Bab 53. Gelombang Cinta dari si Kecil

4 0 0
                                    

Entah sudah berapa lama aku terlelap, yang jelas, saat membuka mata, Mas Bams sudah berada di sampingku seraya duduk dan bermain ponsel.
“Eh, Mas? Sudah pulang? Kok, nggak bangunin dan suruh buatkan minum seperti biasa?” tanyaku heran, sambil mengubah posisiku menjadi duduk.
“Iya, sudah. Kasihan kamu kalau dibangunkan, tampak lelap sekali,” jawab beliau.
Aku mengembangkan senyum. “Nggak papa, kok. Aku buatkan dulu, ya? Alhamdulillah, jenengan bisa pulang.”
“Iya, Dek. Tadi aku ikut rombongan pakai mobil pick up ke RSU. Jadinya dirujuk, karena patah tulang jari, dan yang bisa menangani hanya dokter di rumah sakit, sebab alat-alatnya di sana lebih lengkap daripada di Puskesmas,” jelas beliau.
“Oh. Terus, di sana ada yang menunggu Babe?” tanyaku.
“Ada banyak, kok, para tetangga kita, termasuk yang tadi raketnya nggak sengaja memukul jari beliau. Aku pamit, karena mereka paham keadaanmu yang sudah mendekati mau melahirkan, Dek,” jawab Mas Bams.
Aku mangut-mangut, lalu menuju dapur dengan agak susah payah. Jam menunjukkan pukul 00.30 WIB. Aku buang air kecil di kamar mandi terlebih dahulu, lalu membuatkan minum untuk Mas Bams. Tiba-tiba kontraksi hebat kurasakan lagi. Ibu sudah tidur di kamar beliau, karena lampu ruang tamu sudah dipadamkan.
“Mas, bagaimana ini, Mas?” teriakku, sambil berjalan cepat ke kamar, lalu duduk di kasur.
“Kenapa, Dek?” Mas Bams menaruh ponselnya, lalu menerima minuman yang kuberikan.
“Sakit banget, Mas.” Aku memejamkan mata, menahan sakit.
Mas Bams minum sedikit, lalu meletakkan gelas di atas nakas. Aku mendekat. Seperti biasa, beliau mengelus perutku. Aneh. Biasanya sakitnya langsung hilang setelah beberapa menit, tetapi kali ini tak juga hilang.
“Jenengan keburu mengantuk? Maaf, ya, Mas,” ucapku.
“Iya, nggak papa,” sahut beliau.
Aku berpikir sejenak, sambil naik ke ranjang. “Jenengan tidur dulu aja. Nanti kubangunkan kalau gak betah sama sakitnya.”
“Baiklah.” Mas Bams mengubah posisinya menjadi berbaring, lalu mulai memejamkan mata.
Sambil bersandar di tembok, aku duduk dengan tetap mengelus perut, karena jujur saja, sakitnya belum hilang. Hanya aku kasihan pada Mas Bams, pasti beliau lelah.
Berikan hamba kekuatan, ya Allah, batinku.
Aku terus mengucapkan zikir, sambil berulang kali mengubah posisi yang semuanya tak nyaman. Mulai dari duduk, berbaring, sujud dengan kepala menghadap ke samping, dan lain-lain. Perlahan, air mata keluar dari ujung netra, tanpa permisi. Sungguh berat perjuangan seorang ibu. Aku harus kuat, yakin bahwa Allah telah menyiapkan pahala yang besar.
Beberapa menit kemudian, alhamdulillah, kontraksi mulai ringan. Namun, rasanya tetap tak nyaman untuk berbaring, sehingga aku memutuskan untuk tidur sambil duduk dan bersandar ke tembok.
“*
Menjelang Subuh, aku baru bisa tidur dengan berbaring. Namun, itu tak lama karena kontraksi semakin kuat. Aku salat bersama Ibu, lalu berzikir seperti biasa. Tiba-tiba aku merasa seperti haid.
“Bu, kok, rasanya kayak mau flek, ya? Jangan-jangan ....” Aku menahan napas, apa benar hari ini aku mau melahirkan?
“Kenapa? Sudah merasakan tanda-tandanya? Coba cek ke belakang!” perintah Ibu.
Aku langsung pergi ke kamar mandi. Benar saja dugaan semalam, aku akan segera melahirkan. Terdengar salam Mas Bams yang baru membuka pintu.
Setelah keluar dari kamar mandi, aku menjawab salam beliau, lalu duduk di atas kasur. “Mas, sudah keluar flek.”
Mas Bams sedikit kaget. “Yang benar, Dek? Kalau gitu, kita ke Puskesmas sekarang?”
“Bukan. Kita ke bidan dulu, nanti biar diarahkan sama beliau,” jawabku.
“Ya sudah, ayo siap-siap!” ajak Mas Bams.
Kami bersiap-siap ke rumah Bu Bidan. Aku membawa satu tas besar berisi pakaian bayi dan cadangan baju untukku sendiri, berjaga-jaga kalau nanti tidak sempat pulang karena tanda-tanda melahirkan semakin dekat.
[Mbak, aku sudah keluar flek. Ini mau ke rumah Bu Bidan. Doakan, ya.] Aku mengirim pesan pada Kak Dina, karena beberapa hari yang lalu beliau datang ke rumah, dan menyuruhku mengabarinya kalau ada apa-apa.
