Chapter 6

5.3K 372 2
                                    

"Yang tadi menelepon Pak Devan, Mbak Tari." Bagas berkata sambil melirik Tari yang duduk di jok belakang dari spion tengah. Lelaki itu seakan tahu bahwa Tari membutuhkan informasi tersebut.

"Oh..." Hanya itu respons Tari. Selebihnya mereka lebih banyak diam. Tari ingin tahu sedang berada di mana Devan sekarang. Apa yang dilakukannya? Kenapa pergi begitu saja? Namun, dia merasa sungkan bertanya lebih banyak pada Bagas.

Lebih kurang lima ratus meter sebelum tiba di rumah, Bagas kembali mengajak Tari berbicara. "Mbak Tari, rencananya mau honeymoon ke mana?"

Honeymoon? Tari sama sekali belum kepikiran akan hal tersebut. Devan juga tidak mengatakan apa-apa. Alih-alih membicarakan tentang bulan madu, untuk pembicaraan biasa saja sangat sulit untuk membuat Devan membuka mulut.

"Belum tahu mau ke mana," jawab Tari sembari tersenyum canggung. Dia merasa aneh mendengar suaranya sendiri.

Ryan, sekuriti rumah Devan membukakan gerbang lebar-lebar saat Tari tiba. Mematikan mesin mobil, Bagas bergegas keluar untuk membukakan pintu buat Tari.

"Terima kasih, Mas," ujar Tari.

"Nggak usah panggil Mas, Mbak Tari, panggil nama saja."

"Terima kasih, Bagas," ulang Tari sekali lagi.

Bagas tersenyum tipis. Begitu lebih baik. Telinganya kurang bersahabat saat mendengar istri majikannya memanggil dia dengan sebutan 'Mas'.

Tari berdiri memandang rumah besar di hadapannya. Rumah itu berbeda dengan rumah-rumah lain yang pernah dia lihat sebelumnya. Rumah Devan terlihat unik dan berbeda. Karena dibangun dengan arsitektur bergaya Prancis. Hal itu begitu terlihat dari tata letaknya yang neoklasik, serta suasananya yang terkesan Parisian chic sangat diketahui dari dindingnya yang berwarna putih-krem.

"Mari masuk, Mbak Tari!" ajak Bagas pada Tari yang masih berdiri terpaku.

Tari melangkah bersisian dengan Bagas. Kakinya kembali tertahan di depan pintu. Sedangkan, Bagas terus masuk. Sesaat setelahnya, lelaki itu kembali datang dengan seorang wanita paruh baya yang Tari kira usianya sebaya dengan ibunya.

"Selamat datang, Mbak Tari, saya Inah, pembantu di rumah Pak Devan." Wanita itu menyapa Tari dan berbicara dengan ramah.

Tari mengangguk pelan sambil membalas senyum Inah. Wanita itu sepertinya keibuan dan mengingatkannya pada Ratih, ibunya. Baru sehari berpisah, tapi Tari sudah merindukannya.

"Mbak Tari, saya tinggal dulu ya," ujar Bagas meminta izin. Dia rasa tugasnya sudah selesai.

"Makasih ya, Gas!"

Bagas mengangguk, lantas berlalu pergi.

Mata Tari masih menatap punggung lelaki itu ketika Inah mengajaknya bicara.

"Mbak Tari, mari saya tunjukkan kamar Mbak Tari dan Pak Devan." Inah mengajak Tari ke kamar utama.

Ini bukan kamar, tapi presidential suite di hotel berbintang lima. Tapi, sepertinya salah. Istana kecil sepertinya lebih cocok untuk menyebut ruangan itu. Begitu cara Tari mendefinisikan kamar Devan yang juga akan menjadi kamarnya.

"Silakan istirahat, Mbak Tari, saya tinggal dulu. Kalau membutuhkan sesuatu Mbak Tari bisa memanggil saya melalui ini." Inah menunjukkan tombol kecil yang tertanam di dinding yang terletak di samping sakelar lampu.

Tari mengernyit heran. Semua ini terasa berlebihan baginya.

