ILYCC - 7a

54 4 0
                                    

Hai
Semoga suka^^
Votenya ditunggu, ya.
~•~

"Anak sialan! Bisa-bisanya ibu kamu mati di depan kamu biarin? Apa kamu sudah puas mendapatkan kasih sayang dan kamu ingin melenyap--"

"Enggak!" Aku menggeleng-geleng seraya menutup telinga dengan kedua tangan, terisak-isak dan duduk meringkuk di pojok dinding kamar.

Mataku tak sanggup menatap mata pria dewasa yang bediri menjulang bagai raksasa di depanku, melemparkan berbagai umpatan yang keluar dari mulut manisnya.

Tatapan sayang dan teduh itu kini telah berganti menjadi tatapan benci dan murka, aku tahu, tapi aku masih bingung ... apa salahku?

Bibirnya yang selalu mengecup pipi dan dahiku setiap aku pulang dari sekolah dasar dan ucapan manisnya itu kini telah berganti menjadi ucapan kasar dan tak berperasaan, tapi aku masih belum mengerti ... di mana salahku?

Seketika hening melanda, hanya ada suara sesenggukan dan nafas Ayahku di ruangan gelap ini yang mana penerangannya hanya berasal dari jendela di sisi ruangan.

Ibu ... aku takut.

Pria itu berjongkok, dekat sekali denganku yang membuat ketakutanku semakin menjadi. Apalagi tangannya menarik kedua bahuku sehingga tubuhku berhasil didekapnya.

Aku terkejut.

"Ayah minta maaf. Bukan kamu yang salah, Sayang."

Suara Ayah melembut dengan suara isakan yang mulai terdengar darinya. Aku balas memeluknya erat dan menangis pilu.

"Kalau ibumu adalah orang yang sangat aku cintai, maka kamu adalah buah cinta kami, Sayang." Ia sedikit menjauhkan diri, tetapi tidak melepas pelukan dan menempelkan bibirnya di keningku lama.

"Huaaa Ayah!"

Aku terduduk lemas di depan meja belajar. Baru saja aku di-skors guru dan dihambur-hamburkan tugas hanya gara-gara aku sudah memukul Andi dua kali dengan tuduhan "pelecehan".

Pelecehan apanya? Ah, menyebalkan sekali guru-guru itu!

Ayahku juga ikut-ikutan menyebalkan dengan mengurungku di kamar seperti ini, tanpa diberi aset apa pun. Argh!

Si Darman itu menyita handphone-ku, menyita leptop-ku, stick game-ku, I-pad dan speaker-ku.

"Selesaikan tugasmu dulu barulah kamu boleh keluar kamar," gumamku menirukan ucapan ayah beberapa waktu lalu dengan gerak bibir ke bawah sedang meledek.

Oke, hanya tiga hari Andin, hanya tiga hari. Aku pasti bisa menahan--

Argh! Baru sejam, tapi aku sudah tidak tahan ingin menekan-nekan stick game, rasanya tanganku sudah pegal berhadapan dengan pena dan tulisan ini.

Aku mendesah keras, mengambrukkan punggung ke sandaran kursi. Bagaimana ini? Ayolah, kenapa semua guru itu tahu kelemahanku?

Matematika sialan!

Bahkan semua tugasku isinya matematika. Hah, siapakah yang mau bersedia menyumbangkan otaknya yang pintar padaku?

Prang!

Aku tersentak, menoleh ke kaca jendela yang pecah, mataku seketika melotot dengan dada bergemuruh hebat. Siapa yang melempar sampai membuat kaca jendelaku pecah?

Aku berjalan mendekati lantai di bawah jendela yang dipehuhi pecahan kaca. Ada sebuah gumpalan kertas yang aku yakini ada batu di dalamnya karena tidak mungkin kertas biasa dapat memecahkan jendela hanya dengan sekali lempar.

Kuambil benda itu lalu membukanya dan ternyata dugaanku benar. Kertas itu berisikan kalimat.

Siapa kalah dia harus mau nurutin kemauan yang menang. Dan lo kalah Andin.

Mana janji lo?

Alver

Mataku melebar. Astaga! Si ketua geng itu, kan? Mampus! Dia dan geng-nya pasti sudah menungguku di luar rumah dan siap mengacak-acak rumahku bila aku tidak menepati janji.

Aku terduduk lemas. Memeluk lututku sendiri lalu menenggelamkan wajah.

Bagaimana caraku membalas surat ini, sementara aku dikurung di sini? Bagaimana kalau aku melompat, lagipula balkon kamarku tidak terlalu jauh dari jangkauan tanah. Ah, tidak! Bagaimana kalau geng itu melakukan yang tidak-tidak padaku?

"Andin, ayah denger suara pecahan kaca! Jangan coba-coba buat kabur, ya?"

Sialan! Aku tertekan!

***

I Love You, Cowok Cupu ( On Going ) Where stories live. Discover now