Bab 9. Hari Berkabung

39 11 2
                                    

Aku ke kamar mandi untuk mengambil air wudu, sekaligus memberi ruang untuk Ibu yang mungkin ingin memeluk Bapak untuk terakhir kalinya. Para warga mulai berdatangan. Usai salat, aku menyalami mereka, sebagian saudari seiman memelukku sembari ikut meneteskan air mata.

“Yang sabar, ya, Mbak,” ucap beliau.

InsyaaAllaah Bapak husnul khatimah,” ucap yang lainnya.

“Bapak sudah tenang.”

“Yang sabar, yang ikhlas. Adewe mung sak dermo⁸.”

Ini semua terasa seperti mimpi. Berulang kali aku mencubit lenganku sendiri, berharap ini semua dengan kenyataan. Tetapi takdir Allah tak bisa kami tolak. Allah lebih mencintai Bapak.

Kakakku, Kak Dina, datang dengan tangis yang tak dapat dibendung lagi.

Nduk ....”

Tak ada kata lain yang keluar dari mulut kakak, terkubur oleh kesedihan yang mendalam. Aku menyalami keluarga besar kakak yang berhamburan masuk.

Nduk, gimana ini, Bapak meninggal. Ibu gimana, Nduk?” Perempuan yang membesarkan kami itu kebingungan, bagaimana kehidupan selanjutnya jika tanpa tulang punggung keluarga.

“Yang sabar, Bu.”

Lama kami saling menguatkan dengan air mata yang tak berhenti mengalir.

“Aku tak salat dulu,” kata Kak Dina usai melihat bapak di kamar, masih dengan wajah pilu.

“Iya, bergantian,” timpal ibu mertua Kakak, lalu memelukku.

“Ayo, bareng. Ibu juga belum salat,” ajak Ibu.

Keluarga besar Kak Dina bergantian melaksanakan salat Subuh. Sebagian yang lain menunggu bapak di kamar. Usai salat, aku, Ibu dan Kak Dina masuk kamar.

“Sebelum meninggal, ada wasiat dari Bapak?” tanya Pakde.

Mboten,” jawabku.

Tak ada kata yang terucap dari kami. Seolah mulut terkunci, terdiam menatap jasad Bapak yang telah kaku. Pengumuman kepergian Bapak disiarkan oleh seorang warga desa melalui mikrofon masjid.

“Ya Allah.” Aku menunduk, merasakan betapa ini adalah ujian paling berat dari Allah dengan mengurangi satu jiwa dari keluarga kami.

Aku, Ibu dan Kak Yani keluar dan duduk untuk menemui para pelayat. Tikar telah ditata, barang-barang dan alat jahit sudah dirapikan oleh tetangga kami.  Ruangan khusus pelayat pria dipisah dengan pelayat perempuan.

“Semoga bapak husnul khatimah.” Demikian doa dari para pelayat.

Aku menitikkan air mata setiap ada yang mengucapkannya dan menyalami atau memelukku.

Piye, to, Nduk? Kok gak bilang-bilang aku, kalau bapakmu sakit.” Banyak yang berkata demikian padaku, terutama saudara dan tetangga dekat.

“Bapak itu gak mau diajak berobat, beliau bilang sudah mendingan badannya. Kami, kan, jadi tenang. Hari Sabtu itu masih mengendarai sepeda motor. Jadi, kami juga kaget,” jawabku menerangkan yang sejujurnya.

“Ya udah gak papa, yang sabar aja. Ini semua sudah ketentuan dari Allah. Semoga bapakmu husnul khatimah.” Akhirnya hanya kalimat seperti itu yang mereka ucapkan.

Jenazah Bapak telah siap untuk dimandikan. Ibu ikut memandikan. Sementara aku tak kuat, merasa hati tak sampai jika harus ikut serta, walaupun Kak Dina menyuruh. Para pelayat sedang duduk semua. Aku membuka ponsel, membuat sebuah status yang berisi kesedihan atas meninggalnya bapak di sosial media. Banyak sekali komentar dan pesan yang berisi dukungan dan ucapan berduka cita untukku.

