Bab 8. Ujian Terberat dalam Hidup

38 11 6
                                    

Hari Sabtu adalah jadwal kajian di sore hari. Kelompok kami mendapat jatah piket hari itu. Bapak mendapat bagian mendatangi rumah-rumah warga kajian kelompok, patungan untuk menjamu Ustaz. Kali ini Bapak tetap bersikukuh berangkat mengumpulkan dana, walaupun sedang sakit.

"Apa gak minta tolong yang lain aja, Pak, untuk mengumpulkan dana? Izin dulu, kan, Bapak lagi sakit," usul ku.

"Enggak usah. Cuma sebentar, kok," ucap Bapak dengan wajah lesu, mempersiapkan kertas dan bolpoin untuk mencatat jumlah uang patungan.

"Sama aku, ya, Pak, mengumpulkannya?"

Bapak pun mengiyakan tawaranku dan segera memakai jaket. Kami segera mendatangi beberapa rumah warga kajian dari kelompok kami. Sebentar-sebentar  Bapak istirahat, duduk dengan wajah menunduk, lalu berdiri lagi, memaksakan diri. Aku membantu sebisaku yakni dengan memanggil pemilik rumah, lalu mencatat jumlah uang di kertas.

"Ini dibelikan apa, Pak, biasanya?" tanyaku setelah uang terkumpul dan kami sampai di tempat parkir pasar desa.

"Biasanya roti, buahnya pisang aja, sama keripik yang asin-asin," ucap Bapak sembari duduk di lantai tempat parkir yang dingin, bersandar di tembok.

Kasihan sekali, tetapi beliau memang orang yang sangat teguh pendirian. Sekali punya tugas, maka harus diselesaikan dan bertanggung jawab.

"Oh, iya. Saya belikan dulu, Pak," pamitku lalu menuju warung yang menjual makanan ringan.

Setelah selesai, aku menuju tempat parkir dan menggantungkan plastik berisi belanjaan di motor.

"Udah selesai, Pak," kataku.

"Iya. Bapak tidur dulu, sebentar." Bapak menundukkan kepala, tidur bersandar tembok yang menutupi dari keramaian, sehingga tak ada orang yang melihat.

Aku pun ikut duduk tak jauh dari beliau, membuka ponsel. Kasihan sekali beliau, tak tega membangunkannya.

Beberapa menit kemudian, Bapak terbangun, mengumpulkan tenaga sebentar, walaupun masih lesu, lalu berdiri. Kami menaiki motor, menuju majelis. Setelah sampai, aku membukakan gerbang majelis.

Aku berjalan membawa belanjaan menuju dapur, membuka kunci pintunya. Sempat kulihat Bapak tidur di atas amben yang berada di teras majelis. Beliau memang mudah untuk tidur di mana saja jika sudah kelelahan.

"Sudah selesai, Pak," kataku setelah mengunci pintu dapur.

Namun, Bapak tertidur pulas sekali. Aku memilih duduk di kursi yang tak jauh dari amben itu.

"Alhamdulillaah," ucap Bapak tiba-tiba, selang setengah jam.

Kami pun segera beranjak pulang.

**

"Bapak izin aja, kan, kajiannya?" tanyaku.

"Iya," jawab Bapak.

"Bapak sudah salat?" tanyaku.

"Udah tadi berbaring, tayamum aja. Gak berani wudu."

"Bapak butuh bantuan apa lagi? Mau makan gak, Pak?" tawar ku.

"Enggak. Udah, kok."

Bapak minta diambilkan minum, lalu Ibu memenuhi perintah beliau. Aku berpamitan untuk berangkat mengaji dahulu.

Sampai di majelis, aku menemui salah seorang teman Bapak di tempat parkir.

"Bapak izin gak berangkat, masuk angin," ucapku memintakan izin.

"Oh, iya."

Kajian kali ini terasa berbeda. Saat absensi pun baru kali ini Bapak dilaporkan izin sakit, yakni masuk angin.

Jodoh Pilihan Allah [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang