Chapter 14

4.1K 241 1
                                    

Apartemen Aurel, 14.30.

Devan melepas jas, tak lupa melonggarkan dasi, lantas menyingsingkan lengan kemeja sampai ke siku. Dirinya merasa sesak dengan atribut itu. Devan merasa butuh lebih banyak oksigen.

Saat ini Devan sudah merebahkan tubuh di atas sofa abu-abu di apartemen Aurel. Sementara, perempuan itu bergerak ke belakang untuk mengambil air putih.

Memandangi langit-langit, Devan larut dalam pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa berada di sini? Seharusnya dia sedang berada di kantor, memeriksa RAB yang sudah disiapkan manajer keuangan perusahaannya dan hanya tinggal persetujuannya saja. Nyatanya, dia malah berada di sini; di apartemen Aurel. Perempuan yang berprofesi sebagai model itu seolah mempunyai kekuatan magis yang membuat Devan takluk padanya.

Sebut saja Devan lemah. Tapi, jangan hubung-hubungkan dengan profesi dan apa pun yang dia miliki. Cinta adalah masalah rasa. Siapa pun pernah memiliki rasa itu, atau minimal merasakannya. Jangan pernah bilang, tidak masuk akal, masa seorang sultan bisa lemah di tangan mantan. Walau bagaimanapun sultan tetap manusia. Kuat oleh harta dan lemah karena rasa. Sekali lagi, masalah hati memang susah untuk dimengerti.

"Dev, ini minum dulu." Aurel kembali muncul dengan segelas air putih, lantas menyuruh Devan meminumnya setelah meletakkan di atas meja.

Devan bangkit dari posisinya berbaring, lalu duduk dan meneguk sampai tandas air di dalam gelas. Lelaki itu akan berbaring kembali ketika Aurel menyuruhnya pindah ke dalam.

"Tidur di kamar saja, Dev, nggak enak di sini."

Devan melirik sekilas ke arah kamar Aurel. Pintunya yang terbuka lebar membuat Devan bisa melihat dengan bebas isi di dalamnya. Tempat tidur besar dengan bed cover berwarna merah muda bermotif bunga-bunga kecil seakan mengundangnya untuk datang.

"Ayolah, nggak apa-apa kok, nggak usah kayak orang asing gitu." Aurel menarik tangan Devan agar berdiri.

Seperti terbius, Devan pun memenuhi keinginan mantan kekasihnya itu. Masuk ke kamar dan merebahkan tubuh di kasur yang empuk.

"Kamu istirahat aja ya, aku mau kerja sebentar, ada beberapa foto yang mau aku edit." Suara Aurel terdengar mendayu-dayu di telinga Devan, seperti seorang ibu yang membujuk anaknya untuk segera tidur.

Devan terhipnotis. Aroma white musk yang menguar dari tubuh Aurel terhirup oleh hidungnya saat perempuan itu mengecup keningnya. Pun dengan rambut panjang Aurel menjuntai hingga menyentuh pipinya.

Aurel tersenyum saat Devan mulai memejamkan mata. Perempuan itu bergerak menuju meja kerjanya, kemudian menyalakan MacBook yang layarnya terbuka sejak tadi.

Sekali lagi, Aurel memandang Devan yang sepertinya sudah terlelap. Senyumnya pun merekah. Dia kembali menatap layar MacBook dan membuka sebuah folder berisikan foto-fotonya. Hampir semua foto-foto Aurel di dunia modelling, dia yang mengeditnya. Sehingga foto-foto tersebut sangat menarik untuk dilihat.

Baru beberapa menit Aurel mengedit fotonya, konsentrasinya pecah seketika kala mendengar suara handphone. Bukan miliknya, tapi punya Devan. Terpaksa Aurel mengalihkan perhatian karena telanjur merasa terusik. Dengan langkah pelan Aurel melangkah mendekati tempat tidur, mengambil ponsel Devan yang terletak di atas kasur. Sepertinya Devan sudah benar-benar tertidur lelap, buktinya dia tidak mendengar ada panggilan masuk di ponselnya.

Aurel menggeram saat melihat nama Amel berkedip-kedip di layar. Pasti sekretaris Devan itu menelepon untuk meminta Devan kembali ke kantor dengan alasan inilah, itulah, ada yang harus ditandatangani dan segala macam.

Aurel langsung mereject panggilan itu, tapi Amel tidak menyerah dan terus memanggil. Setiap ada panggilan masuk, setiap kali juga Aurel mereject sampai akhirnya Amel menyerah. Aurel pun menerbitkan senyum puas. Perempuan itu kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.

Entah berapa lama Devan tertidur. Saat membuka mata Devan melihat Aurel berbaring di sebelahnya sambil menatapnya tanpa kedip. Tangannya melingkar pada tubuh Devan, sementara bibirnya mengulas senyum yang tidak tahu Devan namakan dengan senyum apa. Entah mesra, lembut, menggoda, atau jenis-jenis senyum yang lain.

Cahaya terang dari lampu kamar Aurel membuat Devan berpikir sesuatu. Kalau lampu sudah menyala itu artinya hari sudah gelap. Apa hari sudah malam? Rasanya baru beberapa jam Devan tertidur.

Aurel buru-buru menahan Devan yang berniat duduk. "Mau ke mana, Dev?"

"Aku harus ke kantor sekarang. Ada dokumen yang harus kutandatangani."

"Sudahlah, Dev, besok kan bisa. Nggak harus sekarang, kan? Lagian ini sudah jam delapan malam."

Devan mengusap wajah. Ternyata selama itu dia tertidur. Saking nyenyaknya dia sampai tidak tahu waktu. "Aku harus pulang sekarang, Rel." Devan kembali berniat duduk, tapi Aurel lagi-lagi mencegahnya.

"Nanti aja, Dev, kita makan dulu ya, aku udah masak buat kamu."

"Lain kali aja, Rel, aku masih kenyang," tolak Devan. Dia ingin pulang sekarang dan tidak ingin berlama-lama lagi di sini.

"Ayolah, Dev, cuma sekali-kali kok, kamu nggak kasihan sama aku? Aku udah capek-capek masak cuma buat kamu padahal." Aurel memasang wajah memelas, senjata terampuhnya untuk meluluhkan Devan.

"Memangnya kamu masak apa?" Seperti dugaan Aurel, Devan mulai melunak.

"Tentu saja kesukaan kamu, Dev..."

"Chicken katsu saus barbeque?" tebak Devan. Itu memang makanan favoritnya. Devan sangat menyukai olahan ayam. Dan di antara semua, yang dia sebutkan tadi adalah jenis yang sangat Devan gemari.

Aurel mengangguk cepat. "Udah yuk, kita makan dulu."

Devan menyerah untuk kesekian kali. Lelaki itu bangkit dari tempat tidur, lalu masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka, sedangkan Aurel menata piring di meja makan. Dia juga sudah menyiapkan red wine untuk hidangan penutup mereka nanti.

"Mau pake nasi, Dev?" tanya Aurel saat Devan keluar dari kamar mandi dan kini menyusulnya ke meja makan.

"Nggak usah," tolak Devan. Dia memang sudah membiasakan diri untuk tidak makan nasi putih saat malam. Dan, Aurel tahu persis hal itu. Mungkin dia hanya ingin memastikan.

Aurel menata chicken katsu hasil olahan tangannya ke piring putih besar serta menatanya dengan salad dan juga kentang goreng.

"Gimana rasanya?" tanya Aurel ingin tahu.

Devan mengacungkan jempol tanpa suara.

Aurel tersenyum. Puas rasanya bisa membuat Devan senang dengan hal-hal sederhana seperti ini.

"Dev, lusa aku ada konferensi pers, kamu temani aku ya! Kamu tahu nggak, kamu adalah satu-satunya orang yang selalu buat aku tetap semangat raih apa yang aku impikan selama ini, salah satunya ya jadi model."

"Kayaknya aku nggak bisa, Rel. Lusa aku nggak ada jadwal kosong," ujar Devan sembari mengingat-ingat schedule-nya.

"Ayolah, Dev, aku mohon luangkan waktu kamu sebentar saja, Dev. Paling lama cuma satu jam kok." Aurel terus membujuk Devan. Jangan panggil dia Aurel kalau tidak berhasil membuat Devan memenuhi keinginannya.

"Oke, cuma satu jam, kan?"

Aurel mengangguk cepat. Bibirnya menerbitkan senyum mesra, sementara tangannya mengusap punggung tangan Devan yang terulur di atas meja.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Where stories live. Discover now