Bab 50. USG Pertama

2 0 0
                                    

Aku sudah selesai bersiap-siap untuk pergi USG ke Dokter Burhan. Mas Bams sudah menunggu dengan memanaskan motor beliau.
“Ayo, Mas,” ajakku.
“Ayo.” Mas Bams melepas standar motor bagian tengah, lalu menegakkan motornya seraya dipegangi kuat-kuat.
Aku berpegangan pada pundak Mas Bams. Pertambahan berat badan yang pesat karena dedek di perut, membuat motor beliau sedikit bergoyang saat aku naik dan duduk di jok belakang. Posisiku membonceng hadap depan supaya lebih aman.
“Hati-hati, ya, Nduk,” pesan Ibu yang berdiri di teras rumah.
“Iya, Bu. Doakan semua lancar, pamit dulu. Assalamualaikum,” kataku untuk yang ke sekian kalinya, karena tadi telah mengucapkan kalimat yang hampir sama.
“Assalamualaikum,” salam Mas Bams, lalu mulai melajukan motor.
“Semoga lancar tidak ada halangan apa pun. Wa’alaikumussalaam,” jawab Ibu.
Kami berdua berangkat, semakin jauh dari rumah, hingga Ibu sudah tak terjangkau pandangan. Dengan lirih, kami mengucapkan doa keluar rumah dan doa naik kendaraan. Meski dalam hatiku berdebar karena adanya virus Corona, akal sehatku terus memerintahkan untuk berpikir positif dan percaya pada kata-kata Mas Bams: serahkan semua kepada Allah.
Allah yang memberi sehat dan sakit kepada hamba-Nya. Hal yang paling penting adalah kami sudah menjalankan pro kes, serta terus berdoa agar dijauhkan dari penyakit COVID-19. Setelah ikhtiar dan tawakkal, biar Allah yang menentukan nasib kami.
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba perutku terasa sakit sekali, seperti ada tekanan hebat yang tak tertahankan.
“Mas, Mas, sebentar! Tolong berhenti, pinggirkan dulu motornya. Ini kenapa perutku sakit sekali? Aduh!” keluhku seraya meringis.
“Kenapa, Dek?” tanya Mas Bams.
“Tolong pinggirkan motornya dulu, berhenti. Aku mau turun sebentar. Aduh! Gak tahan sakitnya, Mas, kaku perutku,” jawabku.
“Oh, iya iya.” Mas Bams meminggirkan motornya ke area yang cukup luas, lalu berhenti.
Aku turun dari motor sambil menahan perut yang kaku.
“Tarik napas dulu, Dek,” kata Mas Bams, seraya membantu melepaskan helm.
Aku menarik napas dalam. “Astagfirullah,” zikirku tak berhenti sambil mengelus-elus perut sampai kakunya sedikit berkurang.
“Kaku banget, ya?” tanya beliau seraya memasang ekspresi prihatin di hadapanku.
“Iya, Mas. Kenapa, ya?”
“Mungkin karena tertekan pada posisi dudukmu, naik motor lama, menekan perut jadinya,” tebak beliau.
“Berarti posisi naik motorku harusnya menyamping, ya? Aman gak?” Aku sedikit cemas.
“Insya Allah gak papa. Aku akan berusaha pelan dan hati-hati dalam menyetir, nanti,” kata Mas Bams.
“Ya udah, menyamping aja. Yuk, lanjut,” ucapku seraya bersiap untuk naik motor.
Kami kembali berboncengan menuju tempat praktik Dokter Burhan dengan posisi duduk menyamping. Sedikit mengurangi tekanan pada perut, walaupun aku sedikit khawatir karena menurutku lebih aman jika posisinya menghadap ke depan. Tak apa, asal sudah berdoa, insya Allah akan selamat sampai tujuan. Aamiin.
Tak lama kemudian, kami sampai di tempat praktik Dokter Burhan, ternyata sebuah rumah sakit swasta. Jantungku berdebar saat kami memasuki area parkir, lalu menuju tempat cuci tangan. Semoga saja tidak di-swab. Beruntung, petugas penjaga hanya meminta Mas Bams untuk menuliskan nama, alamat rumah dan tanda tangan, lalu mengecek suhu badan dengan sebuah alat.
“Empat belas hari terakhir, tidak pergi ke mana-mana, ya, Pak, Bu?” tanya petugas itu.
“Tidak,” jawab kami berdua, bersamaan.
“Baik, saya cek suhu badan terlebih dahulu,” ucapnya, lalu mengecek suhu badan dengan sebuah alat yang ditempelkan di dahi. “Normal, ya. Silakan masuk ke bagian pendaftaran.”
Hatiku lega, ternyata lancar prosesnya. Kami menuju tempat pendaftaran. Setelah melalui banyak prosedur—seperti menyerahkan KTP serta buku kehamilan, ditanya nama suami dll., menimbang berat badan, dan memberi tahu tinggi badanku. Setelah itu, kami disuruh menunggu di ruangan yang sudah disediakan.
“Nanti yang boleh masuk, berdua atau aku aja, ya, Mas?” tanyaku.
“Gak tahu. Biasanya boleh, kan?” tanya Mas Bams balik.
“Mudah-mudahan boleh, ya, Mas,” harapku.
Beberapa menit kemudian, tiba giliranku dipanggil untuk masuk ke ruangan dokter.
“Silakan masuk, Bu.” Seorang suster mempersilakanku masuk ke dalam ruangan.
Mas Bams berdiri hendak ikut masuk.
“Mohon maaf, yang boleh masuk maksimal satu orang. Silakan tunggu di luar,” ucap suster itu.
Jantungku kembali berdebar. Masuk ruangan dokter, sendiri? Baru pertama kali pula. Setelah melirik Mas Bams sedikit, aku masuk, lalu mengikuti arahan suster untuk berbaring di ranjang pasien, lalu menekuk kedua kaki.
Hawa dingin menjalar sampai ke tulang. Suster itu mengoleskan sesuatu yang bersifat cair ke atas perutku, entah apa namanya. Dokter sedang memeriksa data diriku pada buku kehamilan bersampul merah muda, lalu beranjak menuju alat USG di sampingku.
“Berapa minggu ini, Bu?” tanya beliau.
“Dua puluh empat, Dok,” jawabku, agak ragu, dengan jantung yang semakin berdetak kencang.
Sejak pandemi, dokter yang biasanya hanya memakai jas putih, kini memakai APD lengkap, bermasker dan penutup kepala yang berbahan seperti plastik.
Dokter Burhan menekankan sebuah alat pada perutku, membuat jantung semakin berdebar. Pertama kali USG dan sendirian. Semuanya belum pernah kualami: suasana, ruangan dokter kandungan, dan pengalaman baru.
“Lihat layar di atas, ya, Bu,” perintah Dokter Burhan.
Aku pun memfokuskan layar tepat pada jarak pandangku yang lurus ke depan atas, kini sudah mulai menampilkan bayiku di dalam rahim.
“Bayinya sehat, ya, Bu. Plasenta cukup, ari-ari cukup. Ini kepalanya, ini badannya,” ucap Dokter Burhan.
“Oh, iya, Dok,” jawabku.
Dokter Burhan menerangkan beberapa istilah medis kepada suster yang sedang fokus mencatat di bukunya. Setelah beberapa saat, kubersihkan perut dari cairan tadi menggunakan tisu yang disediakan, lalu aku turun dengan hati-hati.
“Dua minggu lagi kontrol ke sini, ya, Bu. Untuk resep vitamin, saya tuliskan dulu, nanti ditebus di apotek,” ucap Dokter Burhan.
“Baik, Dok. Boleh puasa, kan?” tanyaku, mengingat sebentar lagi bulan Ramadan.
“Boleh, silakan. Tapi kalau memang tidak kuat, jangan dipaksa.” Jawaban Dokter Burhan membuatku lega, pasalnya pertanyaan itu yang kuingat sejak dari rumah tadi.
Beliau menyerahkan buku kehamilan, selembar kartu anggota atau semacam kartu pasien, selembar foto USG bayi di dalam rahimku, dan selembar resep vitamin.
“Terima kasih, Dok,” ucapku, lalu beranjak menuju pintu.
“Iya. Jangan lupa nanti berbuka puasanya sama sate, ya, Bu,” ucap Dokter Burhan membuatku tertawa.
Ternyata dokter bisa bercanda juga. Aku hanya membatin, lalu menyerahkan resep di tanganku pada Mas Bams yang duduk sendiri di ruang tunggu sembari bermain ponsel. Sejak pandemi, tempat duduk di hampir semua fasilitas umum, diberi tanda jaga jarak.
“Ini nebusnya di mana?” tanya beliau.
“Di apotek. Itu,” ucapku seraya menunjuk papan ruangan yang tak jauh dari tempatku berdiri.
“Oke, aku sambil bayar dulu, ya,” ucap beliau.
Aku duduk, rasanya cukup melelahkan. Beberapa menit kemudian, beliau kembali.
“Ada apa, Mas?” tanyaku.
“Disuruh ke administrasi, ini dikasih tagihan untuk beli vitaminnya,” jawab Mas Bams.
“Itu ruangan administrasi kayaknya, Mas,” kataku, menunjuk ruangan kecil di sebelah kiri.
Mas Bams menoleh, lalu berjalan ke sana. Untuk mengisi waktu, aku mengamati foro USG bayiku. MaasyaaAllaah, betapa hamba takjub akan semua kuasa-Mu ini. Ada makhluk mungil, lucu dan selalu kami rindukan di dalam rahimku. Betapa tak ada yang bisa menciptakan hal serupa. Allaahu akbar.
Tanpa sadar, aku menitikkan air mata, lalu buru-buru menghapusnya. Sebelum pulang, kufoto print out USG bayiku dengan berlatar suasana rumah sakit di depanku.
Lima belas menit kemudian, Mas Bams membawa sebuah kuitansi, menuju apotek.
“Bu, ini KTP-nya,” ucap seorang resepsionis dari ruangannya.
Aku menerima KTP milikku. “Terima kasih, Mbak.”
“Sama-sama. Empat belas hari lagi, kontrol ya, Bu,” pesannya, mengingatkan.
“Oh iya. Mari,” ucapku, lalu berjalan menjauh, menuju Mas Bams yang sudah menunggu dengan menenteng kresek berisi vitamin untuk ibu hamil.
“Ayo, Mas!”
Kami berdua pulang dengan perasaan tenang, karena telah mengetahui keadaan si kecil.
**

Jodoh Pilihan Allah [TAMAT] ✔️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora