Bab 36. Kencan Tak Sengaja

8 5 4
                                    

Semburat cahaya mentari berwarna kuning kemerahan, tampak indah menyinari halaman rumah tempatku dan Ibu menjemur baju. Kendaraan yang lalu lalang masih sedikit. Udara terasa sejuk, memberi semangat padaku pagi ini.

Beberapa menit kemudian, Ibu telah kembali dari membeli lauk matang di warung sebelah.

"Aku belum mood sarapan, Dek," kata Mas Bams, melihat mangkok yang telah diisi beragam lauk oleh Ibu.

"Tak ajak beli gorengan, yuk!" ajak Mas Bams, saat aku membuatkan segelas teh untuk beliau.

"Ke warung terdekat, Mas?" tanyaku.

"Ke pasar, di tempat favoritku," jawab Mas Bams, membuatku terkejut.

"Cuma mau beli gorengan, jauh-jauh ke pasar?" Aku heran sebab di warung terdekat saja jual, untuk apa memilih yang jauh.

Mas Bams meminum teh sampai habis, beliau memang tipe orang yang cepat haus. "Namanya juga pengen, Dek. Waktu masih muda, aku sering ke pasar pagi-pagi buat teman ngopi."

Ini adalah pengalaman pertama dalam hidupku, ke pasar hanya untuk membeli gorengan. Biasanya kalau tidak ada kepentingan, seperti: beli baju lebaran, beli lauk dalam jumlah banyak untuk acara kumpulan RT, atau fotokopi dokumen, aku jarang ke pasar karena harus naik bus dan kepanasan. Bila terdesak, mesti ikut tukang ojek yang bukan mahramku. Dulu kadang diantar Bapak, sekarang berganti dengan Mas Bams.

"Doa dulu, Dek." Mas Bams memintaku mengucap doa naik kendaraan, aku langsung membacanya.

Mas Bams mulai melajukan motor. Aku mengeratkan pegangan di pinggang beliau. Udara yang dingin menusuk kulit, tak dapat tertahankan, walaupun sudah memakai jaket dan jilbab panjang, membuatku semakin erat memeluk suami dari belakang.

Saat jalanan sedang sepi, Mas Bams menyentuh tanganku lembut. "Pacaran setelah halal ternyata lebih indah, ya, Dek."

"Iya, Mas." Senyum mengembang di pipiku yang tertutup cadar.

Mas Bams tahu itu, terlihat dari mataku yang menyipit, lewat kaca spion.

Debu-debu jalanan masih sedikit, sehingga udara yang kuhirup benar-benar sejuk. Ternyata memang syahdu sekali menjadi pengantin baru, seperti kata orang-orang. Saat cinta sedang tumbuh dan bersemi, bagaikan dunia milik berdua. Terlebih, kami tidak pacaran sebelumnya, sehingga terasa sangat indah dan istilah berbuka dari puasa saat muda seperti dalam hadis benar-benar kami rasakan. Beda dengan mereka yang berduaan ke mana-mana sebelum halal, yang kami tebak tidak terlalu berkesan seperti ini.

"Ini ambil sendiri, Mas?" tanyaku, melihat sebuah warung dengan berbagai macam gorengan yang dijejer dalam wadah terpisah-pisah.

"Iya. Ini," ucap Mas Bams sembari menyerahkan selembar plastik putih yang sengaja digantung di dekat pintu warung.

"Lima ribu dapat berapa, Mbak?" tanyaku pada penjual gorengan.

"Satu Rp 500 jadi Rp 5.000 dapat sepuluh," jawab penjual itu.

Aku memilih tempe, tahu, bakwan dan pisang goreng. Setelah membayarkan uangnya, aku membonceng motor Mas Bams lagi.

"Kita makan di mana, Mas? Mulai lapar, nih," tanyaku.

"Ke wahana baru aja, Taman Indah," jawab Mas Bams, yang kemudian melajukan motor tetap lurus ke arah utara, padahal jika pulang harusnya belok kanan ke arah timur.

"Oh, aku pernah lihat di Instagram. Tapi, aku gak pakai pakaian bagus. Nanti kalau foto, jelek," keluhku.

"Kita ke sana mau makan, bukan mau foto-foto," kata Mas Bams.

**

"Bagus sekali, banyak spot foto di sini. Kalau begini, jadi foto-foto, dong!" Mataku berbinar melihat taman yang indah sesuai namanya.

Mas Bams yang baru saja membayar tiket masuk, mendekat. "Benar kamu, Dek. Seharusnya tadi kamu siap-siap, supaya kalau difoto bagus. Tapi, kalau ganti baju dulu, nanti keburu ramai. Kebetulan sekali, sepi."

"Biasanya ramai, Mas?" Aku heran sebab taman ini memang benar-benar sepi. Hanya ada kami berdua, dan penjaga taman di dekat pintu masuk.

"Kalau siangan, pasti ramai."

Aku tersenyum lebar. "Berarti kita sedang beruntung!"

Kami duduk di kursi yang mengelilingi sebuah meja dan ada peneduh di atasnya, lalu menghabiskan beberapa gorengan. Setelah cukup kenyang, aku mulai mengambil foto kami berdua, juga video.

"Jalan berdua, yuk, Mas! Aku video, ya!" ajakku, yang langsung diiyakan Mas Bams.

Mas Bams masih malu-malu di depan kamera, padahal kami sudah halal. Tak apa kami mengambil foto dan video, selama masih dalam batas wajar dan tidak berlebihan.

Jika diunggah di sosial media nanti, setelah aku edit, tujuannya supaya jelas saja, bahwa kami suami-istri. Aku pernah menemui sebuah kasus temanku, yang dikira janda dan diberi pesan mengajak berumah tangga oleh lelaki yang tak dikenalnya. Kemudian, temanku itu mengunggah foto bersama suami dan anak-anaknya, supaya diketahui jelas tentang status pernikahannya.

"Aku punya ide!" Mas Bams tiba-tiba mengajakku duduk di sebuah kursi panjang berwarna putih, lalu menaruh ponselnya di antara batu dan rerumputan, lalu menghidupkan kameranya.

"Ide apa, Mas? Kita video bareng?" tanyaku, lalu menyimpan gawaiku di dalam saku.

"Kita jalan berdua dan duduk, atau buat gaya yang lucu, tak usah persiapan atau diedit. Biar lucu," ucap Mas Bams, yang belum sepenuhnya kumengerti.

Aku menurut saja. Kami duduk, lalu membuat gaya-gaya yang benar-benar lucu. Aku tertawa, bahagia sekali. Tak sabar untuk melihat hasilnya

Setelah itu, berjalan ke kanan dan ke kiri, bergandengan tangan. Aneh, sebab wajah kami tak tampak, melainkan hanya badan dan langkah kaki. Begini jadinya kalau tidak punya penyangga kamera.

Kami istirahat sebentar, lalu membuka ponsel masing-masing.

"Tadi bayar berapa, Mas, masuk tamannya?" tanyaku.

"Murah. Cuma Rp 6.000 per orang," jawab beliau.

Aku membulatkan kedua mata. "Berarti berdua hanya dua belas ribu? Kencan tak sengaja, bayarnya murah pula!"

Aku memutuskan untuk mengunggah video kami di story Instagram lalu memberi caption, "Bulan madu gak perlu mahal-mahal, cukup Rp 12.000. Sederhana tapi bahagia. Alhamdulillaah."

"Pulang, yuk. Udah siang," ajakku.

"Sebentar. Kamu berdiri di sana, ya. Aku mau fotoin," pinta Mas Bams.

Aku menurut. Ada banyak foto yang diambil Mas Bams menggunakan ponselku, karena kamera Mas Bams agak buram, mungkin karena tipe lama. Katanya, sudah tujuh tahun belum ganti lagi. Awet sekali, padahal punyaku dulu hanya bertahan dua tahun sebelum yang sekarang kupakai.

"Pindah sana, ya!" instruksi Mas Bams lagi, aku mengikutinya.

Setelah banyak foto dan video diambil beliau, sampai memoriku hampir penuh, kami pun pulang. Tak sabar untuk mengedit dan mengunggahnya nanti. Kami benar-benar bahagia.

**

Jodoh Pilihan Allah [TAMAT] ✔️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora