ILYCC - 8a

42 4 2
                                    

Hai!
Makin ke sini, konflik makin deket ya, semoga kamu menikmatinya^^
Makasih buat yang nge-vote dan sempetin komen, aku jadi semangat!

Ditunggu vote-nya, ya!

~•~

Aku mengusap-usap leher belakang. Astaga, bulu kudukku meremang. Mereka memang menyeramkan meskipun aku tidak takut.

Kakiku yang berbalut sepatu menapak di pintu masuk kantin sekolah. Tudung hitam yang kugunakan semakin kumajukan. Ck, aku tahu ini melanggar, andai saja tadi saat aku menyelinap masuk ada yang memergoki, sudah pasti aku menjadi udang reborn.

Ini masih jam belajar, otomatis semua kantin sangat sepi dan suasana luar kelas pun sunyi bak kuburan.

Aku mulai melangkah lebar memasuki kantin.

"Loh? Bolos, ya?"

Tukebo! Astagfirullah kaget bang! Aku mendengus mendapati ibu kantin menatap intens di depan wajahku.

"Owalah Andin ... kamu di-skors, 'kan? Kenapa dateng ke sini? Owh, kangen sama saya, ya?" tanyanya dengan alis naik-turun.

Aku tersenyum tipis. Ternyata celana jins hitam, sepatu hitam, jaket hitam juga kaca mata hitamku tidak berguna sama sekali. Sialan!

"Ternyata aku seterkenal itu, ya? Sampe-sampe Ibu pun tahu beritanya." Aku mendesah lelah. Kududuk di kursi kantin lalu menopang pipi kiri dengan tangan di atas meja.

Ibu kantin itu terkekeh. Menggunakan lap kain untuk menggosok meja yang masih terlihat mengkilat, entah apa yang ia bersihkan.

"Tahulah, satu sekolah loh gosipin kamu. Katanya kamu ada masalah sama si Andi, Andi itu ya, Ndin?"

Hah! Kenapa Ibu kantin ingin tahu sekali? Memangnya, apa urusan dia bila aku punya masalah dengan Andi?

Ngomong-ngomong soal Andi ... kira-kira dia merindukanku tidak, ya? Aku menggeleng lalu tersenyum miris, apa-apaan pikiranku ini!

"Andi dan Andin itu enggak punya masalah. Teh es anget satu, Buk."

"Ha? Ulang lagi dong."

Ibu ini tiba-tiba budekkah?! Menjengkelkan sekali. "Teh es anget satu, Buk," ulangku seraya menekankan kalimat pesanan itu. Tunggu dulu ... baru saja aku mengatakan apa? Aku berkedip sesaat menyadari sesuatu.

Aku dan Ibu kantin saling menatap, kemudian saling melempar tawa bahkan sepertinya tawaku lebih terdengar jelas sangking semangatnya.

Ini lucu, lucu sekali!

Seketika aku menghentikan tawa lalu mengubah ekspresi menjadi jutek. "Enggak lucu," ucapku cepat seraya berdehem. Apa-apaan aku ini?!

"He he he, emang enggak lucu."

"Kenapa tadi ketawa?"

"Ya, biar kamu ada temennya." Aku mendengus mendengar penuturan Ibu kantin. Sialan, ternyata dia hanya bayangan.

"Teh anget satu."

Ibu kantin tersenyum seraya mengangguk lalu pergi ke belakang. Kulirik jam di handphone yang kuambil dari saku jaket lalu berdecak. Masih lima menit lagi.

Aku membuka kaca mata lalu meletakkannya di atas meja, kuusap wajah prustasi. Astaga, bisa-bisanya aku akan menjadi babu si ketua geng Alver!

"Kamu ngapain ke sini, Ndin?" Ibu kantin datang meletakkan segelas teh di hadapanku.

"Nanti juga tahu." Kuseruput pelan-pelan teh ini, hmm manis, tapi masih manisan aku dong, hi hi hi.

Terdengar langkah kaki di dekat pintu kantin membuatku menoleh. Seketika aku mengalihkan pandangan saat mendapati geng Alver di sana, aku mendengus kasar.

Brak!

Bola mataku melebar spontan dengan beberapa percik teh di atas meja. Sialan! Siapa yang menggebrak meja?!

"Eh, Babu!" Suara si ketua geng itu menyentak. Ya ampun suaranya membuatku ingin menyiram air teh ini padanya. Hufft ... tahan-tahan.

"Lah, diam aja dia ...," ucapnya lagi. Ya, bodo amatlah.

"Mau apa gue disuruh kemari?" tanya gue ketus tanpa menatap mereka. Terdengar gelak tawa dari si ketua, ck, sialan! "Jawab gue, Set*n!"

"Weh, nyelow aja kali. Lo jadi babu tuh jangan galak-galak dong, ha ha ha ha."

Aku memutar bola mata. Kuseruput teh di genggaman dengan pelan lalu meletakkan gelas itu di atas meja. Kemudian mendongak, nampaklah si ketua duduk di depan dan empat cowo di belakangnya.

"Lo mau ke mana? Ngelayat?" Si ketua itu menatapku dengan satu alis terangkat dan beberapa temannya tertawa.

Aku berdehem. "Terserah gue." Kubalas menatap mereka dengan tenang. Aku tidak ingin gegabah, jangan sampai aku bermain tangan. Aku sudah punya banyak kasus, kasihan ayah di rumah.

M

ereka tertawa lagi. Sialan, aku jadi bahan olokan. "Cepet, mau apa gue disuruh kemari?" tanyaku cepat dan terkesan menuntut. Demi apa, aku takut ketahuan menyelinap.

Si ketua geng yang berpakaian urak-urakan itu berdiri lalu membungkuk dengan kedua tangan di atas meja sebagai tumpuan, kaca mataku dilepasnya dan dibuang asal.

Senyum smirk-nya muncul. "Karena lo udah jadi babu gue hari ini, jadi lo harus nurutin kemauan gue. Sekarang gue mau lo nyium kaki gue."

Aku melotot dan spontan berdiri. "Lo!" Telunjuk kananku teracung di depan wajahnya.

"Iya? Kenapa Sayang?" Dia tergelak. Sialan! Dada gue naik-turun dibuatnya.

"Gue enggak mau!" Kuturunkan telunjuk itu dan bersiap-siap hendak pergi. Saat aku baru berbalik badan dan melangkah menuju pintu, si ketua geng itu pun bersuara.

"Nolak? Fine, jangan salahkan gue kalo ayah lo enggak selamat."

Aku berhenti melangkah dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuh. Mataku terpejam dengan rahang mengeras. "Bang**t!"

"Kok berhenti?" Terdengar nada meledek itu. Aku pun berbalik badan dan berjalan cepat menghampirinya.

Saat berada di depannya, aku berhenti dan mengedarkan pandangan. Tatapan mereka benar-benar meledekku. Oke ... ini salahku juga. Sabar, Ndin, hanya sehari maka ini akan berakhir.

Aku berjongkok dan mengembuskan napas kasar. Dengan ragu aku mulai menundukkan wajah sambil memejamkan mata.

"Mau ngapain, Mbak?"

Aku tersentak dan melotot. Mendongak kudapati si ketua geng tertawa keras bersama teman-temannya. Sialan! Aku segera berdiri dan berlari keluar. Sungguh penghinaan yang tak akan pernah kulupakan.

***

I Love You, Cowok Cupu ( On Going ) Where stories live. Discover now