Sampai di rumah Bu Bidan, aku sampaikan kalau sudah keluar flek yang menjadi tanda umum bagi wanita yang akan melahirkan. Beliau bertanya kapan mulai merasakan kontraksi. Aku mengingat-ingat sebentar, lalu berdiskusi dengan Mas Bams.
“Jam setengah satu, Bu,” jawabku, kemudian.
Bu Bidan menyuruhku berbaring di ranjang pasien, lalu beliau memeriksaku. Setelah selesai, aku dipersilakan untuk duduk kembali.
“Begini, Pak, Bu. Ini masih buka 2. Nanti tetap ke Puskesmas dulu. Untuk jaga-jaga, saya buatkan surat rujukan ke rumah sakit, ya? Mau pilih di mana?” tanya Bu Bidan.
Jantungku berdebar cukup kencang mendengarnya. Mas Bams tampak berpikir.
“RSU, ya, Dek? Biar satu tempat sama Babe. Jadi, nggak usah bolak-balik, dan nggak kejauhan kalau Ma’e mau jenguk, atau aku mau lihat keadaan Babe,” usul Mas Bams.
“Iya, terserah, Mas. Aku menurut saja,” sahutku.
Bu Bidan tampak mencatat surat rujukan, lalu memberikannya padaku. “Nanti kalau sudah tidak tahan dengan kontraksinya, segera ke Puskesmas, ya, Bu? Ini masih kontraksi palsu. Kurang lebih jam sembilan, jam sepuluh biasanya.”
“Oh, baik, Bu. Terima kasih.” Kuingat baik-baik pesan beliau.
Kami pamit, lalu naik motor untuk pulang. Hatiku lega, kukira akan melahirkan di sini. Ternyata tetap harus ke Puskesmas, sesuai peraturan yang berlaku.
**
Pagi menjelang siang, aku hanya mampu tiduran di kasur. Mas Bams pamit ke RSU sebentar, untuk mengantarkan berkas-berkas milik Babe, seperti fotokopi KK, KTP, kartu BPJS, dan lain-lain, untuk kepentingan administrasi pihak rumah sakit. Menurut kabar dari tetangga yang berjaga di rumah sakit, Babe akan segera dioperasi
Aku menunggu sampai jam menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Ingin rasanya memejamkan mata dan beristirahat, tetapi tak bisa, karena terus-menerus merasakan kontraksi palsu. Ibu sedang mencuci baju di dapur dan menyelesaikan pekerjaan rumah lainnya yang terpaksa tidak bisa kukerjakan.
Nada pesan masuk berbunyi di ponselku. Ada pesan dari Kak Dina.
[Iya, Nduk. Insya Allah, aku segera datang sama Kak Tono. Segera siap-siap, ya!] isi pesan beliau.
Aku membalas, [Tadi dicek Bu Bidan, masih bukaan 2. Nanti aja ke sininya, jam sepuluh. Mas Bams masih ke RSU nganterin berkas-berkas punya Babe.]
Tak ada balasan lagi. Aku tidak memusingkan diri, kalau nanti Kak Dina dan Kak Tono datang, dan Mas Bams belum pulang. Mungkin Kak Dina yang akan mengantarku ke Puskesmas, karena beliau pasti selalu buru-buru. Saat situasi seperti ini, wajar dan bisa dimaklumi kalau beliau mengkhawatirkan adik satu-satunya ini.
Mataku tak bisa juga terpejam. Aku pun memilih bangkit, lalu merebus air yang akan kugunakan untuk mandi.
“Mau mandi, Nduk?” tanya Ibu.
“Iya, Bu,” jawabku.
“Biar segar badannya, ya? Hati-hati di toilet. Kata Bu Bidan tadi, buka berapa?” tanya Ibu lagi.
Aku menjawab, “Baru buka 2. Ini menunggu sampai jam sepuluh, terus ke Puskesmas. Mas Bams lagi ke RS buat antar berkas-berkas punya Babe.”
“Oh, gitu. Ya, Ibu mau siap-siap dulu, setelah selesai jemur baju,” sahut beliau, lalu membawa ember berisi cucian bersih ke halaman samping rumah.
Beberapa menit menunggu airnya mendidih, aku duduk sebentar, sambil sesekali berzikir karena sakit yang tak tertahankan.
Bismillaah, doaku, sambil menata ember di kamar mandi, menuangkan air dingin dari bak mandi, baru air panas dari teko, ke dalamnya.
Baru saja aku mengunci pintu kamar mandi, kudengar salam dari kedua kakakku.
“Alia mana, Bu?” tanya Kak Dina, yang terdengar dari belakang.
“Lagi mandi air hangat,” sahut Ibu.
Kak Dina menimpali, “Oh. Aku dulu malah nggak sempat mandi.”
Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. Dari dulu, Kak Dina selalu begitu, mengomentari tentangku yang sering tidak sama dengannya. Biarkan saja. Toh, Mas Bams juga belum pulang, masih ada waktu untuk mandi.
**

Jodoh Pilihan Allah [TAMAT] ✔️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora