Bab 48. Rezeki Terbesar dari Allah

0 0 0
                                    

Beberapa hari setelah acara arisan yang sempat membuatku baper itu, rasanya belum ada tanda-tanda kehamilan padaku. Hanya saja, haidku terlambat tiga hari. Namun, kami tak mau berharap lebih, sebab nanti akan kecewa. Masa muda dulu juga sering jadwal datang bulan telat beberapa hari. Faktornya macam-macam, bisa karena stres, atau hal lainnya.
Mas Bams pulang dari bekerja untuk makan siang, lalu menceritakan kalau Mbak Riri masih menginap di tempat mertua karena libur panjang.
“Coba pakai ini, Dek,” ucap Mas Bams seraya menunjukkan dua buah tes pek yang masih terbungkus rapi.
“Eh, tes pek, Mas?” tanyaku, “tapi ....”
“Mbak Riri yang menyuruh. Kata dia, kalau sudah berhari-hari terlambat haid, mending dicek. Apa pun hasilnya, kita harus terima. Lebih baik antisipasi. Kalau positif, bisa langsung periksa dan dapat vitamin dari bidan,” jelas beliau.
“Iya, Nduk. Mending dicek kalau memang sudah telat haid.” Ibu tampak mendukung.
Ragu-ragu aku menerima tes pek itu. Aku membaca-baca bungkusnya. Apa iya aku telat haid karena hamil. Kok, belum merasakan tanda-tandanya, ya? batinku.
“Kata Mbak Riri juga, biasanya pengantin baru tidak bisa merasakan tanda awal kehamilan, semacam tidak menyadari perubahan dalam tubuhnya sendiri, karena baru pertama kali. Bismillah, ya, Dek.” Ucapan Mas Bams seolah menjawab pertanyaanku.
Aku menarik napas panjang, lalu mengangguk. Kemudian, pergi ke kamar mandi untuk mengikuti petunjuk pemakaian tes pek itu.
Ya Allah, inikah jawabannya? Hatiku terus berdebar menunggu hasilnya.
Beberapa menit kemudian, muncul dua garis merah yang samar dan lama-kelamaan menjadi jelas. Mataku terbelalak.
“Alhamdulillah, Mas!” teriakku, sampai tak sadar kalau terlalu keras.
“Gimana, Dek?” tanya Mas Bams dari ruang televisi.
Aku berjalan cepat sambil membawa tes pek milikku, untuk kutunjukkan pada Mas Bams dan Ibu.
“Dua garis, Mas. Alhamdulillah positif,” kataku seraya tetap memegang benda kecil itu.
Mas Bams dan Ibu mengamatinya dengan saksama. Mereka berdua tersenyum, lalu mengucap tahmid bersamaan. Aku membuang tes pek itu ke tempat sampah, mencuci tangan, lalu kembali ke ruang depan untuk bersujud syukur kepada Allah.
“Jenengan gak sujud syukur, Mas?” tanyaku setelah bangun.
“Masih ragu, Dek. Besok kamu pakai tes pek itu lagi. Jika dua kali hasilnya positif, aku akan terharu dan bahagia akan kuasa Allah, lalu bersujud syukur pada-Nya. Kita akan segera menjadi orang tua,” jawab beliau.
“Oh begitu. Baiklah, Mas.” Aku tersenyum seraya mengelus perutku yang ternyata sudah ada janin di sana. “Alhamdulillah, akhirnya doaku dikabulkan oleh-Nya.”
Terlihat binar bahagia di wajah wanita yang telah melahirkanku. “Alhamdulillah, Nduk. Ibu akan segera punya cucu. Siang-malam sehabis salat, Ibu selalu mendoakanmu supaya dikaruniai anak oleh Allah.”
Kami benar-benar bahagia.
“Balik kerja dulu, ya, Dek. Assalamualaikum,” pamit Mas Bams.
Aku dan Ibu menjawab salam beliau. Tak lupa untuk menjabat dan mencium tangan suamiku. Beliau pun berlalu, mengendarai motor ke rumah mertua.
