Prolog

842 65 7
                                    

Bagaskara tak secerah menyelimuti hari bersama dengan orang yang hatinya tengah bergelung dengan perasaannya. Ia merasa rindu sekaligus kehilangan yang masih tak terelakkan.

Sepasang kakinya berjalan menuntun tempat dimana dulu dirinya dan sang adik masih sempat bercengkrama semasa sekolah dulu.

Ah, rindu memang selalu menyiksa.

Mata kecilnya menatap luasan air sungai Han yang begitu tenang walau angin sudah merasa ingin mengamuk karena mungkin hujan akan turun.

Matanya terpejam, menikmati suasana yang begitu mendukung suasana hatinya.

Pikirannya secara otomatis memaksa kembali untuk memutar mimpi yang awalnya begitu manis namun berakhir menyedihkan.

Menyakitkan.

Tak sadar, dalam keadaan mata yang terpejam, air matanya menerobos keluar. Dadanya terasa nyeri dan sesak bersamaan.

Di waktu itu...

Keduanya tersenyum, kemudian saling memeluk.

“Janji gue bener 'kan? Kita bakal bangun bareng lagi dan lebih bahagia buat bersama.” ujar sang kakak.

Sang adik mengangguk dengan gerakan ragu, mengiyakan bahwa ia merasakan hal yang sama.

Tempat ini begitu tenang dan rasanya  memang begitu nyaman.

Beban mereka terasa hilang seketika.

Sang adik melonggarkan pelukannya dan tersenyum sambil memegang kedua telapak tangan yang masih terasa begitu kasar akibat luka dan perjuangan semasa hidupnya.

Ia tersenyum lagi, namun terlihat sedikit lebih sendu. “Tapi maaf, kita nggak bisa bersama...lagi, Kak.” lirihnya.

Pertama kalinya, ia menggunakan embel-embel ‘Kak’ dalam berkomunikasi dengan Sang kakak, biasanya ia akan menolak dan menganggap bahwa mereka sama.

Sang kakak menaikkan sebelah alisnya, merasa bingung dan kemudian terkekeh kecil, “Lo ngomong apa sih? Ngelawak? Nggak lucu lawakan lo," ia mendengus.

Membuang napasnya dengan kasar, Ia mengeratkan genggaman pada kakaknya dan berusaha tegar agar tak meloloskan air matanya.

Rasanya tak begitu tega mengatakan kalimat perpisahan yang seharusnya tak terjadi. Namun, Tuhan Maha Adil bukan?

Mungkin Dia memiliki rencana lain untuk kehidupan baru sang kakak dan keluarganya.

“Gue mohon dengerin gue, tempat lo bukan disini, nggak sama gue. Disana, masih ada bunda, ayah, dan yang lainnya, yang berjuang dan berdoa buat lo.” gagal, air matanya keluar begitu saja.

Sungguh, rasanya sesak. Sangat sesak.

Selembut apapun ia, yang ia rasakan juga sangat keras dan juga sakit. Ia tak pandai dalam berkata puitis atau semacamnya.

Merangkai kalimat perpisahan dengan orang yang bahkan sedari lahir sudah bersamanya, terasa begitu berat. Sesungguhnya, ia tak sanggup.

Lawan bicaranya hanya terdiam setelah mendengar pernyataan itu. Entah ia harus merespon seperti apa.

Pikirannya sempat berkelana untuk mencerna ucapan yang terlontar.

Ia hanya menatap sang adik, matanya ikut memerah dan hatinya terasa begitu mencelos. Sakitt....

“Maksud lo apa?”

Lo masih harus hidup, gue udah nggak ada harapan. Tolong tepati janji kita buat keluarga kita bahagia....ya?”

SEMPITERNAL : Raise A Lot Of HopeWhere stories live. Discover now