Chapter 23

3.6K 243 0
                                    

Tari berjalan mendekat dan mencoba bersikap biasa. Meski tatapan Devan terasa menekannya, tapi tak perlu ada yang harus dia takutkan. Memangnya apa yang salah sehingga Tari harus takut? Dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Itu setahunya. Tapi, tidak menurut Devan.

Lelaki itu melayangkan tatapan dingin sejak Tari berjalan dari pagar hingga saat mencapai pintu masuk rumahnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala yang entah apa maksudnya, Devan melirik arloji.

Tari pura-pura tidak peduli. Sampai di kamar, dia langsung masuk ke kamar mandi, mengganti baju dan mengeringkan rambut. Jaket Rayhan yang dipakainya tadi tak berhasil melindungi dari hujan sepenuhnya.

Membuka pintu kamar mandi setelah selesai mengganti pakaian, Tari dikagetkan oleh Devan yang langsung menghadang di depannya.

"Ke mana saja kamu baru pulang jam segini?"

"Aku dari kantor, lembur."

"Bohong!" tuding Devan tidak percaya. Tega-teganya Tari berdusta padanya. Sudah jelas-jelas tadi dia melihat Tari dengan Rayhan, adiknya, yang sekarang rasanya ingin Devan telan hidup-hidup.

"Bohong gimana?" tanya Tari tetap berusaha tenang kendati sejak awal bicara tadi Devan sudah melontarkan nada tinggi.

"Jangan pura-pura bodoh, Tari! Atau, kamu memang bodoh?"

Tari menahan napas mendengar ocehan Devan padanya.

"Iya, aku memang bodoh, anggap saja begitu," sahut Tari dengan tetap menjaga nada suara seperti biasa.

Rahang Devan mengeras mendengar jawaban Tari. Dia tidak suka kenapa perempuan itu berani membantah. Devan cuma mau, Tari meminta maaf. Atau, setidaknya berbasa-basi menyapanya saat baru pulang tadi dan mengatakan alasan kenapa bisa pulang terlambat. Nyatanya, Tari malah melewatinya begitu saja tanpa menyapa sama sekali. Terang saja Devan merasa tidak dihargai.

"Tari, sebelumnya aku sudah kasih tahu, kamu itu adalah istri aku. Kamu sudah menikah, kamu nggak boleh sembarangan kayak gini," kata Devan mengingatkan.

"Sembarangan kayak gimana, Dev?" Tari merasa tidak ada yang salah. Semua sudah seperti seharusnya.

"Bagaimana mungkin kamu masih bisa nanya kayak gitu, Tari? Sudah jam segini kamu baru pulang. Dan... Ahh, diantar mantan!" sergah Devan geram.

"Dev, tadi itu motor aku tiba-tiba nggak mau nyala, tapi untungnya ada Rayhan, jadi aku pulang bareng dia," jelas Tari baik-baik. Dia harap Devan bisa mengerti dan tidak mempermasalahkannya.

"Kamu bohong lagi!" balas Devan masih tidak percaya.

"Aku nggak bohong, Dev," sahut Tari singkat. Dia mulai malas menghadapi Devan yang masih saja tidak memercayainya.

Devan mencekal lengan Tari yang meloloskan diri darinya. "Jangan menghindar, Tari, aku lagi bicara sama kamu!"

Tari melirik lengannya yang dicekal Devan. Lelaki itu mencengkeramnya dengan kuat. "Lepasin tanganku, Dev! Sakit!"

"Aku nggak akan lepasin sebelum kamu jujur." Suara Devan kali ini melunak, tapi matanya yang menyala membuat nyali Tari menciut. Namun, dia tidak akan menunjukkannya pada Devan atau lelaki itu akan besar kepala.

"Aku harus jujur gimana lagi, Dev? Aku udah bilang, motor aku nggak mau nyala, tiba-tiba saja rusak, makanya aku pulang sama Rayhan," ulang Tari sekali lagi. Entah bagaimana caranya agar Devan mau mengerti.

"Impossible! Kalo memang motor kamu rusak kayak yang kamu bilang, kenapa kamu nggak pake taksi?"

"Handphoneku keburu mati, baterainya habis."

"Bohong aja terusss!"

Tari sudah kehabisan akal. Terserah. Devan mau percaya atau tidak. Baginya, itu sudah tidak penting lagi.

"Terserah kamu, Dev. Kalo nggak percaya juga nggak apa-apa, nggak masalah."

Mendengar ucapan ringan Tari, emosi Devan yang sudah naik semakin memuncak. "Kamu bilang handphone kamu mati, jadi kamu nggak bisa hubungi taksi, tapi kok bisa ya kamu nelfon Rayhan?" serang Devan berapi-api.

