ILYCC - 5b

45 6 8
                                    

Hai!
Jangan bosen-bosen, ya^^
Vote-nya boleh, Kakak!
~•~

"Bu, pengen es krim." Aku mengerucutkan bibir menatap Ibu dengan mata berkaca-kaca. Tangan kananku menunjuk ke sebrang jalan di mana ada gerobak es krim yang sepi pembeli.

Ibuku berjongkok lalu memegang kedua pundakku lembut, ia tersenyum. "Kita enggak bawa uang, Sayang. Dompet ibu ketinggalan di rumah karena buru-buru tadi mau jemput ayah di sini."

Aku menunduk dalam. Aku hanya ingin es krim! Aku merogoh kantung rok dan mendapati uang lima ribu rupiah. Kutunjukkan uang itu di depan Ibu. "Aku bawa uang kok. Aku beli, ya-ya-ya-ya?" ucapku memelas.

Ibuku menatap uang di tangan kananku lalu menatapku lama. "Oke, tap--"

Tanpa mendengar kelanjutan ucapan Ibu, aku langsung berlari menyebrang dan tatapanku begitu fokus ke sebrang jalan sana. Aku panik saat Om penjualnya hendak menggerakkan gerobak untuk meninggalkan daerah ini.

"Om! Jangan--" Suaraku terhenti kala sinar terang menghalangi pandangan dari arah kanan dan itu membuat langkahku berhenti dan menyilangkan tangan di depan wajah. Aku melotot saat mendengar suara klakson yang nyaring berasal dari balik sinar lampu itu.

"Aaaa ...!" Tubuhku seperti didorong hingga serasa melayang lalu tubuhku terhempas di jalan trotoar dengan kepalaku yang terantuk pembatas trotoar. Serempak dengan aku yang terhempas jatuh, di sana kulihat sebuah mobil sedan yang tadi mengelakson nyaring dan menghidupkan sinar berhenti mendadak, terdengar suara teriakan nyaring juga suara gemeretak tulang.

Berbondong-bondong orang menghampiri mobil lalu terdengar bisik-bisik.

"Ya ampun, Istrinya Damar ketabrak mobil."

"Meninggal, ya? Nadinya enggak berdenyut."

"Innalillahi ... kepalanya hampir hancur."

Aku baru tersadar saat setelah syokku hilang. Ibu yang mendorongku agar tidak ditabrak mobil?

"Ibu!" Aku menjerit dan saat itu pandanganku menggelap.

Aku mengusap batu nisan di depanku dengan lembut. Menatap lama nisan itu, membuat air mataku tidak berhenti jatuh. Aku sangat-sangat merasa bersalah. Seandainya ... aku dulu tidak banyak tingkah, pasti Ibu masih ada sampai saat ini.

Es krim sialan! Semenjak kejadian Ibu meninggal, aku membenci es krim dan tidak pernah memakan benda dingin itu.

"Biarkan saja Andin mati aturan, Bu. Jangan selamatkan Andin waktu itu, Bu. Ibu, jahat. Jahat banget! Apa Ibu tahu? Ayah mengekang Andin. Ayah selalu larang ini, larang itu, enggak boleh ngelakuin ini, enggak boleh itu, apa-apa aku harus nurutin dia! Image-image-image aja teros! Aku kesel banget! Pengen tak hih, tapi kasian juga kalo dia mati, dosanya masih numpuk. Masa' sutradara film genre Ismali berjudul 'Menuju Surga-Nya' mati terus masuk neraka? Enggak elit banget."

"Ndin ...."

Aku berdecak, menoleh ke kanan dan mendapati Sarah menggaruk lengan kiri yang memegang senter dari handphone-nya. Merusak suasana ni anak!

"Apa, sih? Ganggu tahu enggak?" ucapku dengan suara serak.

"Ya, ampun, Ndin. Lo nyerocos ampe suara lo habis juga tuh nyokap kagak bakal denger! Kalo lo pengen ngobrol ama dia, entaran aja kalo lo mati terus jadi hantu, nah, kan lo jadi--hmmp!" Aku menyumpal mulut Sarah dengan bunga kantil di dalam plastik hitam yang kubawa dari rumah.

"Mamam tuh kantil! Enak?" ucapku sarkas dan langsung berdiri.

Sarah ikut berdiri dengan meludah-ludah di sisi kirinya. "Hua! Lidah gue! Huaa!" tangisnya dramatis.

"Paok!" Kudorong kepalanya dari belakang hingga membuatnya hampir terhuyung ke depan.

"Anj**! Sakit b*go!" Dia balas mendorong belakang kepalaku, berakhirlah kami saling dorong-mendorong.

"Ekhem!" Suara dehem seseorang membuat kegiatan kami terhenti. Ah, ya, aku lupa ternyata ada manusia lain di sini yang sedang berdiri di depan gerbang makam. "Udah selesai? Kapan balapannya?" tanyanya dengan tak sabaran.

Aku merapihkan rambut yang kukucir kuda, menepuk-nepuk pantat berlapis celana jins hitam panjang. Menurunkan baju kaos pendek kedodoran berwarna hitam lalu menghampirinya.

Aku melipat tangan di dapan dada, menatapnya malas. "Jadilah, tapi enggak usah bawa anak sekampung juga, Malih!" Gigiku merapat menatapnya kesal!

Dia mengangkat satu alis. "Gue itu ketua geng Alver kalo lo lupa."

Aku menatap ke belakangnya yang berdiri tujuh orang cowok dengan jaket kulit berwarna coklat tua yang sedang menyangga motor masing-masing. Keren, sih, motornya. Aku tebak mereka bukan anak sembarangan.

Lalu kutatap lagi si ketua geng-geng ini dengan seringai di wajahku. "Ohiya lupa. Anjing, kan, selalu bawa ekornya ke mana-mana."

"Bangs*t lo!" Matanya melotot, rahangnya menegang, kepalan di kedua tangannya menguat membuatku merotasikan bola mata.

"Drama!" ejekku pelan. Mendadak kedua bahuku diremas, aku menoleh dan menatap tajam cowok di depanku.

"Jangan mentang-mentang lo cewek, lo seenaknya, ya? Lo pikir gue enggak berani ngehajar lo, hah?"

Aku melirik tangannya yang ada di bahu. "Don't touch me!" peringatku tajam.

Dia melepasku dengan kasar hingga membuatku terhuyung ke belakang dan langsung disangga oleh Sarah. Sialan anak ini! Aku langsung berdiri tegak dan meraih kerah jaket yang cowok itu kenakan.

"Lo nyari masalah sama gue? Lo enggak tau gue siapa, ha?" Mataku menusuk matanya yang menatapku tenang. Seringai muncul di wajahnya membuatku muak.

"Gue tahu, lo itu ... sampah!"

Bugh!

"Sialan lo, Bang**t! Gue enggak gitu!" teriakku setelah lutut kiriku menghantam perutnya hingga ia menunduk dan mundur selangkah.

Orang-orang di belakangnya protes dan hendak menghampiri, tetapi si ketua geng ini mengangkat satu tangan di udara membuat orang-orang itu diam di tempat.

Cowok di depanku berdiri tegak, mengelap sedikit muntahan darah di bibirnya. "Kuat juga lo. Bukan maen ...," ucapnya dengan nada pelan di akhir kalimat lalu bersiul memandangku.

Aku tersenyum miring. "So? Pilih salah satu opsi, balapan atau bogeman?"

***

I Love You, Cowok Cupu ( On Going ) Where stories live. Discover now