Bab 21. Bams: Kejutan Besar

25 9 8
                                    

Aku pulang dengan hati yang dipenuhi kebingungan, sekaligus senang. Aku menuju parkiran, menyalakan motor.

"Ayo, Mbok," ucapku pada Simbok yang menungguku sejak tadi.

"Tadi ada urusan apa sama Pak Rama?" tanya beliau.

"Ada yang sudah menerima saya menjadi pendampingnya, Mbok. Semoga bukan harapan palsu lagi," jawabku, saat kami sudah naik motor.

Kulihat wajah Simbok berbinar, dari kaca spion. Aku menghela napas panjang, lalu mengembuskannya kembali.

"O ya, siapa?" tanya Simbok.
"Mbok, bagaimana jika kelak menantumu itu seorang wanita bercadar?" Aku sudah ragu, sebab mungkin beliau tak suka pada perempuan yang penampilannya aneh sendiri di desaku kelak.

"Ya gak papa, to. Alhamdulillaah. Aku bersyukur sekali, jika memang kamu sudah akan bertemu pendampingmu," kata Simbok."

Aku tersenyum senang. "Syukurlah kalau begitu, Mbok."

Wajah perempuan yang melahirkanku itu penasaran. "Memangnya siapa, to?"

"Alia, Mbok. Anaknya almarhum," jawabku.

"O ya? Alhamdulillaah. Sudah lama aku menantikan hal ini terjadi. Tak ada yang kupikirkan selain kamu segera menikah." Kerutan di wajahnya menyiratkan kebahagiaan tak terperi.

**

Usai Salat Magrib, Pak Dodi, seorang tetangga sekaligus warga kajian, yang biasa menjadi tukang nembungke²² di desa kami, sudah datang ke rumahku. Kami hendak menuju rumah Mbah Syahid, kakek Alia yang mewakili menjadi wali dalam urusan aku dan gadis itu. Sebuah tindakan lanjutan setelah mendengar pernyataan Pak Rama beberapa hari yang lalu.

"Nanti bagaimana, Pak. Apa yang bisa saya utarakan pada Mbah Syahid?" tanyaku duduk berhadapan dengan Pak Dodi di ruang tamu.

"Ya kita nanti yang penting datang untuk silaturahmi, menanyakan maksud Alia yang katanya sudah menerimamu apa adanya itu," jawab beliau.

Aku mangut-mangut.

"Biar saya yang mewakilkan kamu," ucap Pak Dodi lagi.

Kami pun segera berangkat dengan motor masing-masing. Sampai di rumah Mbah Syahid, jantungku berdebar hebat. Inikah jawaban dari semua doaku yang dulu?

"Assalaamu'alaikum." Pak Dodi mengetuk pintu.

Pintu terbuka, menampilkan sosok Mbah Syahid yang rambutnya sudah banyak beruban. Beliau memakai koko putih dan sarung kotak-kotak.

"Wa'alaikumussalaam. Mari, silakan masuk. Sudah saya tunggu, Dodi," ucap Mbah Syahid.

Kami melangkah masuk. Apakah Pak Dodi dan Mbah Syahid sudah janjian? Buktinya kakek Alia itu tidak kebingungan saat kami datang, padahal kami jarang sekadar main ke rumah beliau, batinku.

Anak Mbah Syahid yang tak lain juga bibi Alia, keluar dengan membawa dua gelas minuman. Setahuku, bibi Alia ini sudah punya 3 anak.

"Monggo²³, diminum." Beliau mempersilakan, lalu masuk lagi dengan membawa nampan.

"Yo, silakan diminum," ucap Mbah Syahid.

Aku menyesap teh hangat itu sedikit, masih agak panas.

Pak Rama dan Mbah Syahid berbincang-bincang. Topiknya mengenai majelis, kesehatan Mbah Syahid, pekerjaan Pak Rama dan lain-lain. Kadang kakek Alia itu juga bercanda sedikit. Beberapa menit kemudian, kakak Alia, Dina, datang seraya mengucap salam, lalu ikut duduk di tempat yang agak berjauhan dari kami.

Aku hanya melirik sekilas, lalu mendengarkan percakapan Pak Rama dan Mbah Syahid, sambil sesekali menimpali. Dina diam saja.

"Geh, kami berniat silaturahmi. Kemudian, kami ingin menanyakan maksud Anda kemarin bahwa Alia sudah menerima Bams. Tepatnya seperti apa, ya, Mbah?" Pak Rama membuka pembasahan inti, maksud kedatangan kami.

Belum sempat Mbah Syahid menjawab, paman Alia, Pak Nur muncul dari balik pintu, lalu masuk.

"Assalaamu'alaikum," salam paman Alia.

Kami menjawab salam beliau bersamaan.

Paman Alia duduk lalu bertanya, "Piye ini, acaranya?"

"Genah²⁴ mau melamar, kok," jawab Mbah Syahid.

Sekali lagi, semua terasa seperti mimpi. Kami baru berniat silaturahim, tapi sudah langsung diterima? Ya Allah, inikah hadiah dari-Mu saat hamba sudah benar-benar pasrah? Mengapa kemarin ketika hamba meminta kriteria ini-itu, Engkau belum memberikan jodohku? tanyaku dalam hati.

Selama sekian detik, aku seperti melayang, tidak berpijak pada tanah. Seolah orang-orang di sekitarku adalah sebuah foto yang berhenti bergerak. Aku tak percaya pada ucapan Mbah Syahid. Kemudian, aku kembali sadar bahwa ini kenyataan.

"Apa tidak pakai ta'aruf, atau mereka berdua ditemukan dulu?" tanya Pak Nur.

"Tidak usah, udah saling kenal. Keluarga juga saling mengenal baik. Sama-sama ngaji di majelis. InsyaaAllaah tidak ada percekcokan. Lagipula, Bams sudah diberi tahu Rama, kan, tentang hal ini? Alia sudah istikharah, dia memilih kamu." Pandangan serius Mbah Syahid menuju ke arahku, yang kubalas dengan anggukan dan senyuman.

Aku bersorak dalam hati. Inikah kuasa Allah? Ketika aku berjuang ta'aruf sana-sini, Dia belum mengizinkan diri ini menikah.

Sebaliknya, ketika aku pasrah bongkokan²⁵ pada Allah, tidak lagi memasang kriteria A-B-C-D, Alia justru datang membawa angin segar dalam kehidupanku, memberikan jawaban yang di luar dugaan.

Aku ingin segera bersujud syukur, ternyata begini cara Allah membolak-balikkan hati manusia. Jika diibaratkan, aku seperti hampir mendapatkan berlian setelah berjuang di antara lumpur-lumpur yang tadinya tampak seperti emas. Emas itu adalah perumpamaan ta'aruf yang selama ini kujalani. Memang harus melewatinya, untuk mendapatkan sesuatu yang paling indah dan sangat membahagiakan hati ini, meski tak jarang jalan lumpur itu menenggelamkanku.

Jika dalam kisah fantasi, aku harus bertemu rumah penjaga berlian itu yang tinggal seratus sentimeter lagi akan kupijak. Penjaga itu akan memberikannya di waktu yang tepat, yakni ketika menikahkanku dengan Alia.

Jika diibaratkan oleh pendaki gunung, medan-medan yang kulalui adalah tempat paling tersulit untuk dijangkau manusia. Sakit, terseok-seok, memegangi rerumputan basah yang tentu membuatku jatuh, dan terseret oleh bebatuan licin. Layaknya hinaan dan cacian dari teman dan saudara yang terus menanyakan kapan akan menikah, aku jomblo sejati, tidak bisa berbaur dengan perempuan, kuno, pendiam, jaim, terlalu pemilih, perjaka tua dan sebagainya. Walaupun aku tahu, semua itu disampaikan dengan candaan, tetapi bagi pria berumur, semua perkataan itu sangat menyakitkan.

Namun, tak ada yang menyangka, aku akan menemukan pemadangan terindah yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Mereka pasti akan iri jika aku mengambil potret di gunung ini, lalu mengunggahnya ke sosial media. Semua mata akan terpesona melihatnya. Bams, si perjaka tua, akan menikah dengan seorang perempuan muda yang bercadar pula. Wajah tertutup itu hanya akan menjadi milik Bams seorang--yang dulu pernah menurunkan kriteria dari berjilbab panjang sampai jilbab segiempat pendek, sudah ta'aruf semua.

Cara Allah dalam memberikan takdir jodoh bagi hamba-Nya itu sangat indah. Tak dapat kusangka sebelumnya. Ternyata kita harus benar-benar pasrah, mengandalkan Allah saja dan bukan akal kita, untuk mendapatkan kejutan besar dari-Nya.

**
Catatan kaki:
22. Tukang nembungke: orang yang biasanya diandalkan untuk meminta izin untuk ta'aruf atau diandalkan untuk mewakili lelaki saat melamar atau meminang seorang perempuan.
23. Monggo: silakan.
24. Genah: jelas-jelas.
25. Pasrah bongkokan: pasrah sepasrah-pasrahnya, sudah tidak punya permintaan ini-itu lagi, menurut saja (dalam hal ini menurut pada kehendak Allah).

Jodoh Pilihan Allah [TAMAT] ✔️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora