Rumah Mertua part IX

562 53 8
                                    

Ibu dan Bapak mertua saat ini sedang rajin-rajinya ikut salat berjamaah. Tiap hari minggu pun mereka ikut pengajian. Aku pun diminta oleh bapak mertua untuk ikut pengajian juga salat berjamaah. Intinya, bapak dan ibu mertua itu dulunya ibadahnya biasa saja, tapi semenjak bapak mertua ikut suatu Tariqot sebab itu dia menjadi rajin beribadah entah itu ikut pengajian, salat berjamaah di masjid ataupun menyumbang untuk anak yatim piatu setiap bulannya.

Memang kedengaranya waw keren sekali mereka. Tapi yang aku tidak suka, mengapa ketika mereka beribadah orang lain harus tahu? Bapak mertua sering menceritakan pada anak-anaknya termasuk aku yang menantunya bahwa dia setiap bulan menyumbang atau menyantuni anak yatim, la buat apa aku harus tahu? Apalagi beliau bercerita dengan penuh kebanggaan. Dan sering menasehatiku untuk melakukan hal yang serupa yang dilakukannya. Termasuk memaksa aku dan suamiku untuk ikut salat berjamaah. Padahal ibadah itu kan harusnya disertai keikhlasan bukan pemaksaan.

Suamiku memang bukan orang yang ahli ibadah tapi dia tetap solat di rumah. Dia tidak mau ikut salat jamaah karena merasa tidak nyaman dengan warga perumahan disini. Mas Mada itu hanya seorang buruh tani, dia dulu sering dicibir oleh warga disini karena lulusan sarjana kok hanya menjadi seorang buruh tani? Ibu dan bapak mertua pun jadi malu dan merasa pekerjaan mas Mada hanya sebuah aib bagi mereka.

Aku yang hanya menumpang disini pun hanya menurut untuk ikut berjamaah, ya aku juga suka ikut berjamaah, malah bertambah pahala. Tapi yang aku tidak suka mas Mada tentu terpaksa melakukannya. Setiap kami berada di rumah wajib bagi kami untuk ikut pergi ke masjid. Akupun disindir ketika dulu belum ikut salat ke masjid.

"Kamu itu tirakat Lo Mal. Biar cepat ndang punya anak. Rajinlah berpuasa dan salat berjamaah," sambil ketus ibu mertuaku mengatakannya. Seolah mengejekku yang tidak pernah puasa sunnah juga salat ke masjid. Bahkan membandingkanku dengan Lintang yang rajin puasa sunnah.

Iya memang anak itu mau berpuasa sunnah. Tapi aku yakin dia ada maunya karena ingin dipuji bapak mertua agar terlihat anak yang berbakti dan mau menurut sama orang tua. Walau itu semua hanya pura-pura tidak dari hati yang tulus. Lintang itu lulusan pondok salafiah. Tapi shubuh dia pun tidak mau bangun, bahkan setiap kali dia libur kuliah, tidak pernah kulihatnya pergi berwudhu. Membaca alqur'an pun tak pernah selama aku tinggal disini. Mengapa aku bisa berkata demikian? Karena kamar kita bersebelahan. Yang ada dia sibuk Video call dengan pacarnya. Mungkin hanya ketika salat Maghrib dia baru tergopoh-gopoh mengambil air wudhu ketika waktu sudah mau habis.

Sindiran keras Ibu mertua menusuk hatiku. Memang sudah delapan bulan kami menikah dan belum dikaruniai keturunan tapi tolong jangan merasa dirimu sudah menjadi orang tua yang hebat. Apa dia sendiri sudah mampu melahirkan seorang anak? Harusnya dia ngaca pada dirinya sendiri. Bahkan dia sebagai seorang ibu hanya sibuk bekerja. Anak-anaknya dititipkan kepada tetangga. Aku tahu cerita ini karena Mbok Ning sudah ribuan kali menceritakannya. Bahkan Mbok Ning tau kalau Ibu mertua pernah meminum pil KB. Entah itu benar atau tidak tapi aku merasa kesal saja.

Aku dan mas Mada memang sudah berencana untuk pergi ke dokter kandungan. Karena siklus haidku setelah menikah seringkali terlambat lebih dari seminggu. Dan itu ternyata tidak sehat sekali. Aku tahu karena tetangga ibu mertua yang sering dimintai tolong itu menasehatiku dan sangat perhatian denganku. Namanya Dina. Lintang sering memanggilnya tante Dina.

Tante Dina ini pernah melakukan bayi tabung, tapi harus melahirkan ketika usia kandungannya baru enam bulan. Dan beliau trauma sekali. Beliau yang mengetahui siklus haidku berantakan, menyarankanku untuk segera priksa ke dokter. Ibu mertua yang sering kesana menceritakan tentang keluhanku pada tante Dina. Dan dengan tanpa perasaan sepulang dari tante Dina, ibu mertua mengatakan kepadaku, "kalau siklus haidmu panjang kata Dina kamu bakalan lama hamilnya, Mal."

Ya Allah, orang ini sebenarnya senang tidak sih kalau aku hamil. Kok ada berita seperti itu beliau tidak dengan halus mengatakannya. Terkesan seperti senang bila aku susah hamil atau lama hamilnya. Masih mending tante Dina yang menyuruhku untuk segera periksa. Setidaknya dia memberi arahan kepadaku tidak hanya mengkritikku.

Mas Mada juga enggan untuk aku periksa karena belum setahun kami menikah. Ukuran kesuburan wanita itu satu tahun pernikahan. Tapi aku nekat untuk periksa dan memaksa Mas Mada. Tapi masih saja ada drama. Ibu mertua menawarkan untuk dia menghubungi temannya yang seorang perawat di sebuah rumah sakit untuk mendaftarkanku ke rumah sakit itu untuk USG rahim. Aku mengiyakan saja dari pada harus jauh-jauh kesana hanya untuk mendaftar.

Sayangnya ketika sampai di rumah sakit itu, tidak ada namaku disana dan aku diminta daftar kembali karena kuota sudah penuh. Aku menelpon ibu mertua kalau namaku belum masuk dalam list. Ya, seperti biasa ibu mertua membuat drama lagi kalau dia sudah menelpon temannya yang perawat itu. Jadi malu kan akhirnya dia kalau temannya itu mengabaikan permintaannya.

Kuputuskan untuk pindah rumah sakit. Aku pergi ke rumah sakit yang ditawarkan oleh tante Dina. disana aku daftar dan di hari itu juga bisa langsung diperiksa.

Aku pulang dengan rasa sakit dalam dada. Aku sangat kecewa dengan hasil pemeriksaan rahimku. Aku meratapi nasibku di sepanjang perjalanan kepulangan kami. Tak henti-hentinya aku menitikkan air mata. Berbeda dengan mas Mada yang malah mengajakku berhenti di sebuah kios bakso yang dekat dengan persawahan. Dia memesankanku semangkok bakso urat dengan tetelan daging yang aku sukai. Tahu saja dia kalau aku sedang sedih dan butuh dihibur.

"Cinta. Sudahlah. Walau dokter mendiagnosismu apapun. Tapi masih ada Allah yang lebih berkuasa. Sudahlah nanti kalau kita sudah waktunya dikasih anak pasti dikasih."

Aku senang sekali dia menguatkanku. Dia tidak merisaukan sama sekali hasil USG rahimku tadi. Bahkan dia sama sekali tidak menghakimiku. Aku jadi bertambah bangga memiliki dia. Mas Mada itu aneh. Dia hanya akan mempermasalahkan kalau ada cucian piring kotor dan muram kalau aku belum membersihkannya. Atau dia akan marah kalau baju yang dicarinya tidak ketemu. Dia hanya akan muram kalau dia sedang sakit. Tapi bila istrinya sedang sedih dia akan lebih sedih lagi dan akan menghiburku dengan segala kekuatannya. Aku jadi terharu. Dan semakin sedih. Ya Allah.... Mudah-mudahan memang saat ini kami belum waktunya menimang anak. Mungkin kami diminta untuk belajar berumah tangga ataupun diminta untuk berpacaran lebih dahulu.

Mungkin kami memang belum siap dalam segi apapun. Entah dalah segi finansial, mental dan lain-lain. Allah lah yang lebih tahu apa yang terbaik untuk hambanya. Kita sebagai hambanya hanya bisa berdoa dan berusaha. Biar Allah yang memutuskan.

TANAH MERTUA (Cerita Nyata)Where stories live. Discover now