"Nanti Mbak Tari tinggal tekan kalau ingin memanggil saya. Bel ini akan terhubung ke belakang dan juga kamar saya." Inah menerangkan lebih jelas.

"Jadi, saya nggak boleh memanggil ke belakang langsung?" tanya Tari bingung.

"Boleh saja, Mbak. Tapi kalau Mbak Tari sedang malas keluar kamar, tinggal tekan bel saja."

"Oh, begitu. Baik, Bi Inah, terima kasih."

Tari mengedarkan pandangan mengitari kamarnya yang besar. Dia rasa ukuran istana kecil ini lebih dari lima kali ukuran kamarnya yang sempit di rumahnya.

'Ya Tuhan, semua seperti mimpi.'

Semua ini jauh di atas ekspektasi Tari. Baginya memiliki suami yang setia, menyayangi dan mencintai dengan sepenuh hati, itu semua sudah lebih dari cukup. Dia tidak butuh kemewahan ini.

Tari lalu berjalan mengitari ruangan. Tempat tidur besar, tinggi dan terlihat sangat empuk. Satu set sofa yang tak kalah empuk dengan tempat tidur juga ada di sana. Mata Tari berlarian, mengamati apa pun yang ada di sana.

Mata bulatnya itu kini menetap pada layar datar yang menempel di dinding. Mungkin terlalu berlebihan kalau Tari mengatakan ukuran layarnya menyaingi layar bioskop yang dulu sering dikunjunginya bersama Rayhan. Tetapi, apa pun yang ada di ruangan itu membuatnya takjub.

Tari merebahkan tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar serta lampu hias berbentuk bulat-bulat kecil yang saling mengelilingi dan berkoloni. Tak habis-habis rasa kagumnya pada apa pun yang ada di kamar itu.

Mengalihkan pandangan dari langit-langit, Tari kembali menyapu setiap penjuru kamar dengan matanya tanpa melewatkan seinci pun.

'Itu kan bendera Prancis,' gumam Tari saat matanya bertemu dengan meja yang terletak di sudut kamar.

Merasa penasaran, Tari bangkit dari tempat tidur lalu berjalan mendekatinya. Tangan Tari terulur memegang pajangan bendera berwarna biru putih merah itu, lengkap dengan tiangnya. Iya, ini memang bendera negara Prancis.

Tari berpikir sendiri. Kenapa banyak sekali hal-hal yang berhubungan dengan Prancis di sini? Mulai dari arsitektur rumah, interior, pemilihan material, dan kini bendera.

Tak banyak cerita terungkap dari mulut Rayhan mengenai Devan dan keluarganya. Setahu Tari, orang tua Rayhan dan Devan sering keluar negeri, dan meskipun mereka kakak-beradik tetapi hubungan keduanya tidak begitu dekat.

Tari meletakkan pajangan bendera itu kembali. Iseng, dibukanya lemari pendingin yang berada di sebelah meja. Detik itu juga Tari terpana. Ruang matanya langsung dipenuhi oleh berbotol-botol minuman yang mengisi seluruh rak.

"Wine...," desisnya kaget setelah mengambil salah satu botol itu dan membaca label yang tertera.

Apa semua ini punya Devan? Apa dia mengkonsumsi minuman keras? Tentu saja itu punya dia. Kamar ini kan miliknya. Jadi, bisa dipastikan kalau apa pun yang ada di dalamnya adalah kepunyaan lelaki itu.

Tari meletakkan kembali botol wine di tangannya, lalu menutup lemari pendingin. Fakta yang baru ditemuinya membuat Tari kecewa. Jujur saja, bagi Tari minuman keras identik dengan hal-hal negatif. Jadi, bagaimana kehidupan Devan yang sesungguhnya?

Membawa kegelisahan, Tari membuka pintu yang ternyata menghubungkannya dengan kolam renang yang berada pada area tertutup dengan tembok-tembok tinggi mengelilinginya. Sepertinya ini kolam renang pribadi. Tari pernah melihat kolam renang serupa ini di film-film yang difungsikan sebagai tempat bercinta di dalam air.

Jadi, apakah Devan? Ah, pasti bukan. Tari membuang pikiran buruknya tentang Devan jauh-jauh.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Where stories live. Discover now