Terbukanya Rahasia

3K 184 15
                                    

Mungkin akan terlalu mewah jika gadis sepertiku menghayalkan adanya bulan madu setelah menikah. Justru berada di sini, dengan sekuat tenaga kuratakan padi yang terhampar di depan rumah untuk dijemur di bawah ganasnya sinar matahari. Walau masih dengan setengah hati aku menjalani, sebab aku telah memilih menjadi istri seorang buruh tani. Akan tetapi aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa orang yang digembor-gemborkan oleh De Yam, yang kekayaanya tidak akan habis dimakan tujuh keturunan lebih memilih mengerahkan tenaga anak cucu serta menantunya daripada membayar orang lain untuk mengerjakan pekerjaan semacam ini?

Dua minggu setelah pernikahanku, seluruh sawah milik Mbah Ningrat mulai panen. Otomatis sawah yang dikerjakan suamiku pun sedang dalam masa panen. Jadi mau tak mau aku dan suamiku harus membantu wanita sepuh itu menjemur seluruh padi yang beliau dapatkan dari sawah-sawahnya juga hasil panen Mas Mada.

Bisa dibayangkan betapa capainya pengantin baru sepertiku yang setiap pagi harus menyapu rumah dan kebun tanpa kenal lelah. Setelah itu pergi memasak, mencuci dan sekarang ditambah satu pekerjaan yang lebih berat lagi yaitu menjemur padi. Mungkin bagi Mbah Ningrat hal ini dianggapnya biasa, akan tetapi menjemur padi yang kira-kira lamanya sampai satu bulan itu tidak pernah seumur hidupku melakukannya. Bapakku memang petani, tapi beliau memilih membayar orang lain dari pada harus memerah tenaga anak-anaknya.

Disamping itu, musim panen seperti sekarang, aku harus menyiapkan masakan untuk para pekerja yang disewa suamiku. Meski dibantu oleh Mbak Tin, mbk iparku yang adalah mbak kandung dari suamiku, tetap saja punggung terasa mau copot. Di rumahku sendiri memang aku sering membantu ibuku memasak untuk para pekerja yang disewa bapakku, tapi lamanya hanya seminggu, tidak seperti disini yang kata suamiku sekitar tiga mingguan aku harus masak untuk para pekerja itu.

Dan disini kuanggap super ribet, karena apa? Disini tidak ada yang namanya magic jar, alat penanak nasi itu. Jadi suamiku memintaku untuk meminta tolong Mbak Tin memasakkan nasi. Sebenarnya aku bisa memasak nasi di kompor, sayangnya aku belum punya panci yang cukup besar untuk memasak nasi dalam jumlah besar. Dibanding itu, Untungnya ada hadiah kompor dari salah satu kerabat dan tentu dengan kompor itu aku jadi lebih mudah untuk memasak dibanding harus memasak di tungku seperti yang Mbak Tin dan Mbah Ning lakukan. Timbul rasa keanehan dalam diriku untuk apa mereka harus susah- susah memasak di sebuah tungku yang tentu akan membuat badan jadi bau. Dan sudah jelas itu menghambat pekerjaanku kalau aku harus memasak di sebuah tungku. Ya mungkin karena mereka berusaha untuk hidup hemat sebab banyak pepohonan di kebun Mbah Ning. Akan mubazir bila tak dipakai untuk memasak.

Tinggal Dua Minggu di sini, aku sedikit mengenal pribadi Mbak iparku ini. Sebab aku harus memasak disana, mau tak mau tercipta perbincangan diantara kami. Awalnya aku kikuk untuk memulai berbincang, tapi karena aku lebih muda darinya tentu aku harus bersikap ramah lebih dulu walau Mbak iparku ini terlihat judes. Apalagi potongan rambut cepaknya dan kulitnya yang hitam menambah kesan garang pada dirinya. Menyurutkan keberanianku untuk menjadi dekat dengannya. Beruntung Mbak Iparku ini responya baik terhadapku walau sebelumnya dia seolah menganggapku gadis kota yang mungkin sama sekali tidak pernah menginjak dapur.

Mungkin tiga hari setelahnya pandangannya terhadapku berbeda. Dia sangat menyukai sambel terasi yang kubuat. Katanya sangat nikmat. Apalagi aku dengan cekatan membantunya memasak, mencuci piring dan merapikan rumahnya. Setelah itu ada titik dimana Mbak iparku itu membuka suara yang baru kuketahui tentang Lintang dan Ibu mertuaku.

"Lintang itu kalo sudah di dalam kamar, seharian dia tak akan keluar. Dulu waktu sedang ribetnya ngurus pernikahanmu, dia malah asik luluran sampai Bude Sekar turun tangan untuk menegurnya."

"Ha? masak, sih, Mbak? Masak nggak mau bantuin sama sekali?" sungguh berkebalikan denganku, yang dulu ketika kakakku menikah, justru akulah yang mengurus hampir semuanya. Walau pernikahannya sederhana, tapi dari mulai memasak, mengurus seserahan aku sangat senang melakukannya.

"Tapi dia keliatannya pintar ya dikampusnya? Terus gimana respon Lintang ditegur gitu?" mendengar itu Mbak Iparku memutar bola matanya, lalu dengan cepat dua menjawab,

"Bilangnya pengen cantik. Gak ada urat malunya dia bilang seperti itu, ya? Kalau untuk pintar tidaknya Aku kurang tahu. Tapi Lintang, sudah entah berapa kali pindah sekolah ketika dulu dia masih SMA."

"Loh kok sampe gitu, Mbak? Apa nggak mahal ya bolak balik pindah sekolah? Mungkin nggak betah kali, Mbak sama sekolahnya, tapi kok sampe bolak-balik pindah, kenapa ya?"

"Iya dia berulah di sekolahnya. Pernah nyuri hp temenya. Justru letak tidak tahu dirinya dari situ. Dia itu anak angkat tapi udah dibela-belain kayak gitu malah tidak bersyukur. Malah seenaknya dan semena-mena."

Ha? Nyuri hp? Masak sih si Lintang kayak gitu? Kok minus banget sifatnya. Jadi ngeri dengernya. Sebab aku juga pernah dengar dari adikku, yang sahabatan dengan Sela. Dia bercerita kalau Lintang pernah digampar Bapak mertua karena ketauan ciuman dengan pacarnya.

Mbak Iparku semakin menggebu bercerita tentang Lintang yang katanya begitu malas dan tidak doyan gawe (tidak mau membantu orang tuanya mengerjakan pekerjaan rumah). Bahkan ketika mertuaku sedang sakit, Lintang malah sibuk bermain ponselnya. Tapi benarkah itu semua? Itu semua masih misteri yang belum tentu benar adanya.

Tinggal dua minggu disini, lama-lama ada kenyamanan yang hadir, karena Mbah Ningrat, kupikir hanya wajahnya saja yang seram, tapi beliau sering mengajakku ngobrol ya walau intinya sama seperti Mbak iparku. Beliau tak henti-hentinya menceritakan kejelekan Lintang dan Ibu Mertuaku.

"Tujuh tahun rumah tangga, tapi Lilis tak kunjung mempunyai keturunan. Itu semua karena dia nggak mikir dulu, kok dengan gampangnya nelan pil kb hanya karena enggak pengen punya anak dulu. Dia dulu kerja di kantoran, Nduk, mertuamu itu. Di PDAM."

Aku kaget mendengar itu semua dan ditekan rasa penasaran. Kukira karena memang Mertuaku sudah berusaha keras untuk memiliki keturunan tapi Tuhan tidak mengijinkan, tapi justru ada sebab kesengajaan ya ternyata. Mertuaku minum pil kb? Ya Ilahi...benarkah yang kudengar ini????

"Ow ngoten nggeh, Mbok?" responku yang sekenanya saja. Lalu berlanjut beliau menceritakan bahwa Lintang diangkat tanpa ijin dari dirinya dan main bawa anak itu ke rumah jawa. Ya, dulu Bapak dan Ibu mertuaku itu dinas di Rangkasbitung. Lebih tepatnya kerja sebagai polisi di Banten dan Ibu mertuaku kerja di PDAM.

"Lalu karena kasihan selama tujuh tahun tidak memiliki keturunan, Sulatri, ibu mertuamu kandung itu merelakan Mada anak bungsunya untuk diangkat anak oleh mereka. Itu karena Sulastri takut mereka bercerai. Bapak mertuamu itu mau menceraikan Lilis karena tak mampu memberi kami seorang cucu."

Ya Ilahi.... Jadi begitu ceritanya. Tak kusangka banyak cerita yang kutemui di dalam keluarga ini. Kupikir keluarga yang katanya kaya raya ini sangat harmonis dan tanpa ada rasa saling menjelekkan satu sama lain. Rupanya malah sebaliknya.
Walau Ibu mertuaku mandul tapi apa pantas beliau di salah-salahkan? Dijelek-jelekkan dibelakang tanpa ampun. Disini aku membela Ibu mertuaku karena risih saja mendengar orang sebaik itu masih saja direndahkan dan seolah dilupakan kebaikannya. Setauhuku yang sumber ketahuanku adalah berasal dari cerita De Yam, mertuakulah yang berpikir dan membiayai kuliah suamiku, bahkan kuliah di tempat yang menurutku cukup terkenal karena kampusnya berada di Jakarta. Kalau mereka tidak baik tentu tidak akan mau merawat suamiku dan membesarkanya tanpa kurang kasih sayang sedikitpun. Tapi itu hanya cerita sepihak dari De Yam, yang orang luar saja, yang tentu jarang berinteraksi dengan keluarga ini. Aku memang setelah menikah yang baru lamanya seminggu masih belum sempat mampir ke rumah mertua, jadi aku belum detail mengenal sifatnya. Minggu depan baru ada rencana untuk mengunjungi mereka. Ya, akan aku buktikan apakah apa yang mereka katakan benar. Apakah Lintang semalas itu? Apakah Bu Lilis akan sama seperti Mbak Ipar dan Mbok Ningrat yang diam diam membuka aib-aibnya di hadapanku? Entahlah, walau aku begitu ingin tahu kebenaranya. Biar saja waktu yang akan menjawabnya.

TANAH MERTUA (Cerita Nyata)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang