Bab 41. Memilih untuk Memaafkan

2 0 0
                                    

Dengan bersungut, aku menyapu halaman rumah seperti biasa. Beberapa jam setelah insiden diam-diaman tadi, kami beraktivitas sendiri-sendiri. Mas Bams membuka ponsel di ruang tamu. Kami belum saling bicara lagi, sampai ketika sarapan bersama, masih tetap tak ada yang memulai menyapa.
“Aku berangkat dulu, Dek. Assalamualaikum,” salam Mas Bams, mengulurkan tangan beliau ke arahku.
“Wa’alaikumussalaam. Aku ikut, Mas.”
“Ikut?”
Aku mengangguk, lalu tetap menyambut uluran tangan beliau dan menciumnya. Setelah itu, aku mengambil jilbab dan cadar, serta memasukkan baju ganti ke dalam tas—rencana akan mandi di rumah mertua, dan dompet berisi sedikit uang yang sempat kuambil dari seserahan. Sisanya kusimpan rapat di lemari.
Untuk sementara, kami sepakat, Mas Bams belum memberi uang nafkah karena kami sama-sama masih punya tabungan. Beliau dari sisa persiapan walimah kemarin, kalau aku dari uang seserahan dan uang amplop sanak saudara dekat yang memang tidak mungkin kami tolak, seperti dari Paman, Pakde, Bibi dan adik almarhum Kakek dan almarhumah Nenek.
“Sudah siap?” tanya Mas Bams, saat aku duduk di jok belakang motor beliau.
“Iya,” jawabku, lalu membaca doa naik kendaraan dengan lirih.
“Tumben ikut, setelah sudah lama gak ikut,” kata beliau.
“Ma’e di rumah, kan? Pengen cerita-cerita aja, supaya lebih dekat juga.”
“Di rumah, Dek. Kamu benar, taaruf itu masih berlangsung, bahkan setelah menikah. Kita belum benar-benar mengenal satu sama lain, kan?” tanya Mas Bams.
“Iya. Katanya kalau jenengan marah, diam saja?” tanyaku balik.
“Mau aku diamin?”
Aku melirik wajah beliau melalui kaca spion. “Jangan, dong.”
“Terus kenapa tadi kamu diam?” tanya beliau.
“Gak begitu suka aja, Mas pernah main judi.”
Mas Bams mengembuskan napas panjang. “Itu lagi, itu lagi, Dek. Aku, kan, udah bilang, bukankah semua manusia punya masa lalu, masa-masa berdosa. Orang yang hijrah, pasti pernah melakukan dosa, sekecil apa pun itu.”
Aku diam lagi. Sebenarnya tak enak marah lama-lama, tetapi aku masih menuruti egoku.
“Ya sudah, terserah kamu,” ucap Mas Bams lagi.
Kami saling diam, sampai di rumah mertua. Setelah turun, aku mencium tangan Ma’e.
“Assalamualaikum,” salamku.
“Wa’alaikumussalaam. Ambil o minum sendiri, Nduk,” ucap Ma’e.
“Enggak, Mak.”
Aku membuat dua gelas teh hangat, yang satu untuk Mas Bams.
“Ini, Mas,” ucapku seraya menaruh gelas di meja kecil dekat tempat duduk untuk bekerja.
“Kukira gak dibuatkan. Bukannya kamu masih marah, ya?” kata Mas Bams yang sedang menghidupkan speaker bluetooth yang disambungkan ke ponsel untuk memutar musik atau dagelan favorit beliau di YouTube.
“Tahu, ah!” Aku melirik sekilas, lalu pergi ke ruang tamu, duduk di hadapan Ma’e. “Hari ini mboten berdagang, Mak?”
“Libur, Nduk. Kemarin udah,” jawab Ma'e. “Ini hari apa?”
“Jumat, Mak.”
“Besok kajian majelis, ya?” tanya beliau.
“Enggeh.”
“Aku dulu sebenarnya gak pernah salat, walaupun tahu caranya. Saking tidak tahu kalau itu wajib, akhirnya dengan mudah meninggalkannya,” ucap Ma’e, sepertinya mulai akan bercerita.
“O geh? Waktu masih muda, Mak?” tanyaku.
Ma’e meminum teh yang tinggal separuh gelas sejak aku datang tadi. “Sejak setelah jadi manten di sini, karena mertuaku tak pernah melaksanakan kewajiban itu juga. Bapakku—alias kakekmu yang sekarang masih ada—kadang salat, kadang tidak. Kalau Ibu masih sering salat sampai sekarang. Bams masih kecil, hanya dia yang rajin ke masjid. Ada satu-dua sesepuh, sedangkan warga lainnya sama sekali tidak tahu tentang aturan agama Islam dan tidak mencari tahu. Bahkan banyak yang menghina suamimu, dulu.”
Aku mangut-mangut menunggu kelanjutan ceritanya.
“Sebelum jadi manten, di sini, aku masih salat walaupun bolong-bolong. Kalau di sini, tahunya ya cuma kerja mengaruk pasir, makan, menyaur utang. Udah itu saja, sampai mbakmu, Riri, udah besar dan bekerja di Solo,” jawab beliau.
Keningku mengernyit. “Lalu Anto?”
“Anto masih bayi. Saat Bams remaja, kami mulai mendengarkan radio, tausiah dari Al-Ustaz. Titik kesadaran Mak mu ini, suatu sore saat memangku Anto, Bams pergi ke masjid. Babemu entah ke mana. Aku berpikir. ‘Iya ya, masa anaknya rajin salat, Simbok nya tidak salat.’ Hal itu selalu kurenungi.” Ma’e meletakkan gelasnya di meja.
Aku masih diam, menunggu kelanjutannya.
“Bams juga sering mengingatkan. ‘Mau sampai kapan, Mbok, seperti ini terus? Sudah dengar kajian di radio juga, kan? Ayo salat, itu juga buat keselamatan Simbok sendiri di akhirat kelak. Semakin sepuh, semakin dekat ke kubur. Kalau tidak cari bekal dari sekarang, kapan lagi?’ Setelah beberapa hari, aku memutuskan salat. Suamimu senang sekali dengan perubahan itu. Akhirnya istikamah, tertib lima waktu, alhamdulillah. Lama-lama Babemu sadar, ikut salat juga,” cerita beliau. Sepertinya sudah selesai.
Ingin sekali rasanya bertanya, apakah setelah itu, Babe berhenti berjudi? Namun, kuurungkan karena tak mau menyinggung perasaan beliau. Biar nanti saja, tanya langsung pada Mas Bams.
“Jadi Mas Bams salat sejak kecil, geh?” tanyaku.
“Iya.”
Aku senang mendengar hal itu. Seharusnya aku kagum dan menghitung-hitung kelebihan Mas Bams, untuk menghilangkan perasaan marah pada beliau. Godaan bermain judi itu hanya segelintir kesalahan dibanding kebaikan beliau. Salat di masjid saat masyarakat masih awam tentu berat dan penuh ujian. Maafkan istrimu ini, Mas.
**
Usai mandi, badanku segar sekali. Mas Bams pergi ke masjid. Aku melaksanakan salat Zuhur di rumah.
“Assalamualaikum wa rahmatullah, assalamualaikum wa rahmatullah,” salamku, diiringi kepala menoleh ke kanan dan ke kiri.
Dengan berusaha menenangkan hati yang sedang gelisah karena mengetahui masa lalu Mas Bams yang pernah berjudi, aku terus berzikir kepada Allah, meski tak lama kemudian, pikiran tetap tidak fokus. Aku mengembuskan napas panjang berkali-kali untuk menyelesaikan zikir dan dilanjut berdoa.
“Eh, Mas.” Aku terkejut melihat suamiku berdiri di belakangku. “Sudah dari tadi?”
“Iya. Gak mau ganggu kamu salat,” ucap beliau, lalu rebahan di kasur sembari membuka ponsel.
Aku melipat mukena, lalu duduk di sisi ranjang. “Mas, aku mau minta maaf.”
Mas Bams mengalihkan tatapannya ke arahku. “Tutup dulu pintunya.”
Aku melaksanakan perintah beliau, lalu kami duduk berdampingan. “Aku minta maaf sudah marah sama jenengan. Seharusnya masa lalu biar berlalu, menjadikannya pelajaran, dan tidak diungkit-ungkit lagi dalam rumah tangga kita.”
“Nah, itu kamu tahu.” Mas Bams tersenyum ke arahku. “Maaf, ya, bila kamu kaget atau kecewa. Namun, semoga itu tidak mempengaruhi cinta kita berdua.”
“Iya, Mas. Aku memaafkan masa lalu jenengan. Aku juga sudah dengar tentang kisah hijrah keluarga ini dari Ma’e,” kataku.
“Tadi cerita-cerita sama Simbok?” tanya beliau.
“Iya.”
Mas Bams mangut-mangut. “Jadi, udah gak marah lagi, nih?” Beliau menyolek daguku.
Aku menahan senyum. “Enggak, dong, tapi gak usah colak-colek juga.”
“Kamu, kan, istriku. Jadi halal aja, lah,” ucap beliau sambil tersenyum.
“Sekali lagi, aku minta maaf, ya, Mas. Ternyata jenengan rajin salat di masjid sejak kecil dan mendapat berbagai macam cobaan? Seharusnya menyadari itu, jenengan memiliki banyak kebaikan di antara segelintir dosa masa lalu, yakni berjudi,” kataku.
Ekspresi wajah beliau menjadi lesu. “Aku ini punya banyak dosa. Jangan memujiku seperti itu.”
“Aku pun juga, Mas. Semua manusia punya banyak dosa. Namun, bolehkah aku minta diceritakan kisah hijrahnya jenengan?” tanyaku.
“Nanti, ya. Aku lapar,” ucap beliau.
“Makan dulu, Nduk!” panggil Ma’e dari luar kamar.
“Enggeh, Mak!” sahutku. “Pas banget! Makan, yuk!”
“Ayo.” Tiba-tiba Mas Bams mencium keningku, lalu keluar dari kamar.
Aku sedikit kaget dengan tingkah beliau, lalu geleng-geleng kepala. Suamiku itu memang tipe lelaki yang penuh kejutan.
**

Jodoh Pilihan Allah [TAMAT] ✔️Where stories live. Discover now