“Alhamdulillah, ya, Bu,” ucapku.
Seharian itu, kami senyum-senyum dengan penuh kebahagiaan.
**
Keesokan harinya, aku menggunakan tes pek yang baru. Menurut keterangan pada bungkusnya, mengecek di pagi hari setelah bangun tidur, hasilnya akan lebih akurat, karena suhu tubuh saat itu mendukung tes kehamilan.
Aku terharu pada kuasa Allah. Hasil yang kedua sama seperti kemarin, dua garis merah yang samar dan kemudian menjadi lebih jelas.
“MaasyaaAllaah. Mas, hasilnya tetap positif!” ucapku seraya menunjukkan tes pek pada Mas Bams yang duduk di ruang tamu.
Mas Bams tersenyum dan menatap benda kecil di tanganku, lalu bersujud syukur kepada Allah. “Alhamdulillah, ternyata yang kemarin benar, Dek. Aku tidak menyangka secepat ini Allah memberikan rezeki terbesar-Nya pada kita.”
“Alhamdulillah,” ucap Ibu, terharu.
“Iya, Mas. Aku kira masih lama lagi, ternyata hanya selisih dua bulan dari pernikahan kita. Kuncinya adalah bersabar dan berdoa kepada Allah di samping ikhtiar. MaasyaaAllaah.” Aku menitikkan air mata.
“Dihati-hati, Nduk. Lakukan pekerjaan yang ringan saja, yang berat-berat biar Ibu. Sudah lama menginginkan cucu darimu,” ucap Ibu.
“Iya, Bu, padahal sudah ada Abidah, loh. He he,” kataku.
“Abidah, kan, jauh. Inginnya yang bisa ditimang setiap waktu,” ujar Ibu.
Aku hanya tersenyum, seraya mengelus perut.
“Kata Mbak Riri, harus periksa jika tahu hasilnya positif,” ucap Mas Bams.
“Iya, kita periksa di mana?” tanyaku.
“Periksa di bidan. Bu Ratih, ya? Nanti sore sepulang kerja, insya Allah,” usul beliau.
“Baik, Mas. Insya Allah nanti sore aku siap-siap,” kataku, seraya menjabat dan mencium tangan beliau.
Mas Bams mengusap kepalaku, lalu pamit untuk bekerja dan mengucap salam.
**
Waktu periksa ke bidan pun tiba. Mas Bams menjemputku, lalu kami ke rumah Bu Ratih. Sampai di sana, kebetulan tidak antre. Kami dipersilakan masuk. Jantungku berdebar, karena baru pertama kali masuk ruang praktik Bu Bidan.
“Mau periksa apa, Mbak?” tanya Bu Ratih.
“Periksa kehamilan, Bu,” jawabku.
“Baru pertama kali periksa?” tanya beliau lagi.
Aku mengangguk.
Beliau mengambil beberapa buku catatan. “Sudah dites pek? Garisnya jelas atau samar?”
“Sudah, Bu. Garisnya jelas,” jawabku.
“Timbang berat badan dulu,” ucap Bu Ratih.
Aku menuruti perintah beliau. “Empat puluh lima, Bu.”
Beliau mengecek tekanan darahku, kemudian mencatatnya.
“Silakan berbaring dulu,” perintah beliau.
Aku naik ke ranjang pasien. Mas Bams diminta keluar. Bu Ratih mendekatkan tangan beliau ke bagian tubuhku, yang kemungkinan besar itu adalah rahim.
“Janinnya sehat, ya, Bu. Nanti saya data, saya kasih vitamin dan ada buku kehamilan untuk Anda,” ucap beliau.
Aku mengangguk, sedikit terenyak karena dipanggil ‘Bu’. Bukankah sebentar lagi aku menjadi calon ibu? batinku.
Aku turun, lalu duduk di tempat semula. Mas Bams dipersilakan masuk. Bu Ratih memberikan penjelasan pada kami, memberi sebuah buku kehamilan bersampul merah muda dan menyuruhku membacanya.
