Bagian 254 (Waspada Tikungan)

765 166 22
                                    

.

.

Aku sadar itu adalah cara yang aneh. Tapi sementara ini, itu adalah caraku berada dekat dengannya sekalipun kami jauh.

.

.

***

Bulan demi bulan berlalu ...

Lembaran tanggal di dinding dirobek satu demi satu. Hingga tak terasa, setahun sudah berlalu sejak Farhan meninggal dunia. Suasana terasa berbeda mendekati bulan Ramadhan.

Pagi ini Erika mengelap foto almarhum suaminya yang mulai berdebu di atas meja nakas ruang tamu. Yunan memperhatikannya dari belakang.

Hari ini akhir pekan terakhir sebelum memasuki bulan puasa. Ramadhan tahun ini jelas akan berbeda. Lebaran pertama tanpa kehadiran Farhan. Yunan mengkuatirkan Ibu angkatnya.

"Kakak Yunan!," suara anak kecil itu membuat Yunan menoleh ke samping kanan. Dilihatnya Raesha kini mulai bertumbuh. Pertumbuhannya selama satu tahun belakangan ini, tampak begitu signifikan. Raesha kini lebih tinggi tubuhnya dan bicaranya semakin jelas. Tidak terlalu cadel seperti sebelumnya.

Yunan tersenyum. "Ya, Rae? Kenapa sayang?"

Raesha sumringah. Dia selalu suka disebut dengan panggilan itu oleh Kakaknya. Cara Yunan mengucapkannya sangat lembut, lebih lembut dari kapas.

"Aku mau ke taman nanti sore!," pinta Raesha dengan mata penuh harap.

"Ya. Insyaallah nanti sore kita ke taman, tapi setelah ngaji ya. Kita ngaji dulu, baru main," jawab Yunan dengan suara lembut namun tetap terdengar tegas.

Raesha cemberut. "Aku bosan ngaji. Kita main saja Kak."

Yunan tersenyum. "Kita main, tapi setelah ngaji."

Adiknya menghela napas. Tahu kalau Kakaknya sudah bicara dengan nada tegas itu, artinya tak ada tawar menawar.

"Jangan malas, Raesha! Nanti ngaji dulu sama Kakak, baru boleh ke taman," Erika menimpali sambil mengunyah kue brownies dari kulkas. Seperti biasa, kue itu pemberian teman misterius Yunan yang bernama Tama. Di rumah jadi selalu tersedia kue brownies dan yoghurt.

Erika merubah posisi duduknya hingga menghadap ke televisi yang menyala. Sebuah tayangan komedi membuatnya tertawa hingga remah kue nyaris muncrat dari mulutnya. Yunan menatapnya terdiam. Ibu angkatnya ini memang ... seringkali kelakuannya masih seperti anak remaja, gayanya tidak seperti Ibu-ibu pada umumnya.

"Ibu kok enggak ngaji?," tanya Raesha tiba-tiba.

Muka Erika berubah merona malu. "E-enak saja! Ibu insyaallah ngaji, besok! Wek!," jawab Erika sambil menjulurkan lidah pada anaknya sendiri.

"Bu, jangan seperti itu. Nanti Rae meniru," kata Yunan mengingatkan.

Erika menutup mulutnya. "Oh iya ... ." Erika kembali menoleh ke televisi dan menikmati tontonan. Tak lama, tertawa sendiri.

Yunan menghela napas. Erika memang sudah berhijab. Bahkan di dalam rumah, Erika memakai jilbab instan kecuali saat berada di dalam kamarnya. Tapi hijrah memang umumnya tidak sekaligus, namun bertahap. Akhlak bukan sesuatu yang bisa dirubah dalam semalam. Matahari mulai naik sepenggalan, tapi Erika masih belum tergerak untuk mandi. Erika merasa tenang karena ada Mbak Surti di rumah, yang saat ini sedang sibuk mencuci baju. Padahal kalau Erika segera mandi dan salat Dhuha, itu lebih baik untuknya ketimbang leyeh-leyeh seharian di depan televisi.

"Yunan, tolong mandikan Raesha ya. Ibu lagi mager* nih. Kemarin habis lembur di kantor. Jenuh banget rasanya. Kalau masak, nyuci dan beberes, kan ada Mbak Surti," kata Erika dengan santai.

ANXI 2 (SELESAI)Where stories live. Discover now