Chapter 30

4.7K 262 2
                                    

Devan bergegas menuju ballroom Violet Hotel. Acara memang belum selesai, tapi orang-orang yang hadir di sana sudah tidak seramai tadi. Devan mencari sosok Tari dengan matanya ke setiap penjuru ruangan. Tapi, dia tidak menemukan istrinya itu. Apa mungkin Tari sudah pulang?

Devan lalu mengeluarkan ponsel dan menelepon Tari. Tersambung, tapi tidak dijawab. Devan mencoba sekali lagi, namun hasilnya sama saja. Lelaki itu belum menyerah hingga berkali-kali dia terus menelepon Tari. Devan mulai kesal. Ke mana Tari memangnya? Apa sebegitu susahnya untuk menerima telepon?

Devan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan hotel dan pulang ke rumah. Mungkin Tari sudah berada di rumah.

Masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin, Devan tidak langsung pergi. Dia masih penasaran akan keberadaan Tari. Sekali lagi, Devan mencoba peruntungan dengan kembali menelepon istrinya itu. Dan, kali ini Dewi Fortuna berpihak padanya.

"Kamu di mana?" tanya Devan tanpa salam pembuka begitu mendengar suara Tari.

"Di rumah." Tari menjawab singkat.

"Kenapa sudah pulang? Kenapa nggak tunggu aku dulu? Kamu tahu nggak, aku udah susah-susah nyariin kamu tahu-tahunya kamu udah nggak ada!" omel Devan melampiaskan kekesalannya.

Di seberang sana, Tari tersenyum tak mengerti kenapa Devan tiba-tiba meledak seperti itu. "Dev, bukannya tadi kamu yang ninggalin aku duluan? Kamu juga nggak bilang mau ke mana."

"Jadi kamu balas dengan ninggalin aku, gitu?" serang Devan tidak terima.

"Bukan mau balas, Dev, tapi tadi aku ketemu sama Arga. Dia mengajakku pulang karena kasihan melihat aku sendiri."

"Apa? Arga? Ada saja ya alasan kamu. Udah salah masih ngeles!"

Devan langsung memutus panggilan, lalu menekan setir dengan keras sehingga tanpa sengaja membunyikan klakson yang membuatnya kaget sendiri. "Shitt!!" umpatnya kesal. Lelaki itu dengan kasar menyentak hand brake dan melaju kencang di jalan raya.

***

Tari baru saja mengganti gaunnya dengan piyama dan bersiap-siap untuk tidur ketika tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan kasar. Mestinya Tari tidak usah terkejut lagi karena selain dirinya yang masuk tanpa perlu izin ke kamar itu adalah Devan. Nyatanya, dia cukup kaget karena cara Devan membuka pintu dengan keras.

"Aku nggak suka cara kamu, Tari!" serang Devan langsung.

"Cara apa, Dev?" Tari yang tidak tahu apa-apa tentu saja kaget. Tapi, sesaat kemudian dia menjadi tahu apa penyebabnya. Pasti karena dia pulang dengan Arga.

"Jangan pura-pura bodoh, atau kamu memang bodoh?"

Ah, entah sudah berapa kali Tari mendengar kalimat yang sama keluar dari mulut Devan. Dan, Tari juga akan menjawab dengan kata-kata yang sama.

"Anggap saja begitu, mungkin aku memang bodoh."

Jawaban ringan dan sikap tenang Tari membuat kesabaran Devan menemui ambangnya. Bagaimana Tari bisa sedatar itu menghadapi kemarahannya? Apa mungkin Tari memang diciptakan untuk menguji kesabarannya?

"Dengarkan aku baik-baik, Tari, aku nggak suka istri yang suka melawan dan membantah suaminya. Dan ingat, kamu harus bisa menjaga kehormatan sebagai istri. Satu-satunya lelaki bagi perempuan yang sudah menikah hanya suaminya, bukan yang lain."

"Oh, begitu. Jadi, kalau bagi laki-laki yang sudah menikah gimana?" Tari tahu pasti yang dipermasalahkan Devan adalah karena dia pulang dengan Arga tadi. Lalu, apa kabar Devan yang pergi sembarangan dengan Aurel?

"Kita lagi membahas kamu, Tari, bukan aku!" jawab Devan mengelak.

"Egois kamu, Dev!"

"Terserah kamu mau bilang apa," tandas Devan, lalu membuka lemari pendingin dan mengambil red wine dari sana.

