Bab 43. Balaslah Kejahatan dengan Kebaikan

0 0 0
                                    

Beberapa menit kemudian, kami sampai di rumah.
“Assalamualaikum,” salamku pada Ibu yang sedang menonton televisi.
“Wa’alaikumussalaam,” jawab beliau.
Mas Bams juga mengucap salam seraya memasukkan motor ke dalam area ruang tamu. Rumah peninggalan almarhum Bapak memang kecil, sehingga belum punya garasi. Aku menjawab salam beliau, lalu duduk sebentar di tikar depan televisi, begitu juga Ibu.
“Sudah makan, Nduk?” tanya Ibu.
“Sudah, Bu.”
“Buatkan minum, ya, Dek. Seperti biasa,” perintah Mas Bams, lalu beranjak ke kamar.
Aku membuka ponsel sebentar, lalu pergi ke belakang untuk membuat dua gelas teh hangat.
“Ini, Mas,” ucapku seraya menyodorkan teh kepada beliau yang sedang duduk di tepi ranjang.
Beliau menerimanya. Aku ikut duduk, melepas cadar, lalu menyesap teh milikku.
“Mas,” kataku.
“Ya?” Beliau menaruh gelas di atas meja kecil di samping kasur.
“Tentang keluarga Mas yang dulu diboikot itu, lama-lama bisa reda juga?” tanyaku.
“Bisa. Buktinya sekarang, baik-baik aja. Tetap bertetangga walaupun beda amalan ibadah,” jawab beliau.
Aku menaruh gelasku di atas meja, lalu duduk kembali. “Gimana ceritanya, bisa damai lagi?”
Beliau mengunci pintu kamar. “Dulu, kami diam saja, apa pun yang tetangga perbuat terhadap kami. Tidak diajak kumpulan RT atau RW, ya tak usah berangkat. Tidak disapa, tetap berusaha menyapa dahulu walaupun tak dijawab. Tidak dibantu kesusahan kami, masih ada warga kajian semajelis bersedia datang membantu.”
Aku diam, menunggu kelanjutan cerita beliau.
Suamiku duduk di sampingku. “Namun, Simbok sudah bilang, kami tidak ikut kumpulan RT atau RW tidak apa-apa, tetapi jika mau diminta iuran untuk kegiatan atau kepentingan desa, kami mau. Akhirnya mereka tetap menarik iuran apa pun itu, asal kegiatannya tidak bertentangan dengan syariat. Lama-lama, para tetangga malu.”
“Malu kenapa, Mas?” tanyaku.
“Kami diboikot, diam saja. Mereka menarik iuran, alhamdulillah kami pas ada uang dan selalu bisa membayarnya. Orang Jawa seperti aksara Jawa, dipangku mati . Hati mereka luluh dengan sendirinya, karena kami tidak pernah melawan. Mungkin mereka heran, ‘ini orang dijahati seperti apa pun, tetap mengalah. Buat apa lagi membencinya, jika itu tak membuat dia takut atau goyah, sehingga bisa umum seperti masyarakat ,” jawab beliau.
“O. Begitu, ya, Mas?” Keningku mengernyit, mencoba mencerna ucapan beliau.
Beliau mengangguk. “ Mungkin mereka heran, ‘ini sekeluarga mengaji, dijahati seperti apa pun, tetap mengalah. Buat apa lagi membencinya, jika itu tak membuat keluarganya takut atau goyah, lalu kembali umum seperti masyarakat lainnya—maksudku, ikut budaya Jawa yang bertentangan dengan syariat—lagi. Lebih baik sudahi saja pemboikotan ini.”
Aku tersenyum mendengarnya.
Suamiku merangkul pundakku. “Mereka akhirnya bosan sendiri, karena tidak mempan membuat kami ikut budaya masyarakat Jawa yang bercampur syirik dan bidah. Kamu tahu, Dek? Hal itu didukung oleh penghasilan berdagang Simbok yang semakin membaik. Para pelanggan beliau sangat percaya, sampai titip tabungan dua sampai tiga juta. Jika dikumpulkan, menjadi puluhan juta. Kami bisa membangun rumah bersama, menjadi lebih baik, murni dengan penghasilan sendiri.”
“Setelah itu, langsung damai, Mas?” tanyaku.
“Sedikit demi sedikit, Dek. Orang-orang mulai ngajeni kami. Satu dua orang mulai mengajak bicara, kadang tukar uang sama Simbok. Mereka heran, beliau selalu punya uang kecil lima ribuan, sepuluh ribuan, dalam jumlah banyak. Ketika tukar ke sini, selalu ada. Mereka kira, derajat kami sudah naik dan menjadi kaya, hasil usaha sendiri,” jelas beliau.
“Mereka mengira keluarga Mas dulu, kaya? Hanya karena tukar uang, selalu ada? Agak lucu juga.” Aku sedikit tertawa.
Mas Bams ikut tertawa. “Iya. Akhirnya ada satu dua orang yang berhutang ke Simbok. Tetap dikasih, asal jelas tanggal pengembaliannya. Tanpa bunga, karena bunga pinjaman itu riba. Lambat laun, mereka menghormati keluarga kami. Kemudian, kami berhasil membangun rumah bagian depan, sehingga tak ada lagi yang meremehkan Simbok.”
Aku mangut-mangut. “Begitu, ya, Mas. Berat sekali ujian jenengan.”