"Handphone aku memang mati, dan aku juga nggak nelfon Rayhan. Kebetulan dia satu kantor sama aku."

"Owww... bagus! Kamu sekantor sama dia, tapi nggak kasih tahu aku?"

Tari terdiam. Apa iya ada orang seegois ini? Devan boleh saja bersikap semaunya, pergi dan pulang sesuka hati. Dan, Tari tidak boleh tahu. Tapi sebaliknya, dia harus tahu sampai hal sekecil apa pun mengenai Tari. Posesif sih posesif, tapi tidak seperti ini juga.

Tari ingin membantah dan balas mencecar Devan, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk berdebat. Perempuan itu pun tetap bersabar dan tetap mencoba bicara baik-baik. "Devan, aku kasih tahu sama kamu sekarang, Rayhan baru tiga hari bekerja di kantorku. Kemarin-kemarin aku ingin kasih tahu ke kamu, tapi gimana caranya, sedangkan kamu nggak pernah ada di rumah. Memangnya selama ini kamu ke mana?"

Devan mendengkus, lalu melepaskan cekalannya di lengan Tari. Lelaki itu berjalan ke sudut kamar dan membuka lemari pendingin. Dia mengambil sebotol wine kemudian melangkah ke dekat sakelar lampu dan menekan bel di sebelahnya.

Tidak sampai dua menit, Inah datang dengan tergopoh-gopoh. Perempuan itu membawa sebuah gelas bening berukuran tinggi, lalu memberikannya pada Devan.

Tari menyaksikan itu semua. Termasuk ketika Devan menuangkan wine ke dalam gelas tepat di hadapannya. Lelaki itu kemudian duduk di sofa sambil menonton televisi. Entah acara seperti apa yang ingin dia tonton. Sejak tadi Devan terus mengganti-ganti saluran tanpa henti.

Tari mendekati Devan saat suaminya itu menuangkan lagi minuman beralkohol ke dalam gelas hingga penuh, lantas menyesapnya pelan-pelan sampai tandas.

"Sudah, Dev, sudah cukup!" larang Tari ketika untuk ketiga kalinya Devan menuangkan wine ke dalam gelas.

Devan tak peduli. "Aku nggak suka diatur-atur, apalagi sama perempuan."

"Aku nggak ngatur kamu, Dev, tapi kamu udah minum terlalu banyak."

"Bodoh amat!" tukas Devan tidak menghiraukan Tari. Dia lalu menyesap gelas ketiganya pelan-pelan. Devan terlihat sangat menikmatinya. Dan, Tari hanya bisa diam setelah mencoba memperingatkan. Termasuk ketika beberapa menit setelahnya Devan berjalan dengan terhuyung-huyung ke tempat tidur. Tari ingin membantu memapah Devan, tapi lelaki itu menyingkirkan tangannya.

Dan, kini entah sudah berapa menit lamanya Tari menyaksikan Devan yang sudah terlelap.

"Apa pernikahan ini membuatmu sangat tersiksa, Dev? Apa hidup denganku membuatmu seperti berada di neraka?" gumam Tari sambil terus memperhatikan Devan yang tentu saja tidak akan bisa mendengar suaranya sekarang.

Tari lalu menyelimuti Devan hingga sebatas dada. Sambil duduk di tepi ranjang, matanya tak lepas dari wajah Devan.

"Aku yang salah. Seharusnya saat itu bisa berpikir logis. Mana mungkin ada orang yang tiba-tiba mau menikahi seseorang yang tidak dikenalnya?" Tari terus bicara sendiri karena hanya dalam kondisi Devan seperti inilah dia bisa mengungkapkan isi hati dan perasaannya.

Tari menyentuh tangan Devan dan menggenggamnya. "Maaf, Dev. Tapi kita tahu, kita sudah sama-sama terjebak dalam pernikahan ini. Tidak bisakah kita membuatnya jauh lebih baik?"

"Aurel..."

Tari terkesiap mendengar suara pelan yang keluar dari mulut Devan. Tari rasa dia tidak salah dengar karena selanjutnya suara itu terdengar lagi.

"Aurel..."

Tari melepaskan tangan Devan dari genggamannya. Dia memang tidak mencintai Devan. Tapi mendengar suaminya sendiri menyebut nama perempuan lain, Tari merasa hatinya sakit. Walaupun Devan mengungkapkannya dalam keadaan tidak sadar.

====

For your information, bahagianya hanya ada di akhir. Jadi, kuatkan hatimu. Aku suka keributan dan kerusuhan. Hahahaha....

Don't forget to vote and comment!
Thank you!

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Where stories live. Discover now