Setelah jasad Bapak selesai dimandikan dan dikafani, aku, Ibu dan Kak Dina ikut Salat Jenazah bersama jamaah lainnya. Ya Allah, tangis tak terbendung ketika mendoakan jasad Bapak yang terbaring di sana. Apakah ini kenyataan? Mengapa ujian-Mu kali ini begitu berat, ya Rabb?

Usai salat jenazah, kami bergabung lagi dengan para pelayat. Beberapa menit kemudian, upacara pengangkatan jenazah dimulai. Kami maju ke barisan paling depan untuk melihat keranda jasad beliau yang terakhir kalinya. Aku merasa melayang sejak tadi, tidak menapak tanah, karena betapa tak percaya dengan semuanya. Berkali-kali mencubit lengan, berharap yang terjadi adalah mimpi, tetapi semua ini kenyataan, takdir dari Allah. Hari ini seolah terasa sangat hampa, sedih, pedih, perih.

Setelah upacara diakhiri dengan doa, keranda jenazah dibawa menuju pemakaman, menjauh dari kami. Hariku benar-benar terasa hampa. Aku, Ibu dan Kak Dina berjalan masuk rumah lagi karena wanita tidak boleh ikut ke pemakaman, menurut tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Kami menangis, hati teriris-iris.

**

Malam pun tiba. Kasur di dalam kamar dikeluarkan ke ruang depan bagian selatan untuk tidur aku, Ibu, Kak Dina dan keponakanku. Kami belum siap tidur di mana Bapak berbaring terakhir kalinya. Sementara kakak ipar tidur di ruang tamu bagian utara beralaskan tikar.

Detik demi detik berlalu, tetapi mata belum bisa terpejam. Hanya keponakanku yang masih kecil yang bisa tertidur pulas di antara kami. Aku bisa tidur tetapi selalu terbangun setiap beberapa jam. Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul tiga. Ibu melaksanakan Salat Tahajud untuk mendoakan bapak. Bisa terlihat dengan jelas, wajah sedih ibu, mata merah beliau dan tidak adanya semangat sepeninggal suami tercinta.

Siang harinya para pelayat masih berdatangan. Mereka memberikan amplop sebagai tali asih kepada kami. Allah memang tidak akan pernah menelantarkan hamba-hamba-Nya. Aku yakin tidak akan kelaparan karena Dia-lah yang memberi rezeki, walaupun Bapak sudah tiada. Pasti nanti ada jalan keluar untuk mencari nafkah.

Demikian hari-hari yang terlewati, penuh duka dan kesedihan. Para pelayat menghibur hati kami, mendukung dan menyulut semangat kami kembali. Saat waktu-waktu salat, kami berdoa dan menangis pada Allah, memohonkan ampun untuk Bapak tercinta, serta memohon agar diberi kesabaran dan ketabahan atas ujian yang menimpa, ditinggal oleh pria panutan sejati yang sangat kami cintai.

Sekitar seminggu kemudian, tak ada lagi yang bertamu, karena semua pelayat yang kami kenal sudah berdatangan. Tali asih dari mereka sudah dihitung, alhamdulillaah terkumpul banyak sekali. Jujur, ibu dan aku memang sangat membutuhkannya sepeninggal sang kepala keluarga. Kami menyimpannya untuk berjaga-jaga jika ada yang menagih hutang semasa Bapak hidup. Aku dan Kak Dina juga sudah menghitung dan melunasi hutang beliau yang diketahui dari catatan-catatan kecil milik beliau.

**
Catatan kaki:
8. Adewe mung sak dermo: kita hanya sebatas usia beliau dalam berbakti.

#smacademy #smwriting

Jodoh Pilihan Allah [TAMAT] ✔️حيث تعيش القصص. اكتشف الآن