ILYCC - 5a

49 9 6
                                    

Hai!
Masih betah, kan?
Happy Reading!
Jangan lupa tinggalkan jejaknya.

~•~

"Ndin, gue minta maaf, please, maafin gue, ya? Ya-ya-ya-ya?"

Aku merotasi bola mata menatap mata berkaca-kacanya Sarah. Aku tidak suka wajah itu, terutama matanya, macam bocah aja! Apalagi posisi wajahnya sangat dekat dengan wajahku. Ck!

"Jauhin dikit ngapa, sih, Sar! Risih gue!" Aku mendorong wajahnya, susah sekali membuat anak ini mundur.

"Kagak mau! Sebelum lo maafin gue!" Ngotot juga nih anak!

"Oke, fine! Gue maafin. Dah sana, balik ke kelas lo!" Cepatlah pergi kau wahai kuman!

Tadi saat aku tengah asik mengamati Andi yang duduk di tangga kelasnya seraya membaca buku lewat jendela kelas--karena memang posisi tempat dudukku dekat dengan jendela--mendadak anak ini menghampiriku, mengacaukan keasikanku, lalu mengemis-ngemis maaf dariku.

Sebenernya, aku tidak marah lagi padanya, hanya masih dongkol saja saat tahu dia seperti menyukai Andi. Ah, apa-apaan aku ini? Jangan bilang kalau aku cemburu? Ah, tidak! Aku benci cowok, tak terkecuali si Andi!

"Ah, enggak seru, lo maafinnya enggak ikhlas gitu. Kali ini gue traktir deh, tapi jangan banyak-banyak, ya? Jatah gue cuma lima ribu, he he he." Sarah menyengir membuatku menatapnya sinis.

"Gue kebagian berapa kalau jajan lo cuma segitu?" tanyaku.

"Dua ribulah! Gue tiga rib--eh, lo yang tiga ribu sebagai tanda maaf gue. Mau, ya? Please, dong. Kalau lo terima artinya lo beneran maafin gue." Matanya berbinar, sepertinya dia sangat berharap.

Aku berdiri. "Oke. Ayok!" Mumpung jam makan siang emang udah lima menit yang lalu dan aku belum sekali sarapan karena si Darman belum masak, akhirnya aku pasrah saat digandeng Sarah menuju kantin.

Di rumah tidak ada pembantu, alasannya? Supaya aku mandiri dengan mencuci pakaianku sendiri, jika lapar aku tinggal menyidangkan makanan sendiri, kamar aku beresin sendiri. Begitulah didikan ayahku. Hello? Pembantu kami ditugaskan hanya datang di saat jadwal ia menyapu dan mengepel rumah, sisanya kami yang melakukan seperti mencuci piring--kecuali masak karena itu tugas ayah--dan menjemur pakaian.

Enak banget, ya, punya pembantu dianggurin, anaknya dibiarin. Sialan bapak itu! Dan lebih sialan lagi, bapak itu adalah manusia yang membuat ibuku bunting.

"Ndin, kok sepi? Tumben amat? Kenapa, ya?" Suara Sarah menghentikan gerutuanku yang meratapi nasib sialan ini.

Aku mengedarkan pandangan, lalu menatap Sarah yang juga menatapku cemas. "Yaiyalah sepi, kenapa lo bawa gue ke kantin belakang?" Aku mendengkus.

Ia menyengir. "Biar anti-maestrim loh, Ndin."

Aku menyentil jidatnya. "Anti-maestrim pala lo!"

"Ah, sakit loh, Ndin. Btw, di sini harganya mahal-mahal tahu, berkelas gitu katanya. Nah, jarang-jarang, kan, gue bawa lo ke kantin berkelas kek gini." Ia tersenyum bangga.

"Dih, duit goceng aja bangga, sok-sokan makan di tempat mahal. Kagak sanggup bayar nanges!" cibirku sarkas.

Sarah mengibaskan tangan di depan wajahku. "Santai, ada lo."

Dih, mulutnya!

"Heh! Katanya lo yang mau neraktir gue makan, kan, sebagai tanda maaf, terus kenapa malah lo jadiin gue cadangan?" Aku berkacak pinggang.

"Ck, jangan gitu dong, Ndin. Kita, kan, sahabat, iya, enggak? Gue pengen banget loh, Ndin, makan nasi gurih sama sate Padang sebungkus di sini."

Aku melotot. "Eh, anj*r, sate Padang? Gila lo! Satu tusuknya aja dua ribu, sebungkus lima tusuk, sepuluh ribu harganya dan lo mau makan nasi gurih lagi? Gitu duit lo cuma goceng? Sialan!" Ah, mampuslah hidupku kalau begini! Ini, sih, sama aja aku yang bayarin dia!

"Ekhem!"

Aku dan Sarah menoleh ke belakang--di mana suara deheman keras itu terdengar. Ternyata ada seorang cowok dengan tampilan anak SMA, tetapi baju yang ia kenakan berlapis dengan seragam yang tidak dikancing hingga menampakkan pakaian lapisannya lalu ikat pinggang yang tidak ia pasang justru dipegang dan diletakkan di atas bahu kiri.

"Cantik-cantik, tapi mulutnya kasar." Cowok itu tersenyum miring, ia menyesap rokok di tangan kanan. What? Sejak kapan ada rokok di sana? "Sini abang halusin!"

"Anj***! Geli woy!" Aku melotot, bodoamat soal image kemaren juga image-ku udah rusak gegara satu orang.

"Andin!"

Aku menoleh ke Sarah, ia melotot. "Apa?"

"Jangan cari masalah sama dia, lo enggak tahu dia siapa?" bisik Sarah. Buat, apa, sih, dia bisik-bisik?

"Enggak, emang dia siapa?" Aku menatap cowok di dekat pintu keluar itu bengis.

"Dia itu ketua geng Alver tahu! Kalo sempet ada yang macam-macam sama salah satu anggota mereka, habis lo dikeroyok sama anggota geng Alver!"

Aku tersenyum mengejek. "Ketua geng, ya?" Aku hendak mendekatinya, tetapi tanganku dicekal oleh Sarah.

"Andin, jangan ...," ucapnya pelan dan penuh kecemasan.

"Tenang, aman. Gue enggak bakal macam-macam, cuma satu macam doang." Aku melepaskan cekalan dan melangkah.

Cowok itu menyenderkan punggung di tiang kayu pintu dengan salah satu tangan di saku celana dan kepalanya miring ke kiri. "Beneran mau dihalusin mulutnya?" ucapnya dengan nada bass. Wow!

Setelah semeter di hadapannya aku berhenti. Kuambil saus di atas meja sampingku lalu mengarahkan botol itu di depan dada cowok ini kemudian menekannya hingga saus itu keluar dan menodai bajunya.

Dia melotot, aku tersenyum mengejek. "Heh! Lo! Wah, minta dihajar lo! Lo enggak tahu gue siapa, ha?" Rokok tadi ia buang ke lantai lalu menginjaknya dengan kasar. "Lo bakalan bernasib sama kek rokok ini kalau lo macam-macam sama gue!"

Telunjuk kananya teracung di depan wajahku. "Ohya? Emang lo siapa? Cuma ketua geng aja songong lo!" Aku meyingkirkan telunjuk itu menggunakan botol saus, tatapan kami beradu.

"Lo tahu enggak gimana rasanya kalo geng Alver datengin rumah lo?"

Aku mengangkat satu alis. "Geng? Cih, mental banci mainnya kelompok-an, by one kalau berani."

Rahangnya mengeras. "Lo pikir gue takut, hah? Secuil upil pun gue enggak takut kalo gue sendiri yang turun tangan! Tapi jangan nyesel kalo akhirnya lo mati di tangan gue."

"Lo bukan Tuhan yang harus gue takuti. Malam ini gue tantang lo balapan, siapa kalah dia harus mau nurutin kemauan yang menang! Berani enggak?" Aku menyeringgai.

"Berani! Oke, di mana?"

"Kuburan Dewa, gue pengen tahu nyali lo seberapa."

Ia tampak berpikir, nah, kan, mental banci ditantang mana ma--

"Oke!"

***

I Love You, Cowok Cupu ( On Going ) Where stories live. Discover now