Bagian 363 (Waktu)

476 119 38
                                    

.

.

Seperti yang dikatakan orang-orang, bukan cinta namanya, jika tidak menyakitkan.

.

.

***

Sabtu pagi saat matahari belum terik, Yoga sudah bergegas pergi dengan mobilnya.

"Pergi ke mana dia?" tanya Dana pada Bastian.

"Saya kurang tahu, Tuan Besar. Tuan Muda cuma bilang ada urusan. Mungkin kembali setelah Zuhur, katanya," jawab Bastian.

Dana mengernyit curiga. "Jangan-jangan ... dia punya simpanan baru lagi?" gumamnya.

Bastian berwajah datar namun sibuk membatin. Sudahlah, Tuan. Makanya jangan kebanyakan nonton sinetron pelakor.

.

Suara mesin mobil di luar pagar rumah, membuat Erika mengintip dari balik tirai kamarnya. Dia mengenali suara mesin itu, khas suara sedan milik Yoga.

Dan benar saja, pria yang dicintainya turun dari mobil. Meski sedang kesal pada pria itu, detak jantung di dadanya ribut, hanya dengan menatapnya dari jauh.

Mengapa masalah berat ini muncul di antara mereka, padahal hatinya perih menahan rindu?

Air mata Erika menetes saat melihat Yoga menggantungkan sebuah kantung di gagang pintu pagar. Bunga mawar menyembul dari kantung itu. Setelahnya, Yoga pergi.

Erika mengusap air matanya dan berlari ke teras depan, mengambil kantung pemberian Yoga dan mencium aroma bunga mawar putih yang baru dipetik, dari halaman rumah Yoga, tebaknya.

Sebuah kartu mungil ada di atas sebuah kotak. Erika membuka kartu itu. Sesuatu tertulis di sana dengan tulisan tangan.

Maaf. Aku akan terus meminta maaf hingga kamu memaafkanku.

Erika mendekap kartu itu, menciumnya, dan aroma parfum Yoga tercium halus. Kemungkinan saat menulis, pergelangan tangan Yoga tergesek pada permukaan kartu.

Air matanya menetes lagi.

Aku cinta kamu! Aku cinta ... Kenapa kamu tega ... ?

Erika sibuk mengusap air mata yang menderas.

Yunan menatap ibunya dari balik kaca ruang tamu.

Seperti yang dikatakan orang-orang, bukan cinta namanya, jika tidak menyakitkan.

.

.

Matahari mulai naik sepenggalan. Duduk di teras, Yoga dan Ilyasa, dengan tiang kayu di antara mereka. Angin sepoi membelai mereka, menggerakkan rerumputan. Kepala Yoga terkulai lemas di tiang. Matanya terpejam, dan air mata menetes ke pipinya.

Ilyasa menatapnya iba. Tangan mungilnya mengusap air mata Yoga.

"Sudah, Om. Jangan nangis. Aku jadi ikut sedih. Nanti aku nangis juga, lho," rajuk Ilyasa setengah mengancam.

Yoga membuka matanya dengan sorot lesu.

"Yunan benci sama Om," ucap Yoga lirih.

Ilyasa tersenyum, berusaha menyamangati. "Enggak, Om. Kak Yunan gak mungkin benci sama Om."

Yoga mengernyitkan alis. "Kok kamu yakin banget?"

"Soalnya, walaupun aku jarang ketemu Kak Yunan, aku langsung tahu, Kak Yunan bukan tipe yang bisa membenci orang lain," jawab Ilyasa dengan muka cerahnya yang sedikit banyak menghibur hati.

ANXI 2 (SELESAI)Where stories live. Discover now