Bab 27. Masalah Perwalian

27 9 42
                                    

"Maaf, Nduk. Pak Susilo masih lama. Bagaimana kalau saya kasih nomornya saja dulu?" tanya Bu Susilo.

"Oh, baik, Bu."

Beliau mengucapkan dua belas digit nomor telepon dan aku menyimpannya.

"Tanya langsung kepada beliau, boleh. Atau besok ke sini lagi, juga boleh," saran beliau.

"Baik, Bu," ucapku lalu pamit undur diri.

Perjalanan panjang dan sulit, ternyata berbuah pahit, aku tidak ketemu dengan Pak Susilo. Tak apa, masih ada hari esok.

**

Siang hari usai menjahit, aku mengirimi pesan berupa pertanyaan syarat-syarat menikah di KUA. Pak Susilo menjawab semua daftar dengan lengkap, termasuk dari pihak pria. Aku memberi tahu Mas Bams bahwa beliau harus menyerahkan fotokopi KK, Akta Kelahiran, KTP, KTP orang tua dan pas foto 2×3 dan 3×4 cm.

Mas Bams menjawab pesanku bahwa beliau akan datang menyerahkan semua syarat itu, pagi ini. Hatiku berdebar ketika membantu Kak Dina menjahit pakaian.

"Assalaamu'alaikum," salam seorang lelaki, yang kemudian aku tahu itu Mas Bams.

Aku pun beranjak dari kursi, lalu menemui beliau di depan pintu rumah. "Wa'alaikumussalaam "

Rasa gugup, jantung berdegup kencang, tetapi hati senang bertemu calon suami. Mas Bams memakai celana jeans panjang warna navy, jaket warna senada dan sebuah peci yang selalu bertengger di kepala. Aku belum pernah melihat Mas Bams tidak memakai peci atau topi.

"Ini syarat-syaratnya, silakan dicek dulu. Kalau kurang, nanti menyusul." Untuk pertama kalinya, aku mendengar secara langsung suara beliau yang berat khas pria dewasa, tetapi tegas--bukan suara saat mengaji.

Telingaku seperti mendengar alunan merdu, membuat guncangan bertambah kencang pada organ tubuh yang disebut jantung. Hatiku berdesir. Betapa indahnya rasa ini, seolah ada kupu-kupu di dalam perutku.

Sekilas, aku menatap Mas Bams karena kami sedang berkomunikasi, lalu kusembunyikan desiran hati dengan menunduk, menatap plastik putih berisi kertas-kertas fotokopi lengkap yang Mas Bams berikan. Beliau juga mengalihkan pandangan ke arah lain.

Aku mencoba tetap fokus pada kertas-kertas itu. Semua lengkap, tak ada yang kurang.

"Ini sudah lengkap," ucapku buru-buru, supaya jantungku bisa tenang, sebab dengan begitu kuharap Mas Bams lekas pulang.

Benar saja, beliau pamit pulang dengan mengucap salam. Aku menjawabnya, lalu masuk rumah dan menyimpan kertas itu di lemari baju.

"Eh, fotonya ..." gumamku seraya mengambil plastik kecil berisi foto-foto Mas Bams yang semuanya satu warna baju dan peci.

Aku merasa ada konflik yang berkecamuk dalam hati. Apa aku yakin? Entah, Mas Bams kadang terlihat tua dan usianya jauh dariku. Namun, semakin hari aku tak bisa menahan rasa cinta dan rindu padanya. Ya Rabb, hamba takut jika rasa yang belum waktunya ini menambah dosaku. Izinkan kami segera menghalalkannya, agar setiap perasaanku padanya berubah menjadi pahala.

Setiap saat kuyakinkan dalam diri, bahwa usia bukanlah persoalan jika dua insan saling mencintai karena Allah. Banyak saudaraku yang menikah beda usia, harmonis juga. Mungkin kelak, kami hanya perlu saling memupuk rasa cinta di jalan yang halal, supaya terus tumbuh dan menemukan kecocokan walau apapun perbedaan antara kami.

"Sudah lengkap semua, Nduk, syaratnya?" tanya Kak Dina, setelah aku kembali duduk di depan mesin jahit.

"InsyaaAllaah sudah, Kak."