“Iya, Dek. Satu hal yang kami yakini, balaslah kejahatan itu dengan kebaikan. Seburuk-buruknya sikap orang, jika disikapi baik, insya Allah lama-lama akan luluh juga, apalagi basic mereka orang Jawa. Kami terus berusaha berbuat baik sambil selalu berdoa, mengharap pertolongan Allah, meski kami tahu, tidak semua manusia bersifat seperti itu. Ada pula yang selalu jahat,” jelas Mas Bams.
Aku semakin kagum pada beliau. Tanpa sadar menitikkan air mata. “Mas.”
“Ya, Dek?” Mas Bams menoleh.
“Maafkan aku.” Aku mencium tangan beliau dengan khidmat, sementara beliau mengusap kepalaku.
**
Jam alarm milikku berbunyi nyaring, membuat mataku terbuka. Pukul tiga pagi. Saatnya beranjak meminta sesuatu kepada Allah. Kuambil air wudu, membiarkan suamiku yang sedang terlelap.
“Bismillaahirrahmaanirrahiim.” Dengan lirih, aku memulai salat Tahajud, berusaha menghusyukkan ibadah Sunah ini pada-Nya.
Begitu tenang hati ini, merasakan suasana sepi saat bermunajat kepada-Nya. Setiap gerakan salat disertai bacaan lirih, yang kurasakan bisa lebih fokus dibanding salat lima waktu.
“Assalamualaikum wa Rahmatullah wa barakatuh,” salamku disertai menoleh ke kanan, lalu mengucapnya lagi saat menoleh ke kiri.
Dengan mengangkat kedua tangan, aku berdoa kepada Allah. Mulai dari memuji-Nya dengan kalimat tahmid, lalu berselawat, dilanjutkan memohon ampunan atas segala dosa, juga mendoakan almarhum Bapak, serta doa-doa lainnya.
Aku menarik napas panjang. Hanya ada suara denting jam yang menemani sepi malam ini. Ada sekelebat pikiran yang menghilangkan fokus dalam berdoa. Beberapa menit kemudian, aku kembali memohon pada-Nya untuk diberikan keturunan dalam rahim ini.
Mungkin sudah menjadi keinginan semua pasangan yang telah menikah, untuk memiliki anak. Ada kerinduan mendalam, harapan yang tinggi agar bisa segera hamil. Begitu pula Mas Bams, juga menginginkan kehadiran janin dalam rahimku. Alhamdulillah, kami sefrekuensi. Setelah berdoa, aku merenung dalam sepi, refleksi tentang apa yang terjadi di bulan kemarin, serta merenungi dosa-dosa yang pernah kulakukan.
Seketika aku teringat, apakah ada saudara atau orang yang pernah kusakiti? Jangan-jangan aku belum meminta maaf padanya. Bukankah kata Mas Bams, kita harus membalas kejahatan dengan kebaikan?
“Tahajud, Dek?” Suara Mas Bams terdengar jelas, ternyata beliau sudah berdiri tepat di belakangku.
“Eh? Iya, Mas.” Aku berbalik, lalu tersenyum pada beliau.
“Aku enggak dulu, Dek. Capek, ujian ekonomi di awal menikah itu begitu terasa, sehingga fokusnya untuk bekerja dulu,” kata Mas Bams.
“Iya, enggak papa, Mas. Aku paham, kok. Semua sudah punya bagian ibadahnya sendiri. Bukankah menafkahi keluarga, itu juga sedekah?” ucapku.
Mas Bams men-charge gawainya, lalu duduk di sofa di hadapanku. “Aamiin. Semoga saja, Dek.”
Aku menyentuh perut sambil menunduk. “Aku habis berdoa, supaya Allah memberikan keturunan kepada kita.”
“Sabar, ya, Dek. Kita tunggu saja sampai Allah berkehendak memberikan anak untuk kita. Hanya Allah yang berkuasa,” nasihat Mas Bams, yang langsung kuiyakan.
Azan Subuh berkumandang. Beliau beranjak mengambil air wudu. Aku membangunkan Ibu untuk salat berjamaah di rumah.
“Bu, bangun, Bu. Sudah Subuh,” kataku.
“Iya.” Ibu bangun, lalu mengambil posisi duduk di tepi ranjang kamar beliau.
“Jamaah, Bu. Aku tunggu,” ucapku.
Ibu mengangguk. “Tapi, Ibu mau ke WC dulu.”
“Iya gak papa.” Aku berbalik menuju sajadah yang terbentang sejak salat Tahajud tadi.
Mas Bams sudah berwudu dan memakai pakaian rapi. “Ke masjid dulu, ya, Dek. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumussalaam.”
Rumah sepi lagi. Sembari menunggu Ibu, aku membuka ponsel, mencari akun Facebook teman sekolah dulu yang mungkin pernah cek-cok denganku.
“Ah, ini !” gumamku saat menemukan akun temanku, lalu mulai mengirim pesan via Messenger.
Aku menghela napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. Berharap ada balasan darinya, lalu kami bisa saling memaafkan.
Siang harinya, kami saling berbalas pesan kembali, seperti sedia kala. Meski aku tak bisa berbuat lebih, setidaknya aku sudah mulai memperbaiki hubungan pertemanan kami.
**

Jodoh Pilihan Allah [TAMAT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang