Pergi dan Tak Ingin Kembali

793 93 10
                                    

Mbak Taiwan akhirnya memilih pergi merantau dengan meninggalkan seorang anak yang masih haus kasih sayang akan ibunya. Dan sudah hampir sepuluh tahun wanita tidak pulang. Dulu memang pernah beberapa kali pulang tapi sampai sekarang dia lebih nyaman hidup di negeri orang. Yaiyalah, disana dia menjadi babu tapi dibayar dengan upah tinggi. Sedang di sini, dianggap sebagai babu tapi tidak dibayar dan malah menjadi pusat yang disalah-salahkan. Kalau aku dengar dari cerita Mbak Tin, Mbak Taiwan ini seolah akhlaknya buruk sekali.

Mbak Tin pernah bilang, Mbak Taiwan itu ketika sedang susah dengan pekerjaannya dia akan menghubungi mas ipar. Tapi ketika sedang mendapat majikan yang royal, Mbak Taiwan lupa dengan Mas ipar juga anaknya. Mbak Taiwan pun kata Mbak Tin suka mencuri barang-barangnya yang dititipkan di rumah Mas ipar. Dan keluarga Mbak Taiwan dianggap miskin sekali sampai susah bertemu nasi. Jadi setiap keluarga Mbak Taiwan kesini dibiarkan makan dengan sepuasnya. Karena tahu mereka susah membeli beras. Hadeh.... Omongan Mbak Tin apa bisa dipercaya, ya? Sebab disini apa yang bisa dimakan? Sayur aja tidak ada nutrisinya. Hanya nasi yang selalu berganti setiap hari. Lauk pun jarang ada. Kalau dapat makanan dari hajatan tetangga pun pada rebutan. Memang cuma kaya dari luarnya saja, tapi mental hampir mirip dengan gelandangan yang hidup di kolong jembatan.

Dan lucunya Mbak Tin mengatai keluarga Mbak Taiwan miskin tak kuat membeli beras? Ngaca dulu sana. Sampai menuduh orang mencuri barangnya. Memangnya apa yang Mbak Tin punya? Sebenarnya dia juga pernah pergi merantau di Hongkong dan sering mengirim barang untuk dititipkan ke Mas ipar. Karena takut ketahuan dengan Mbah Ning. Sebab dia sendiri suka membeli barang seperti pakaian, sepatu, juga pernak-pernik perabot luar negeri. Tapi sampai pakaian dan semua barang-barangnya buluk pun tidak segera diambilnnya. Dan akhirnya jadi sampah di rumah Mas ipar yang tak terurus karena istrinya pergi ke luar negeri. Suatu saat akan kutanyakan pada Mas Ipar tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tapi bukan sekarang.

Aku mendengar suara motor Mas Mada terparkir di depan rumah. Mungkin sekarang dia sedang di kamar mandi membersihkan tubuhnya. Tak lama setelah itu dia sudah ada di depan pintu sambil memanggilku.

"Cinta! Aku datang."

Sayangnya tanganya yang terbuka untuk kupeluk justru kusambut dengan wajahku yang muram. Dia segera menghampiriku menanyakan apa yang terjadi. Padahal sudah jelas di rumah ini siapa yang hobi membuat orang lain merasa tersiksa.

Lima menit berlalu aku tetap saja bungkam. Aku capek. Aku lelah. Selalu saja orang sama menjadi penyebab pertikaian kita.
"Kenapa, sih? Apa aku ada salah? Iya, maaf. Mas nggak bisa ngabarin pulangnya kesorean. Kan mas nggak bisa bawa hp ke sawah. Sudah, ya, Cinta, marahnya."

Padahal bukan itu penyebabnya. Aku membuka obrolan kami dengan tangisan yang tertahan. Entahlah tiba-tiba sebongkah air mata meluncur dengan mudahnya. Aku sudah tak tahan. Aku tidak boleh tinggal diam. Aku ini manusia punya hak untuk bahagia. Tidak ada yang boleh menginjak-injak kebebasanku.

"Aku mau pulang saja, Mas. Ke rumah orang tuaku. Kalau kamu emang nggak mampu buat ngebahagiain aku ya sudah pulangkan saja aku. Ngeliat aku setiap hari menangis karena sikap keluargamu ke aku saja kamu diam saja. Kamu suruh aku sabar tapi kamu nggak pernah buat nyari solusinya!" ya Allah maafkan aku yang berani terhadap suamiku. Aku hanya sudah lelah dengan semua cobaan yang engkau berikan.

"Jangan,Cinta." Dia menghapus air mataku dan membenamkan diriku ke dalam pelukannya.

"Aku capek sama keluargamu. Mbah Ning itu nggak suka sama aku. Tadi saja dia seenaknya mengataiku. Padahal masalahnya hanya kerupukku yang dimakan rayap. Memangnya aku habis membunuh orang sampai dia tanpa perasaan menghinaku."

Aku menangis sejadi-jadinya. Sebab Mbah Ning tidak akan mendengar suaraku karena umurnya yang sudah renta telingannya sudah tidak mampu menangkap suara yang jauh dari kamarnya. Aku terkadang lewat dibelakangnya pun kadang orang itu tak tahu.

Lalu aku berceloteh mengeluarkan apa yang membuatku sesak. Dia cuma mengelus pundakku yang terguncang  tanpa henti. Sambil sesekali mengeluarkan kalimat yang sudah aku hapal setiap kali kami bertengkar.

Sabar, sabar dan sabar. Sampai sudah habis rasa sabarku.

Setelah semua kucurahkan, ada kalimat ancaman yang kutambahkan. "Sudah, Mas. Kalau kamu memang mau disini, biar aku ke kota mencari kerja disana. Biar aku ngekos saja disana. Aku mau mencari kebahagian tanpa ada tekanan."

Lalu aku diam. Dan dia masih tak menyerah. Dia kemudian menenangkanku dengan kalimat yang sedikit panjang.

"Cinta. Apa kamu tega melihat aku tanpa kamu disampingku? Aku benar-benar sayang sama kamu. Aku memang belum bisa menjanjikan kebahagiaan. Tapi beri aku kesempatan. Tunggulah dan sabarlah."

Kami saling diam dan tertidur dalam kegelapan. Dia memelukku dengan erat dan tak melepas tanganku walau sedetik pun. Aku juga mencintaimu, Mas. Tapi aku juga tidak tahan dengan diperlakukan semena-mena oleh keluargamu. Walau kita hidup di gubuk renta pun aku mau asal hanya ada kita. Hanya ada kita berdua disana.

TANAH MERTUA (Cerita Nyata)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora