Setelah beberapa hari pacar Galang yang namannya Feni itu mengembalikan lamaran. Adat disini biasanya sang calon istri pun sama, ketika mengembalikan lamaran biasanya membawa beberapa jenis jajan. Dan tentu kita sebagai keluarganya Galang harus menjamunya. Lagi-lagi harus masak untuk menyambut mereka. Lagi-lagi ada beberapa kerabat yang rewang ke rumah Mbah Ning, kan kasihan, mereka juga sebenarnya capek dan terpaksa libur kerja, termasuk Bapak dan Ibu mertua serta Lintang pun kesini. Males banget jika harus bertemu dengan keluarga angkat Mas Mada.
Di acara ini aku pun memakai baju baru, kado dari pernikahanku dulu. Batik pekalongan. Lumayan bagus dan di wajah pun kelihatan segar. Tak kusangka penampilanku mengundang pujian dari para rewang.
"Ya Allah, Mbak Mala, cantik e.... (cantik banget)!"
"Cantik apa, sih, Mbak,"jawabku sambil tersenyum.
"Iya. Mal, memangnya kamu nggak sadar kalau kamu itu cantik?"imbuh yang lainnya.
Aku jadi gimana, gitu...
"Iya, ya. Kok makin bersinar aja ini Mala. Pakai skincare apa, Mbak?kok rasanya kulitnya sekarang segar dan glowing."
"Air wudhu, aja, Mbak,"jawabku yang mengundang banyak orang.
"Waduh... Mbak Mala ini bisa aja jawabnya."
Kulihat wajah Bu Lilis yang sepertinya tidak suka aku dipuji seperti itu. Sebab orang itu malah pergi ke belakang alasan mengecek sayur apakah sudah matang atau belum. Padahal sejak tadi sudah diangkat dari kompor sayur sotonya. Apalagi kami semua sudah dandan dan semua pekerjaan sudah selesai, waktunya menyambut tamu. Ngapain Bu Lilis mau ke dapur lagi?
Kenapa, Buk? Panas dingin ya, aku dipuji cantik? Biasanya kan dia banggain Si Lintang yang katanya putih bersih sejak lahir. Apanya yang putih sejak lahir, Buk....orang aku lihat foto jadul dia juga dekil kayak aku dulu juga jerawatan. Semua bisa cantik asal dirawat!asal ada uang!
Aku puas bisa nunjukin kalau aku juga punya baju bagus.... Aku juga bisa bersinar seperti kulit kalian. Kenapa aku kepedean mengatakan demikian? Sebab Tante Dina saja ketika aku dan Mas Mada berkunjung ke rumah Bu Lilis untuk mengambil sisa barang kami, dia pun memuji kulitku yang katanya glowing dan aku pintar make up sekarang. Berbeda jauh dari dulu katanya. Dan Tante Dina pun mengirim Wa padaku, menceritakan kalau Bu Lilis sekarang heboh pengen krim dosis tinggi. Pengen lebih glowing dan pengen beli lulur yang terbaik.
"Mungkin dia panas kali, Dek. Aku muji kamu depan dia. Tapi emang kamu makek apa, sih, Dek. Kok bersihan sekarang?"
"Ya ampun, Tan.... Aku hanya rajin luluran. Lulurku pun harganya cuma belasan ribu. Tapi aku rutin makeknya."
"Mungkin kamu aslinya putih, Dek. Tapi kamu nggak pernah rawat jadinya kusem. Kulit ibumu aja putih banget gitu... Pasti kamu kulitnya juga sama. Sayangnya nggak kamu rawat aja."
Begini, ya kalau berurusan sama istri para polisi.... Mereka kenapa ya selalu heboh masalah perawatan wajah dan tubuh. Bagi mereka seolah merawat tubuh itu penting banget. Sampai aku ada perubahan dikit pengen banget menyaingi atau nggak mau kalah. Masak iya Bu Lilis langsung bingung pengen luluran. Padahal kan dia biasanya cuma peduli dengan kulit wajahnya. Kenapa sekarang bingung pengen rawat tubuhnya.
Berbeda ketika aku berbincang dengan kerabat Mbah Ning yang sebagian besar hanya buruh tani saja dan ibu rumah tangga biasa. Pasti yang diobrolin tips masak yang enak, cara menghemat uang dan mengatur rumah tangga. Memang seru kalau ketemu sama kerabat Mbah Ning. Mereka lebih menghargai orang lain. Walau usia mereka berbeda jauh denganku tapi kami nyambung saja kalau sedang mengobrol. Mungkin karena aku juga tidak bermalas malasan dan cekatan ikut menyelesaikan pekerjaan. Syukurlah kalau mereka senang dengan keberadaanku.
Setelah tamu dan rewang pulang. Mbah Ning ternyata menggerutu sebab jajan dari keluarga Feni sebagian besar dibawa pulang oleh para rewang.
"Lha gimana to Mas, Mbah mu itu... Ya wajar dong rewang bolak balik dan mereka terpaksa nggak kerja demi bantu rewang kok ya Mbah Ning itu masih aja pelit ke mereka. Apalagi Mbak Tin kesayangannya Mbah mu itu malah kerja nggak urus acara anaknya eh kok malah Mbah Ning menggerutu masalah jajan yang disisain dikit sama tukang rewang. Itu masih untung mereka cuma dikasih nasi sama jajan doang. Kalo di desaku ya walau kerabat harus ngasih duit, Mas. Sungguh nggak menghargai bantuan orang lain. Emang dipikir babu gratisan apa...cobak kalo mereka punya hajat...apa mbakmu mau rewang ke mereka? Paling juga alasan darah tingginya kumat." Aku mengeluarkan unek unekku ketika kami baru saja masuk kamar. Kesal banget rasanya melihat orang yang sudah susah payah membantu tapi malah digibahin di belakang.
"Nggak usah kaget. Mbah Ning memang sudah sifatnya seperti itu. Udah nggah usah emosi."
"Gimana nggak emosi... Ngakunya bersihan. Tapi ada acara kok ya aku yang disuruh ngepel. Mana kotor banget lantainya kayak nggak pernah disapu. Parah banget Mbakmu itu sama Si Galang. Udah tinggal disana kenapa nggak mau tau urusan kebersihan rumah. Mana Mbahmu belain mereka terus. Emang aku dapat apa dari gaji mereka. Toh mereka makan sendiri to..."
"Makanya dulu aku pernah ngamuk karena Galang itu keterlaluan. Sampai bajunya pun Mbok Ning yang nyuci. Ya gitu kalau cicit kesayangan. Tetap aja di bela."
"Entah kapan ya, Mbok Ning itu sadar. Ngapain bedain kasih sayang. Toh sama sama keluarganya. Dan tadi juga aku dipermalukan di depan para rewang. Cuma gara gara aku motong tahu katanya kebesaran. Udah gila kali ya Mbok Ning itu. Katanya aku itu harus nanya dulu sebelum melakukan sesuatu. Padahal aku sebelum potong tahu udah nanya ke kerabat lainya. Eh kata Mbah Ning itu pemborosan. Aku cuma motong satu biji doang katanya pemborosan. Padahal udah bener itu satu kotak dipotong jadi enam. Eh Mbah Ning mintanya jadi 8 potong. Terus pekerjaanku dikoreksi mulu Mas. Aku tertekan banget tadi. Masih syukur ya aku mau bantuin."
"Nggak cuma kamu yang diperlakukan seperti itu. Semua mantunya juga sama. Mereka dianggap salah dan nggak sesuai sama kemauannya. Udah, ya, Cinta emosinya diredam. Aku juga capek nih seharian di sawah."
"Aku, kan cuma curhat, Mas."
Padahal aku belum curhat kalau bapak mertua tadi juga banggain Lintang banget karena mau mencuci piring. Kayaknya sengaja banget orang itu memuji anaknya di depan para rewang dan di depanku yang justru malah digunjing oleh para rewang di belakang. Ya itu kan cuma pekerjaan cuci piring. Apalagi ini baru pertama kali Lintang mau membantu mencuci piring kalau ada acara di rumah Mbah Ning. Biasanya cuma menonton dan makan dengan manjanya. Minta disuapin bapak mertua. Lebai dan drama emang!

KAMU SEDANG MEMBACA
TANAH MERTUA (Cerita Nyata)
Romansa21+ "Aku datang tidak dengan membawa pedang, tapi mengapa seolah semua orang ingin mengajakku perang!" "Kalian datang dengan kata "bahagia" tapi mengapa setiap hari di sini kuhujan air mata!"