nyambar wajah Devan dan Tari. Sudah sejak tadi pula keduanya tak berhenti tersenyum. Tari merasakan mulutnya mulai pegal, dan giginya juga sudah kering. Dia melirik tangan Devan yang mengait lengannya. Pria yang kini dia sebut suami terlihat gagah dalam balutan tuxedo hitam minus dasi kupu-kupu. Sepertinya Devan tidak menyukai dasi yang menurut Tari lebih cocok disebut pita ketimbang disebut dasi kupu-kupu, sehingga Devan tidak memakainya.

"Congrats, ya! Buruan kasih kita ponakan, nggak usah pake tunda," bisik Sabrina di telinga Tari saat mereka bersalaman di pelaminan.

Tari tersenyum gugup, khawatir Devan akan mendengar bisikan kecil itu. Padahal sesungguhnya adalah hal yang wajar. Namun, rasa malunya lebih mendominasi.

Tari lalu memindahkan senyum pada teman-teman kantornya yang lain, yang mengantri ingin bersalaman dengannya.

"Pacarannya sama Rayhan, tapi nikahnya sama Devan. Kadang hidup memang selucu itu," bisik Rara, sahabatnya selain Sabrina, kemudian terkekeh geli.

"Kamu beruntung sekali menikah dengan Devan." Komentar itu salah satunya yang didengar Tari dari teman-temannya yang lain.

Tari tersenyum kecil menanggapinya. Dia kembali melirik Devan yang kini menunjukkan wajah datar. Tanpa ekspresi, tanpa senyum. Sangat kontras ketika saat mereka bersalaman dan berfoto dengan para tamu.

Tari sebelumnya memang mengenal Devan melalui Rayhan. Dan, Devan juga mengenal Tari sebagai calon istri adiknya. Selisih usia Devan dan Rayhan hanya 3 tahun. But, that's not the point. Tari tidak tahu seperti apa jati diri Devan yang sesungguhnya. Baik itu sifat, karakter, kesukaan, hal-hal yang dibenci, serta lainnya. Tari hanya tahu kalau Devan adalah seorang pengusaha muda yang sukses. Devan bisa dikategorikan sebagai salah seorang public figure non celeb. Beberapa kali Tari sempat melihat Devan muncul di media. Tapi saat itu sosok Devan bukanlah seseorang yang bisa menarik minat dan menyita habis perhatian dan pikirannya. Saat itu di kepala Tari hanya diisi oleh Rayhan, Rayhan, dan Rayhan. Lelaki berparas elok, baik, tapi sayangnya berbeda nasib dengan Devan. Sejak dia memutuskan untuk hidup mandiri dan tidak bergantung pada keluarganya, Rayhan hanyalah seorang lelaki biasa dengan kehidupan yang biasa-biasa pula. Dia bukan CEO atau direktur. Rayhan hanyalah seorang karyawan kubikel non jabatan dengan penghasilan standar, tapi mencukupi dan tidak berlebih.

***

Pesta telah usia sejak beberapa jam yang lalu. Sekarang tinggal lelahnya. Saat ini, Tari dan Devan berada di kamar presidential suite hotel tempat mereka menyelenggarakan pesta pernikahan.

Tari berbaring di ranjang pengantin mereka. Tidak ada taburan kelopak mawar merah di atas permukaan kasur. Mereka seperti layaknya tamu hotel biasa.

"Aku yang meminta agar kamar ini tidak dihias apa pun," ujar Devan seolah mengetahui pikiran Tari. Lelaki itu melepas satu demi satu pakaian yang melekat di tubuhnya.

"Oh...," sahut Tari. Jantungnya berdenyut aneh saat melihat Devan yang kini bertelanjang dada. Apa yang akan dilakukannya? Apa malam ini Devan akan meminta haknya?

'Aku belum siap!' Tari berteriak di dalam hati. Tanpa sadar dia memeluk dirinya sendiri yang mengenakan piyama tidur lengan panjang. Bukan lingerie seksi. Tari kemudian menarik selimut tinggi-tinggi dan menutupi wajahnya.

Devan berjalan mendekati tempat tidur. Dia sudah terlalu lelah dan ingin beristirahat. Namun, langkahnya terhenti. Di mana dia akan tidur? Matanya berlarian mengitari setiap sudut ruangan. Ah, mungkin di sofa itu lebih baik.

Devan lalu merebahkan tubuh di sofa itu. Diliriknya Tari yang menenggelamkan diri di bawah selimut. Devan sama sekali tidak menyangka kalau pada akhirnya mereka akan terjebak pada hubungan yang menurutnya absurd ini. Mereka hanya dua orang yang sama-sama disakiti dan disatukan dalam sebuah ikatan suci. Bagi Devan ini adalah hal paling gila yang pernah dilakukannya sepanjang tiga puluh tahun kehidupannya.

Tidak mendengar suara atau gerakan apa pun, Tari membuka mata dan mengintip setelah menyibak sedikit selimut yang menutupi kepalanya. Dia memutar tubuh dengan gerakan yang teramat perlahan. Tidak ada Devan di sebelahnya. Ke mana dia?

Menjawab rasa penasaran, Tari menurunkan selimut hingga sebatas dada agar bisa melihat lebih jelas. Matanya menyapu seluruh penjuru kamar. Akhirnya Tari menemukan Devan berbaring di sofa. Kenapa dia tidur di sana? Bukankah ranjang ini sangat besar? Bahkan, Tari rasa bisa memuat sampai empat orang.

"Devan!" panggil Tari, dan dia mendengar suaranya sendiri menggema di ruangan. Tanpa sahutan atau jawaban. "Devan!!" Kali ini suara Tari lebih keras.

Devan membuka mata. Dia hampir saja tertidur saat mendengar Tari memanggilnya. "Iya?"

"Kenapa tidurnya di sana?" tanya Tari heran.

Devan tidak menjawab. Matanya menatap lurus pada perempuan yang kini dia namakan istri. Ya, istri. Seseorang yang seharusnya akan menjadi tempat berbagi seumur hidup.

"Tidur di sini saja, Dev," ujar Tari agar Devan pindah ke sebelahnya.

'Apa aku harus tidur dengan dia?' Devan berpikir sendiri. Namun sepertinya tempat tidur besar itu terlihat sangat empuk ketimbang sofa tempatnya berada sekarang. Devan lalu beranjak dan naik ke atas tempat tidur, berbaring di sebelah Tari.

"Aku tidur duluan ya, tubuhku terasa lelah," keluh Tari meski Devan tidak bertanya.

Devan menatap wajah Tari yang kini polos tanpa riasan apa pun. Begitu kontras dengan tadi saat pesta pernikahan mereka. Tidak pernah Devan melihat Tari dalam jarak sedekat ini. Dan ternyata, Tari jauh lebih menarik dengan tampil alami seperti sekarang.

Devan tersentak. Saat ini bukan wajah Tari lagi yang dia lihat karena istrinya itu sudah tidur membelakanginya. Devan pun melakukan hal yang sama.

Dan, malam itu keduanya tidur dengan punggung saling bertatapan.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Where stories live. Discover now