Tari menyaksikan semuanya dalam diam. Termasuk saat Devan menuangkan minumannya itu ke dalam gelas yang sudah tersedia di sana. Tari sudah hafal, setiap kali mereka berdebat, maka Devan akan mengakhiri dengan minum-minum seperti itu.

Kali ini, Tari membiarkan saja terserah Devan mau minum sampai berapa gelas. Mau minum berbotol-botol pun dia tidak akan peduli. Toh, Devan juga tidak menghiraukannya. Bagi Devan, Tari tak lebih dari tempatnya untuk melampiaskan kemarahan.

Tari keluar dari kamar. Dia butuh udara segar untuk membuat lapang dadanya yang terasa sesak.

Duduk di kitchen bar, Tari menyesap pelan-pelan susu hangat yang barusan dia buat. Entah apa yang sudah terjadi di kamar sekarang. Entah sudah berapa gelas wine yang dihabiskan Devan atau entah sudah berapa botol. Atau, jangan-jangan lelaki itu sudah teler sekarang.

Tari memijit pelipisnya. Dia mencoba untuk tidak peduli, tapi kenyataannya dia tidak sanggup untuk mengabaikan begitu saja suaminya itu.

Meneguk susunya sampai tandas, Tari kembali ke kamar. Dan, begitu membuka pintu dia melihat Devan masih tenggelam dalam minumannya. Entah masih sadar sepenuhnya atau kesadarannya sudah tinggal separuh.

Tari menarik langkah pelan mendekati Devan, lalu duduk di sofa di sebelah Devan. Lelaki itu tidak memedulikannya. Tatapannya lurus pada televisi yang menyala yang sedang menayangkan sebuah ulangan film box office.

"Dev, bisa nggak kita bicara baik-baik?"

"Bicara apa?" sahut Devan dingin.

"Tentang hubungan kita."

Devan tersenyum sinis. "Kenapa memangnya dengan hubungan kita?"

Tari meremas-remas tangannya. Dia tidak tahu apa yang akan dia katakan nanti bisa menjatuhkan atau pun merendahkan harga dirinya. Tapi, Tari sungguh ingin hubungan mereka menjadi sewajarnya. Dia tidak ingin berharap lebih. Dia tidak akan meminta Devan mencintainya. Tari hanya ingin hubungan mereka baik-baik saja tanpa ada kemarahan atau pun pertengkaran. Tari ingin mereka saling menghargai satu sama lain. Paling tidak Tari ingin berada di rumah ini akan selalu membuatnya nyaman.

"Devan, aku mau hubungan kita baik-baik saja. Aku nggak mau kita terus berdebat, bertengkar nggak jelas, dan akhirnya kamu minum-minum kayak gini. Nggak bagus buat kesehatan, Dev... Emosi hanya bikin jantung jadi nggak aman. Minuman keras juga bakal bikin hati menjadi rusak."

Devan tertawa keras seakan kata-kata Tari merupakan sebuah lelucon yang membuatnya geli dan layak untuk ditertawakan.

"Aku nggak butuh nasehat dari kamu. Aku punya dokter pribadi yang jauh lebih mengerti tentang kesehatanku."

Kalau Devan pikir Tari akan sedih mendengar ucapan dan kata-kata kasarnya, maka dia salah besar. Tari malah terlihat biasa-biasa saja.

"Ya sudah." Tari beranjak dari sisi Devan lantas naik ke tempat tidur.

Menarik selimut, Tari memejamkan mata. Besok dia harus bangun lebih awal. Karena besok adalah hari pertamanya bekerja di perusahaan Arga. Ngomong-ngomong, Tari belum tahu apa posisinya di sana. Mungkin sama seperti sebelumnya, menjadi staff back office yang tidak jauh dari kegiatan menganalisis dan entri data.

Lima belas menit kemudian, Devan yang tidak lagi sadar sepenuhnya karena sudah mulai teler berjalan mendekati Tari. Lelaki itu masih mengenali Tari sebagai istrinya. Dia masih ingat.

Devan duduk di tepi ranjang sambil mengamati wajah Tari. Irama napasnya yang naik-turun membuat Devan tahu kalau Tari sudah tertidur. Begitu pulas.

Perlahan Devan mendekatkan wajah, lalu mengecup lembut kening istrinya itu selama sepersekian detik sebelum akhirnya berbaring di sebelahnya.

====

L'amour de Paris (TELAH TERBIT) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang