ILYCC - 6a

39 6 3
                                    

Hai
Vote dulu dong!
Komennya boleh dong^^
~•~

"Bogeman? Lo serius nantangin gue ... Andin Alika Putri?" Seringgainya melebar membuatku mengangkat satu alis.

Sebenernya aku takut juga, meskipun aku selalu belajar ilmu bela diri, tetapi tidak pernah sekali pun kugunakan untuk menghajar laki-laki. Ilmu bela diri ini juga aku dapatkan dari Sarah.

Jadi jawabannya tentu saja tidak yakin! Bagaimana kalau hanya dengan sekali pukul aku langsung masuk rumah sakit?

Sialan! Aku benci rumah sakit!

"Lo masih ragu sama gue? Setelah apa yang lo dapet hari ini?" ucapku spontan dan aku menyesalinya.

Ck, mulut ini! Kau mau menantang mautmu sendirikah, Ndin? Kalau aku tepar di sini bagaimana? Hancur sudah harga diriku.

"Andin!" Sarah membentak, aku tahu. Dia pasti sama khawatirnya seperti diriku karena aku benar-benar tidak yakin bisa selamat bila melawan cowok ini, kecuali cowok ini adalah Andi.

"Tenang, Sar. Lo enggak perlu khawatir, gue enggak bakal mati di sini." Aku tersenyum lembut, mencoba menenangkannya.

Sarah memutar bola mata. "Kalo lo mati di sini gue kagak masalah, yang jadi masalahnya duit berjalan gue bakalan ikutan mati. Mampus, mana gue punya utang sama Dodi."

Wajahnya terlihat frustrasi sekaligus menyebalkan di mataku yang membuat senyumku pudar. Sialan!

"Bodoamat!" teriakku lalu berbalik badan dan mengepalkan tangan kanan, bersiap hendak menghantam rahang kiri cowok ini.

Namun, sebelum niatku terlaksana tangan kirinya sigap menangkap kepalan tanganku dan kepalan tangan kanannya melayang dan menghantam perut bawahku.

Argh! Refleks aku menjerit sakit, tubuhku limbung dan tersungkur di tanah, sesuatu bergejolak di perutku memaksa keluar hingga aku terbatuk-batuk dan keluarlah cairan merah pekat dari mulutku, mengotori pakaian yang kukenakan.

Pandanganku memburam, tekanan di perut bawah semakin menguat bersamaan dengan rasa sakit yang kian terasa.

"Andin, lo enggak pa-pa? Wah sialan lo Zean! Bang**t lo!"

Samar-samar aku masih mendengar suara Sarah yang meninggi lalu terdengar suara hantaman keras juga pukulan disusul seru-seruan cowok. Setelahnya semua yang kupandang menggelap.

***

"Andin!"

Aku menoleh ke pintu rumah sakit yang baru saja dibuka kasar dari luar. Setelah tahu siapa yang melakukannya, aku berdecak.

"Apa?" ucapku ketus. Kenapa Darman ada di sini, sih? Double shit! Pasti ceramah panjangnya akan mengusik telinga sekaligus membuat otakku serasa ingin pecah.

"Bandel banget anak ini!" Suaranya menggeram saat berada di samping ranjang dan tiba-tiba dahiku disentilnya dengan mata melotot.

Aku balas melotot. "Ayah! Sembarangan nyentil-nyentil, kalo otakku cerai gimana?" omelku seraya mengusap dahi.

Ayah menghela napas, nampak gusar, berkacak pinggang dan menatapku lama, apakah dia kecewa?

Aku menunduk. "Maaf," ucapku tidak ikhlas dan sangat menyesal.

"Bisa enggak, sih, enggak nyusahin orang tua? Baru aja tadi ayah mau berangkat ke Eropa buat kerja, eh, malah ayah dapet kabar dari Sarah kalo kamu masuk rumah sakit."

Aku mengerucutkan bibir. "Kalo enggak mau disusahin sama anak, kenapa buat coba? Ribet banget aki-aki satu ini," gumamku dengan pandangan lurus ke luar jendela.

"Andin! Ayah sudah mencoba yang terbaik buat kamu, tapi apa balasan kamu? Apa didikan ayah yang menyuruh kamu untuk menjadi perempuan lembut dan sopan salah? Atau karena pergaulan kamu sama Sarah it--"

"Sarah lagi, Sarah lagi. Kenapa, sih, harus Sarah yang disangkut-pautkan di setiap masalahku?" Aku menatap Ayah tajam. Aku tidak terima bila Sarah harus disalahkan terus-menerus karena Sarah tidak seburuk itu!

"Karena Sarah itu masalah, Andin! Ayah sadar, selama ini didikan ayah enggak mempan sama kamu karena pergaulan kamu yang salah!"

"Bukan pergaulan aku, tapi Ayah yang lalai dalam mengurus anak!" Aku memekik dengan air mata luruh, dadaku bergemuruh murka setiap mengingat selama ini Ayah memperlakukanku.

"Mohon maaf, di rumah sakit, keributan sangat dilarang keras, mohon pengertiannya, ya?" Seorang Suster berucap di ambang pintu yang terbuka sebelum berlalu dari sana setelah Ayah meminta maaf.

Aku mengalihkan pandangan lagi. Kuusap air mataku dengan kasar.

"Ay--"

"Pergi," potongku dengan nada dingin.

"Tap--"

"Tinggalin anak nyusahin ini, Yah!" ucapku penuh penekanan, seketika terdengar langkah kaki dan pintu yang tertutup dengan kasar.

Di saat itulah aku menangis keras dan memendamkan wajahku di balik bantal. Memangnya apa yang bisa kulakukan selain menangis untuk meredakan emosi?

***

I Love You, Cowok Cupu ( On Going ) Where stories live. Discover now