“Ini vitamin dan penambah zat besinya,” ucap beliau sembari memberikan vitamin kehamilan padaku.
Aku menerimanya. “Berapa, Bu?”
“Sama bukunya, jadi tiga puluh ribu,” jawab beliau.
Mas Bams memberikan uang kepada Bu Ratih, lalu kami pamit pulang.
“Dijaga, ya, Bu,” pesan beliau.
“Iya, Bu. Terima kasih,” jawabku.
**
Hari-hari berikutnya, aku menghabiskan waktu di kasur. Paling hanya mengucek cucian dan Ibu yang membilasnya, serta menyapu halaman. Rasanya lemas tak berdaya. Makan apa pun selalu kumuntahkan lagi, karena sangat mual.
“Gimana, ya, Mas? Apa-apa gak ada yang masuk ke perut. Takut, kalau anak kita tidak dapat nutrisi,” keluhku.
“Lah kamu maunya apa? Yuk, tak belikan,” kata Mas Bams.
“Mungkin buah pir atau roti tawar, Mas,” kataku.
“Ayo kuantar,” ajak beliau.
Kami menuju warung. Aku membeli beberapa makanan yang kira-kira mau masuk ke perut, lalu beliau mengatarku pulang.
“Makasih, ya, Mas. Jenengan perhatian banget,” pujiku.
“Iya, aku berangkat kerja dulu, ya. Assalamualaikum,” pamit Mas Bams seraya tersenyum.
“Wa’alaikumussalaam,” jawabku.
Aku masuk rumah, lalu mencoba buah pirnya.
“Gimana, Nduk? Mual gak makan pir?” tanya Ibu.
“Alhamdulillah, gak mual. Ibu mau?” tawarku.
“Enggak. Kamu saja. Kasihan gak kemasukan apa-apa, beberapa hari ini,” ucap Ibu.
“Iya, Bu.” Aku makan pir sampai habis, lalu minum air putih.
**
Satu pekan kemudian, perut kembung dan rasa mual makin menjadi-jadi. Vitamin pereda mual juga sudah kuminum, tetapi namanya morning sickness, setiap makanan yang kumakan pasti selalu keluar lagi.
Kadang, jika Mas Bams di rumah, beliau langsung berinisiatif memijat tengkukku saat muntah-muntah. Jika beliau di rumah mertua, Ibu yang memijatku. Aku sangat kagum pada Mas Bams yang sangat baik hati, juga bersyukur Ibu selalu ada untuk putrinya ini.
Pagi yang cerah. Entah mengapa, aku sangat ingin ikut Mas Bams ke rumah mertua. Mungkin bawaan bayi.
“Aku ikut, ya, Mas,” kataku pada Mas Bams yang baru selesai sarapan.
“Ikut? Tapi nanti kamu lemas, loh,” kata Mas Bams.
“Iya gak papa. Boleh tidur, kan?” tanyaku.
“Asal pekerjaan rumah Simbok sudah selesai, baru boleh tidur,” jawab beliau.
“Iya, Mas.”
Kami pun berangkat ke rumah mertua, setelah berpamitan pada Ibu. Beberapa menit kemudian, kami sampai.
“Assalamualaikum,” salam kami, hampir bersamaan.
“Wa’alaikumussalaam,” jawab Ma’e yang sedang duduk di ruang tamu.
Aku ikut duduk, sementara Mas Bams langsung menuju ruang kerja.
“Jagung, Nduk. Dimakan,” tawar Ma’e, seraya menunjuk piring berisi jagung rebus.
“Iya, Mak.” Aku mencobanya, berharap semoga nanti tidak muntah.
Sampai Magrib tiba, ternyata jagungnya tadi tercerna dengan baik dan aku tidak muntah lagi. Alhamdulillah.

**

Jodoh Pilihan Allah [TAMAT] ✔️Where stories live. Discover now