"Ajak Paman, gih! Buat ke rumah Pak Susilo. Kalau pakai motor, kan, gak terlalu berat dan bisa cepat sampai." Ide Kak Dina itu kali ini dapat kuterima.

Aku segera menemui Paman, lalu kami berboncengan menuju rumah Pak Susilo. Kami beruntung. Beliau ada di rumah. Kami dipersilakan duduk di ruang tamu.

"Ini kurang KK wali yang asli, sama foto calon pengantin pria yang ukuran 3×4 cm," ucap Pak Susilo, setelah mengamati persyaratan yang kuserahkan.

"Walinya Mbah Syahid. Sampun ada, itu, Pak," jawabku.

"Begini, Mbak. Wali itu, jika bapaknya sudah almarhum, maka dicari yang paling dekat dulu. Kakak laki-laki, atau adik, ada?" tanya beliau.

"Tidak."

Pak Susilo bertanya lagi. "Paman atau Pakde, ada?"

"Ini paman saya. Kalau Pakde sedang berdakwah di luar pulau. Untuk tanggal pernikahannya 26 September 2019, beliau belum pulang, Pak," jawabku jujur.

Aku sedikit kaget, karena sewaktu rapat keluarga setelah khitbah resmi, disepakati yang menjadi wali nikah adalah Mbah Syahid. Kukira bisa sebab beliau itu adik kakekku, masih mahram. Ternyata jadi seperti ini. Kami abai dan belum mengantisipasinya kemarin-kemarin. Untung ada Paman, pas sekali aku mengajak beliau ke sini.

"Berarti yang jadi wali, Pamanmu ini. Ada KK?" tanya beliau pada Paman.

"Ada, tapi sepertinya hilang. Nanti saya carikan dulu," ucap Paman.

"Baik. Tanggal pernikahan, 26 September 2019. Ijab kabul di KUA, atau di rumah? Kalau di KUA gratis, kalau di rumah tambah bayar 300.000," tawar Pak Susilo yang mulai mencatat sesuatu pada buku beliau.

"Di KUA," jawabku cepat, sebab keluargaku sudah sepakat ijab kabul di KUA, untuk resepsi di gedung majelis kajian.

Beliau mencatat lagi, lalu bertanya, "Mahar?"

"Bacaan surat Ar-Rahman."

Petugas KUA itu melirik ke arahku. "Dibaca satu surat penuh, atau berapa ayat? Baca atau hafalan?"

"Satu surat penuh, dibaca saja, Pak," jawabku cepat.

"Berarti wali, paman, ya?" Beliau memastikan lagi, yang langsung diiyakan paman.

Setelah itu, kami pamit pulang.

**

Pagi harinya, Mas Bams datang lagi menyerahkan foto berukuran 3×4 cm, seperti yang kupinta di chat tadi malam. Hatiku berdebar lagi, tetapi sekaligus senang. Aku jadi tidak sabar menikah di KUA, supaya memandangnya menjadi pahala dan tak perlu menunduk lagi karena takut larangan Allah.

Siang hari, aku mengetuk pintu rumah Paman.

"Paman sudah dapat KK-nya? Ini Pak Susilo WA kalau harus segera diserahkan, supaya cepat diproses, karena waktunya tinggal beberapa minggu lagi," kataku, seraya menunjukkan layar gawai dengan tampilan chat dari Pak Susilo.

"Aku cari belum ketemu, tuh. Nanti, ya, insyaaAllaah Paman carikan. Kayaknya di tumpukan buku di lemari, sebab sudah lama tidak digunakan," jawab Paman, membuatku kecewa.

Hari berikutnya, aku meminta KK itu, Paman bilang belum ketemu. Dua hari kemudian, katanya hilang. Selang satu hari, belum juga memberikan KK itu dengan alasan, kalau fotokopi ada, tetapi Pak Susilo meminta yang asli.

"Gimana, ya, Kak? Paman belum juga menyerahkan KK itu, padahal penting banget dan itulah kuncinya, karena kami tak bisa menikah tanpa wali yang sah," keluhku pada Kak Dina yang sedang menyuapi Abidah.

Aku bersyukur Kak Dina masih sering menginap di sini. Kak Dina menelepon Bude. Suara beliau terdengar menangis.

**

Jodoh Pilihan Allah [TAMAT] ✔️Where stories live. Discover now