Aku puas memaki maki mas Mada. Biar saja aku dianggap istri durhaka karena dia sendiri yang membuatku jadi durhaka padanya. Jangan mengharapkanku seperti Siti Fatimah kalau Mas Mada tak bisa sebaik Ali. Semua tentu ada batas kesabarannya. Sedang aku ini wanita biasa. Aku tidak bersabar lebih dari ini.
Lama aku menanti adzan Isya' agar sekalian bisa salat di Musola ini dan tiba-tiba ada motor besar warna biru terparkir. Mas Mada? Benarkah dia? Tapi aku diam saja aku tidak perduli jika dia marah padaku. Aku tak mau melihatnya. Biar dia rasakan bagaimana rasanya aku cuekin seharian.
Dia berhambur memelukku. Menghapus air mataku yang tiba-tiba mengalir begitu saja. Tubuhku terasa lemas aku meraung dalam pelukannya. Tangisku pecah tak tertahan. Semenjak menikah bukan bahagia yang aku terima hanya tangis yang menemani.
"Kamu kemana aja, Cinta. Aku nyari kamu di rumah teman-temanmu. Semua orang aku hubungi. Tapi tidak ada yang tahu dimana keberadaanmu."
Dia mengusap puncak kepalaku dan menciuminya. Merekatkan pelukannya.
"Kalau ada masalah jangan kayak gini. Aku beneran sayang sama kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu."
Aku tergugu tak mampu mengatakan apapun.
Setelah tangisku mereda Mas Mada mengajakku untuk diajak ke sebuah warung lesehan. Setelah makan, baru aku bisa mengeluarkan unek-unekku.
"Jujur aku udah nggak betah, Mas kalo kamu suruh bertahan di rumah Bu Lilis. Aku yang setiap hari bersama mereka, Mas. Jadi kamu nggak tau gimana perlakuan mereka terhadapku."
"Bisa jadi itu hanya perasaanmu saja, Cinta. Mereka baik, kok."
"Ya terus aja, Mas kamu belain mereka! Udah aku mau pulang aja ke rumahku sendiri."
"Emang kamu bisa pulang sendiri?"
"Ya kamulah yang anterin."
"Iya, besok aku anterin."
Sebel banget sih sama Mas Mada. Walau aku curhat pun dia hanya seperti ini saja. Malah dia mengiyakan untuk aku pulang ke rumah orang tuaku.
"Itu dimakan dulu makananya. Nggak usah emosi lagi. Lagian siapa yang dulu minta kita tinggal di rumah bapak? Kan kamu sendiri to?"
"Kata siapa aku yang minta kita tinggal disana?! Kan aku maunya kita ngontrak."
"Ya kamu tahu sendiri kan ekonomi kita kayak apa."
"Nggak usah bohong, deh. Banyak rumah di desa ini yang rela ditempati tanpa bayar sepeserpun. Paling kita cuma bayar listrik. Itu sebenernya alasan kamu aja kan yang nggak mau jauh dari keluargamu. Jangan egois, Mas. Kalo aku bisa jauh dari keluargaku nggak adil dong kalo kamu nggak bisa jauh dari mereka apalagi sikap mereka gitu ke aku."
Mas Mada menarik nafas. Lalu berkata, "ya udah coba besok kita cari kontrakan. Tapi jangan buru buru dulu. Biar nanti aku nyari info."
"Beneran? Kamu nggak boong, kan?"
"Enggak. Tapi yang agak jauhan dari rumah Mbah Ningrat, ya."
"Iya Mas. Tapi besok tetep jadi, kan nganterin aku pulang ke rumah orang tuaku?" aku mau mengetesnya apa dia rela aku pulang.
"Ya Jangan, dong."
"Gimana sih kok nggak jadi?"
"Besok, kan sudah mau persiapan panen. Aku nggak bisa anter."
"Ya kan kamu tinggal anter ke terminal. Biar aku naik bis."
"Enggak. Aku nggak mau istriku pulang ke rumah orang tuanya tanpa aku. Nanti ya kalau udah panen."
"Ya udah, deh."
Padahal dalam hati aku pengen konfirmasi apakah benar yang diceritakan Tante Dina kalau bapak mertua menghinaku matre sebab minta mahar perhiasan. Dan juga aku ingin mengadu kalau ternyata Bu Lilis merasa kedatangan kita ke rumahnya menambah biaya hidup mereka. Bu Lilis juga tidak adil urusan beberes maupun memasak mengapa hanya mengandalkan aku, dan ternyata memang Lintang sengaja tidak disuruhnya agar bisa fokus belajar. Tapi mungkin besok akan aku bongkar kebusukan mereka bila sudah waktunya. Untuk sekarang aku lelah. Aku ingin cepat istirahat.
"Kamu tadi kemana aja, sih, Cinta. Kok bisa-bisanya kamu pergi tanpa pamit."
"Ya biarin. Sengaja biar kamu peka. Wanita itu butuh didengarkan keluh kesahnya. Masak aku yang udah capek ngurus rumah eh kamu malah seenaknya nyuruh aku masak buat Lintang. Apa nggak keterlaluan?!"
"Kalo kamu nggak mau ya nggak usah dilakuin. Gitu aja kok repot."
Aku terdiam lagi.
"Ya, maaf. Aku kira Lintang bantuin kamu nyapu. Aku itu cuma capek kalau sampai ditelponin Ibuk. Takutnya kita nggak masakin makanan buat Lintang."
Hanya nafas kasar yang keluar dari hidungku mendengar pengakuan Mas Mada. Orang ini kalau tidak didesak pasti dia tidak akan bicara terus terang kalau dia di telpon Bu Lilis untuk memperhatikan Lintang.
"Emang Lintang itu umur berapa, sih, Mas? Dia kan bukan anak kecil lagi. Kalau nggak suka dengan masakanku ya kenapa dia nggak masak sendiri?! Capek ya lama lama ngertiin mereka. Adikku aja yang masih kelas empat udah bisa masak sendiri. Tanpa ngerepotin ortu. Ini adikmu udah anak angkat belagu amat. Apa nggak sekalian kamu nyuruh aku nyuapin dia? Entah gimana nanti itu anak kalau udah nikah. Apa nggak darah tinggi itu nanti mertuanya."
"Ya weslah Cinta. Kita lihat saja nanti setelah berumah tangga akan jadonya apa. Dari dulu dia memang seperti itu. Nggak mau bantu bantu. Bandel. Kalau nggak diturutin ngamuk. Dulu juga Mbah Lamongan ngadu ke aku suruh nasehatin Lintang dengan masalah yang sama. Malah perang dunia. Malah keluarga Lamongan dengan bapak ibu jadi renggang. Tentu belain Lintanglah."
"Jadi walaupun Lintang salah, tetep aja ya dibelain sama bapak dan Bu Lilis? Harusnya nggak gitu. Mestinya dinasehatin. Akhirnya dia jadi kayak gini kan. Nggak bisa berubah."
"Sudah. Tapi tetap aja."
"Apanya yang sudah. Pasti nggak niat mereka nasehatinya. Terlalu lembut."
Tumben dia ngomong jelas. Ternyata benar kan dimanapun Lintang berada pasti banyak yang nggak suka. Tak lain dan tak bukan itu karena dia yang nggak mau berubah. Maunya enaknya saja. Masak sudah besar aja minta dimasakin minta dilayanin. Jadi bukan salahku dong kalau aku juga mengeluh dengan sikap manja Lintang?

ESTÁS LEYENDO
TANAH MERTUA (Cerita Nyata)
Romance21+ "Aku datang tidak dengan membawa pedang, tapi mengapa seolah semua orang ingin mengajakku perang!" "Kalian datang dengan kata "bahagia" tapi mengapa setiap hari di sini kuhujan air mata!"