Chapter 17

4.1K 251 1
                                    

Bagas sudah menunggu di dalam mobil ketika Devan muncul. Melihat Devan membawa travel bag, lelaki itu dengan sigap keluar dari mobil dan mengambil alih dari Devan setelah terlebih dahulu membukakan pintu mobil agar Devan bisa masuk.

"Jadi kita langsung ke bandara, Pak?" tanya Bagas mengkonfirmasi sekali lagi. Tadi Devan memang mengatakan padanya tujuan tersebut. Bukan bandara komersial, tapi bandara pribadi miliknya. Saat ini juga Devan akan berangkat ke Kalimantan demi meninjau sendiri lokasi proyek tempat kecelakaan kerja terjadi.

"Iya, kita langsung ke sana," kata Devan menegaskan, menjawab pertanyaan Bagas.

"Pak Devan, tadi Bi Inah bilang Mbak Tari sakit, benar begitu ya, Pak?" tanya Bagas lagi sambil melirik Devan melalui spion.

"Iya," sahut Devan dari jok belakang.

"Jadi gimana, Pak?" Bagas bertanya bingung.

"Apanya yang gimana?"

"Apa kita jadi pergi, Pak? Mbak Tari kan lagi sakit."

"Itu nggak ada pengaruhnya, Gas. Lagian dia cuma common cold kok, bukan sakit yang parah-parah banget."

"Tapi common cold juga sakit kan, Pak?" Entah mengapa Bagas tidak suka pada respons Devan yang seperti menganggap remeh dan mengabaikan istrinya itu.

"Ah, sudahlah, kamu nggak usah berlebihan kayak gitu," tandas Devan tidak ingin bicara lagi. Devan lalu teringat pada Tari. Perempuan itu tadi terlihat lemah dan pucat. Tapi, Devan segera menepis sejumput kekhawatirannya. Ada Inah yang menjaga. Lagi pula, Tari sudah dewasa. Dia pasti bisa mengurus dirinya sendiri.

Devan mengusir segala bentuk pikirannya pada Tari. Saat ini dia hanya perlu memusatkan perhatian pada pekerjaannya. Hanya itu, karena usaha dan bisnis adalah skala prioritas hidupnya kini. Dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Dan, akan selalu sama.

***

Hari berganti, kondisi Tari masih belum pulih sehingga dia tetap berada di rumah dan melewatkan rutinitasnya seperti biasa. Meskipun hari ini adalah hari Sabtu, tapi dalam kondisi normal Tari tetap masuk kerja setengah hari. Tadinya Tari pikir keadaannya segera membaik. Nyatanya dia salah, kondisinya malah semakin menurun. Tapi, Tari bersikeras mengatakan bahwa dirinya akan baik-baik saja pada Inah. Tari merasa dia tidak harus ke dokter atau ke rumah sakit.

"Makan dulu sedikit ya, Mbak Tari!" ujar Inah yang memegang sepiring nasi putih lengkap dengan lauk dan sayur.

Tari memandang tanpa selera pada piring itu. "Nggak, Bi," jawabnya menolak. Nafsu makannya benar-benar menguap. Tidak satu pun berhasil lolos melalui tenggorokannya. Bahkan, teh manis hangat yang disediakan Inah juga terasa pahit di lidah Tari.

"Bibi letakkan di sini ya, nanti kalau Mbak Tari mau makan tinggal ambil di sini aja," kata Inah seraya meletakkan piring di atas nakas. Perempuan itu lalu keluar saat mendengar bunyi bel yang menggema.

Sesaat kemudian Inah kembali ke kamar Tari. "Mbak Tari, ada Mas Arga di depan, katanya mau ketemu sama Mbak Tari."

"Mau apa dia, Bi?" tanya Tari dengan suara serak, lalu terbatuk kecil.

"Tadinya mau ketemu Pak Devan, tapi karena Pak Devan belum pulang, makanya dia nanyain Mbak Tari."

Tari menghela napas. Sebenarnya dia tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Tapi, menolak tamu bukanlah hal yang baik.

Memasang jaket, Tari turun dari tempat tidur. Inah hendak membantunya berjalan, tapi Tari menolak. Dia bukan sakit keras yang mengharuskannya butuh untuk dipapah.

Arga yang sedang menunggu di ruang tamu agak kaget melihat Tari memakai jaket di siang bolong seperti ini. Namun, begitu melihat wajah pucat Tari serta rambutnya yang acak-acakan Arga pun paham kalau Tari sepertinya sedang sakit.

"Tari, kamu sakit?" tanyanya setelah Tari duduk.

"Nggak sakit sih, cuma nggak enak badan."

"Memangnya apa bedanya nggak enak badan sama sakit? Hmm?" Entah mengapa Arga menjadi cemas melihat keadaan Tari. Wajah pucat, bibir kering dan mata sayu baginya menyimbolkan kelemahan fisik.

"Ya, beda, Arga..." Tari mencoba menerbitkan segaris senyum.

"Aku sebenarnya mau ketemu Devan, aku pikir dia ada di rumah."

"Nggak, dia lagi pergi," jawab Tari.

"Pergi ke mana?" tanya Arga lagi.

Sampai di sini Tari bingung harus menjawab apa. Apa tanggapan Arga nanti kalau dia mengatakan bahwa dirinya juga tidak tahu apa-apa mengenai keberadaan Devan saat ini?

"Tari?" tegur Arga saat melihat Tari yang mematung.

"Aku nggak tau, Ga," jawab Tari lirih. Pada akhirnya, dia terpaksa jujur karena tidak menemukan alasan yang pas untuk berbohong.

"Nggak tau?" ulang Arga heran.

Tari menunduk. Sesungguhnya dia malu. Bukan. Bukan karena Arga yang menatap lurus padanya tanpa kedip, tapi karena sebagai istri dia tidak tahu apa-apa tentang suaminya.

***

"Iya, Rel, kamu sabar ya! Aku lagi on the way, sebentar lagi sampai kok."

"Jangan sampai telat ya, Dev! Ingat, Dev, kamu satu-satunya penyemangat aku. Jadi kamu wajib datang!"

"Iya, kamu tenang saja."

Devan menyimpan kembali iPhone-nya ke dalam saku setelah menerima telepon dari Aurel yang terus mendesak agar dia segera datang ke Mega Mall, tempat acara konferensi pers perempuan itu.

Saat ini Devan baru saja berada di bawah langit Jakarta setelah kembali dari Kalimantan. Syukurlah, urusannya segera selesai sehingga dia tidak perlu berlama-lama di sana.

'Dasar nggak sabaran!' rutuk Devan di dalam hati saat ponselnya kembali berdering. Dia pikir Aurel lagi yang menelepon. Ternyata bukan. Nama Arga yang berkedip-kedip di layar ponselnya.

"Dev, kamu di mana?" Arga langsung bertanya kala panggilan terhubung, tanpa basa-basi.

"Di jalan, kenapa?"

"Tari sakit, Dev, dia butuh kamu. Nggak bisa pulang sekarang?"

"Nggak bisa, Ga, aku sibuk," tolak Devan terang-terangan.

"Sibuk apa sih? Sekarang hari sabtu, Dev, kamu nggak lupa itu kan?"

"Terus, kenapa memangnya kalo sabtu? Aku ingatkan lagi sama kamu, waktu kerja aku dua puluh empat jam. Paham?"

Sambungan langsung terputus tanpa Devan sempat mendengar jawaban dari Arga. Dia memaki sendiri di dalam hati.

***

Atrium Mega Mall sabtu ini dipadati pengunjung seperti biasanya. Selain weekend, saat ini juga berlangsung konferensi pers dari seorang model yang dikenal dengan nama Aurelia Rahardja. Aurel memang sudah memiliki nama di dunia modelling. Selain karena sepak terjangnya sebagai model tanah air yang sudah go internasional, juga karena kehidupan pribadinya. Perempuan itu juga diketahui dekat dengan Devan, pengusaha muda bertangan dingin dan tidak banyak bicara.

Dari atas panggung, Aurel melihat Devan yang baru saja muncul. Di belakang lelaki itu, asisten merangkap supirnya yang setia turut mengiringi. Aurel melempar senyum yang disambut Devan dengan lengkungan bibir. Melihat Devan tetap di tempatnya, Aurel melambaikan tangan agar Devan segera naik, tapi lelaki itu bergeming. Aurel lalu turun, menjemput Devan dan menggandeng tangan lelaki itu agar ikut bersamanya duduk di atas panggung. Tentu saja, sebagai seseorang yang istimewa yang akan dikenalkannya nanti kepada publik.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Where stories live. Discover now