Suatu hari, teman-teman guruku (dua orang) datang ke rumah mertua sebab aku dimintai tolong untuk membantu mengerjakan tugas kampus mereka. Hanya meminta dijelaskan dan memberi arahan kepada mereka saja karena aku dirasa punya pengalaman dibanding mereka yang belum lulus kuliah walau usia mereka lebih tua dariku. Mereka baik dan pengertian. Sebab itulah aku bersedia membantu mereka. Walau aku merasa tidak enak pada Bu Lilis yang merupakan tuan rumah. Ketika tamuku datang, dia hanya seperti basa-basi lalu memilih pergi menonton TV. Tak lupa menyuruhku menyuguhkan snack untuk tamuku juga minuman dan tentu dengan wajah yang tak terbaca ekpresinya. Ya tau sendirilah pasti aku diangganya penggangu.
Jauh berbeda dengan sikapnya ketika pacar Lintang datang untuk apel. Muka ibu mertua cerah seketika karena dibawakan sate juga mi ayam. Langsung membanggakan pacar Lintang di depanku. Entah yang dibilang manislah. Kuruslah. Anak pensiunan KAI lah. Padahal kalo aku lihat pacarnya hitam, kusem, dan nggak ada keren kerennya. Ya, tapi wajar saja dia kan kerja di laut. Malah masih mending yang ditolaknya dulu. Maaf ya aku bodyshaming ke calon mantumu. Salah sendiri kalian lebih dulu bodyshaming terhadapku.
Walau aku hampir gila karena harus tinggal satu atap dengan orang orang macam mereka. Tapi masih ada secercah kebahagiaan karena aku punya teman teman yang baik yang tidak pernah menghina atau menyakiti hatiku. Mereka selalu membuatku tertawa, berbagi cerita tanpa ada rasa ingin pamer harta. Mereka juga tidak pernah mempermasalahkan penampilanku. Dari sini bisa diambil kesimpulan...bertemanlah dengan orang yang sederhana hati dan pikirannya. Tidak perlu mempunyai teman glamor tapi menusuk dari belakang dan mengomentari segala tindakanmu.
"Eh, Bu Mala kok ada yang beda ya?"
Aku mengeryit tanda tak mengerti apa yang dimaksud dengan perkataan temanku.
"Ada apa, Bu. Apa yang beda?"
"Itu loh. Maaf kalau baru memperhatikan. Kok kayaknya Bu Mala wajahnya sekarang cerahan."
Aku tersipu mendengar hal itu. Ah yang benar saja?
Pantas saja Mas Mada akhir-akhir ini sering menciumku, memanjakanku.
"Masak, sih, Bu. Ibu bisa aja."
Ya hanya sekedarnya saja aku merespon pujian itu. Yang aku senang mereka jujur apa adanya apabila asa perubahan yang baik dalam diriku. Tidak seperti Bu Lilis yang walau aku dipuji oleh Tante Dina karena sekarang wajahku cerahan, tidak sekusam dulu, eh Bu Lilis malah diam dan melengos. Waktu itu Tante Dina berkunjung ke rumah Bu Lilis menanyakan teflonnya yang sudah dua minggu belum dikembalikan. Lintang juga sama, dia malah seperti bingung minta krim dosis tinggi dan ingin membeli lulur yang terkenal memutihkan lebih cepat. Aku tahu karena Tante Dina mengirim chat kepadaku kalau Lintang memesan bodycare kepadannya.
"Aku bilang apa, Dek. Dulu waktu aku bisa beli mobil, Bu Lis ngebet minta mobil juga. Akhirnya disumbang sama Ibu mertuanya kan. Tapi abis itu hina mobilku yang hasil kredit. Sekarang liat kamu cerahan aja mereka bingung, nggak mau kalo kamu tiba-tiba lebih cantik dari mereka. Lintang kan nggak pernah luluran. Ngapain tiba-tiba pesen lulur."
Aku hanya membalas sekedarnya. Biarlah mereka berbuat sesukannya. Toh aku ingin terlihat cantik juga karena ingin lebih disayang suami. Bukan untuk bersaing dengan mereka.
Jam merayap pukul sepuluh. Dan aku melihat Bu Lilis sudah masuk ke kamarnya. Padahal biasanya tengah malam beliau masih ada di depan ruang menonton TV. Apa dia memang terganggu dengan datangnya teman temanku? Padahal mereka mau pamitan tapi tuan rumahnya sudah masuk kamar duluan. Ya wajar mereka kan datang pukul 8. Mereka hanya dua jam disini. Kami juga tidak seberisik teman-teman Lintang yang sampai tertawa cekikikan.
Setelah mereka pulang, aku pergi ke dapur untuk menghangatkan sayur juga lauk yang dimasak olehku dan Ibu mertua. Lintang mana pernah mau tahu urusan beginian. Dia tahunya setelah pulang dari kampus ya naik ke atas, main ponsel dan tidur. Aku juga ingin bertanya pada Bu Lis apa magicom perlu dinyalakan agar nasinya besok bisa dimakan lagi. Tapi berhubung sudah tidur aku biarkan saja. Dan tidak kusangka itu menjadi bumerang untukku.
Esok paginya, Bu Lilis memarahiku habis-habisan karena aku tidak menghangatkan nasi di magicom, juga tidak mengunci pintu rumah. Aku syok karena beliau belum pernah semarah ini dengan wajah yang anak kecil saja bisa menangis melihatnya. Wajahnya merah disertai urat-urat di wajah dan lehernya seolah ikut keluar hendak mencekikku.
"Gimana, sih, Mal! Pintu nggak kamu kunci. Harusnya kalau kamu tahu aku udah tidur, ya kamu mestinya mikirlah buat ngunci pintu. Nasi juga nggak kamu angetin jadinya mubazir! Kalau bapakmu di rumah sudah diamuk amuk ini semua."
Apa sih! Marah-marah nggak jelas. Yang punya rumah siapa? Kenapa aku yang harus tanggung jawab buat ngunciin rumah. Kenapa harus aku yang disuruh mikir! Toh sebelum aku datang kesini tugas siapa yang mengunci rumah. Emangnya aku ini Satpam? Masih mending aku mikir angetin sayur, la anakmu sendiri apa kabar? Lalu ketika Mas Mada turun juga diamuknya pula dengan ganas sampai suamiku seperti patung dan menunduk dalam-dalam. Ya Allah, Mas. Nelangsa sekali nasip kita. Aku lebih pilu memandang Mas Mada yang dimarahi.
Lalu ketika Lintang baru turun, Bu Lilis juga memarahinya... Tapi kentara sekali perbedaan marahnya dengan kami berdua. Kelihatan kalau marah-marah pada Lintang itu hanya dibuat-buat. Dan tentu lebih kalem. Sungguh tersayat hatiku. Seolah aku ini pembantu yang dibayar dan ketika ada yang tidak sesuai mereka seenaknya memarahiku. Aku segera beranjak pergi mengajar tanpa berpamitan dan tanpa sarapan pula. Aku tidak mandi dan langsung pergi. Mas Mada juga lebih memilih cepat pergi ke sawah dari pada harus lama-lama di rumah.
Di sepanjang perjalanan menuju sekolah, tetes air mataku tak ada henti-hentinya. Aku menangis dalam diam. Ya Allah sampai kapan mereka semua menindasku. Kuatkan aku, kuatkan rumah tangga kami. Hanya kuasamu Ya Allah, yang mampu menolong hambamu ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
TANAH MERTUA (Cerita Nyata)
Romansa21+ "Aku datang tidak dengan membawa pedang, tapi mengapa seolah semua orang ingin mengajakku perang!" "Kalian datang dengan kata "bahagia" tapi mengapa setiap hari di sini kuhujan air mata!"