Bab 19. Bams: Berharap Bertemu Jodoh

25 8 12
                                    

Sejak terakhir kali aku membalas pesan Luna dengan singkat, kami tidak berkomunikasi lagi. Harapanku benar-benar pupus.

Setahun kemudian, aku mencoba berhenti dari ta'aruf, istilahnya mengistirahatkan hati kalau kata para jomlo.

Hari itu, saat bapak Alia dipanggil oleh Allah, aku datang melayat, tetapi ruangan antara lelaki dan perempuan dipisah, sehingga aku hanya bertemu paman Alia dan saudaranya yang lain.

Hatiku sedih. Kami semua berduka, ikut menitikkan air mata karena merasakan kehilangan seorang teman satu majelis kajian yang sangat amanah, ramah dan tak pernah mau merepotkan orang lain.

Allaahummaghfirlahuu warhamhuu wa'fu'anhu wa 'aafihi wa akrim nuzulahuu, wa wassi' madkhalahu, wa naqqihii minal khathaayaa kamaa yunaqqatstsaubul abyadhu minaddanas, doaku dalam Salat Jenazah yang dilaksanakan secara berjamaah.

Usai upacara pemberangkatan jenazah bapak Alia oleh seorang pemuka agama, aku ikut berjalan menuju makam bersama para pelayat pria yang lain. Hatiku mencelos. Kami sangat sedih kehilangan orang yang istimewa iman dan akhlaknya.

Teringat Alia yang mungkin masih menangis bersama keluarganya, didampingi para pelayat, di dalam rumah. Dia pasti sedih sekali, batinku.

**

Beberapa pekan kemudian, aku melanjutkan pekerjaan; pandai alumunium di rumah. Ruangan yang kugunakan cukup besar, karena alat-alat untuk membuat perlengkapan rumah tangga itu berukuran besar. Contohnya lembaran-lembaran alumunium yang digunting menjadi bulatan-bulatan, lalu disambung menjadi sebuah panci. Kemudian ada juga beberapa besi panjang membentuk garis miring--karena disandarkan pada tempat duduk yang terbuat dari kayu besar berbentuk lonjong--atasnya datar, sebagai alas untuk membentuk panci atau wajan, dengan cara dipukul dan dibentuk sedemikian rupa. Ada juga panci-panci besar, dan lain-lain. Warna hitam mendominasi dinding dan lantai semen, karena bekas jelaga.

Setelah beberapa jam, aku merasa capai sekali, lalu memutuskan untuk beristirahat, dengan berbaring di dipan kecil di pojok ruangan, seraya membuka ponsel.

Aku teringat pada Pak Sodiq, seorang warga kajian yang sedang melaksanakan Ibadah Haji di Tanah Suci. Bukankah berdoa di sana, akan lebih mungkin untuk dikabulkan?

Aku bingung, menatap layar yang menampilkan chat kosong dengan nomor Pak Sodiq yang tertera di bagian atas.

Setelah berpikir beberapa kali, akhirnya aku mengurungkan niatku. Sebenarnya sudah sangat ingin meminta didoakan supaya segera bertemu jodohku.

"Bams, aku ke pasar dulu, ya. Mau beli bumbu. Besok, kan, 'Iedul Adha. Khawatir kalau mereka gak jualan," ucap Simbok¹⁷ yang tiba-tiba datang dari ruangan dalam rumah.

Ruang tamu dan ruang kerjaku memang tersambung, hanya dibatasi oleh pintu.

"Iya, Mbok¹⁷. Sama aku, apa sama Babe?" tanyaku, seraya bangkit lalu duduk.

"Sama Bapakmu. Nanti kalau makan, lauknya di lemari kayu," kata Simbok lagi. "Assalaamu'alaikum."

Aku menjawab salam beliau, lalu menghela napas panjang. Andai sudah punya istri, tak perlu dimasakin Simbok lagi.

"Mendingan Salat Duha dulu, siapa tahu hatiku lebih tenang," gumamku, seraya bangkit, mengambil air wudu.

Aku melaksanakan Salat Duha sebanyak delapan rakaat, dengan Surat Al-Mujadilah, atau surat-surat lain dalam Alquran yang agak panjang, sesuai hafalan yang ada. Berusaha khusyuk, menenangkan hati yang gelisah.

"Ya Allah, Ya Rahman Ya Rahim. Hamba pasrah pada-Mu. Sekarang, hamba tidak akan meminta kriteria apa pun lagi. Asalkan dia salat dan menutup aurat, saya bersedia. Tak peduli cantik atau tidak. Izinkan saya melepas masa lajang, Ya Allah. Aamiin," doaku usai salat.

**

Hari ini adalah hari Raya 'Iedul Adha. Takbir dikumandangkan, menggema di seluruh area lapangan, menggetarkan hati, bahwa kebesaran Allah mengalahkan segalanya. Sesuatu yang tidak mungkin, bisa saja terjadi. Mudah bagi-Nya menghendaki hal-hal yang di luar nalar atau kemampuan hamba-Nya.

Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah wujud kebesaran Allah. Aku yakin, kapan aku bertemu jodoh itu juga bagian dari kebesaran-Nya. Tak ada yang bisa mengetahui rahasia-Nya.

Saat pulang dari Salat 'Ied, aku duduk-duduk bersama temanku di tempat duduk yang membentuk tangga melingkar, di bagian paling atas. Biasanya tangga ini digunakan untuk penonton yang ingin menyaksikan tim kesayangannya bermain sepak bola. Ada uang gratis, kadang ada juga yang berbayar untuk turnamen.

"Kapan nikah, ini udah ke sekian kalinya 'Iedul Adha bareng, loh!" ucap temanku, iseng.

Aku tahu mereka hanya iseng setiap menanyakan hal itu. Entah kenapa, aku tidak nyaman ditanyai seperti itu. Andai mereka paham perasaanku, mungkin mereka memilih topik pembicaraan yang lain.

"Nunggu sampai Allah menghendaki," jawabku jujur.

Aku memang tidak pernah menceritakan soal ta'aruf sana-sini. Tak penting juga untuk mereka. Cukup aku, Simbok, Babe, pengurus kajian dan Allah saja yang tahu.

"Halah kamu, alasan! Pacaran, dong, biar cepat nikah!" timpal yang lain.

Pacaran? Rasanya tidak perlu melanggar larangan Allah untuk menuju pernikahan. Menikah itu ibadah, jangan diawali dengan kemaksiatan, nanti jadi tidak berkah.

Aku memandang lapangan yang dipenuhi masyarakat desa, laki-laki dan perempuan. Semua berebut untuk segera mencapai pintu gerbang.

Ya Allah. Adakah seorang jodoh di antara para perempuan yang berjalan di sini? batinku saat itu.

**

Setelah libur satu kali, untuk hari Raya 'Iedul Adha, kajian tahsin dimulai lagi. Kami mengikuti dengan saksama penjelasan dari Ustaz, juga berusaha mempraktekkan tajwid dengan benar. Beberapa kali aku ditunjuk Ustaz untuk mencontohkan bacaan, padahal aku sama saja dengan peserta kajian tahsin yang lain.

Usai kajian, seorang peserta kajian putri, Bu Peni, menghadang langkahku yang hendak menuju pintu keluar ruangan, dengan berdiri satu meter di depanku.

"Bams, gimana? Udah ada calon belum? Kalau belum, saya carikan mau? Saya ada kenalan, insyaaAllaah anaknya salehah," ucap Bu Peni.

Ya Allah, inikah jawaban dari doa-doaku? Semoga ini yang terakhir. Bukan harapan palsu lagi.

"Belum ada. Boleh, silakan, Bu. Saya sangat berterima kasih," kataku.

Beliau lalu mengangguk, kemudian membiarkanku pulang.

**
Catatan kaki:
17. Simbok/Mbok: panggilan untuk ibu dalam bahasa Jawa.

Jodoh Pilihan Allah [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang