Revealing

180 38 8
                                    

Our lives are one masked all. - Gaston Leroux, The Phantom of the Opera.

 - Gaston Leroux, The Phantom of the Opera

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setiap keluarga punya rahasia. Individu di dalamnya seperti punya catatan sendiri akan hidupnya. Beberapa noktah tersirat, tidak ditorehkan dalam lembaran-lembaran memoar. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres ketika Papi dan Mami memanggilku ke ruang baca melalui Madam Ghauri, kepala pengurus rumah tangga kami sore itu. Hari keempat pada permulaan tahun 2018. Hujan rintik di luar. Kaca seukuran dua kali tinggi orang dewasa di pertengahan tangga utama ditempeli titik-titik air seperti metalik membiaskan cahaya matahari yang tetap berjuang meski sudah kalah telak tertutup awan kumulus. Setelah perkataannya yang menjanjikanku untuk menikmati waktu sejenak pada kepulanganku, sekarang mengapa Papi malah memanggilku ke ruang kerjanya seolah akan memberiku tugas meneruskan perusahaan keluarga?

Aku mampir ke dapur dan meneguk air putih dingin banyak-banyak sebelum berjalan ke ruang baca. Aku baru terbangun dari tidur siang yang lama. Rasa letih masih merambati setelah penerbangan lima jam dari Melbourne ke Jakarta. Belum sempat aku menikmati tidur yang cukup, aku menghadiri pesta ulang tahun Eyang. Pesta yang tak pernah kulewatkan sekalipun.

Melewati pintu jati kokoh dengan gagang kuningan berornamen elegan, aku menghempaskan diri hati-hati di sofa Chesterfield berlapis kulit. Ruangan kerja Papi bernuansa kayu, suatu hal yang menurutnya selalu membuatnya nyaman dan tenang. Ada jendela besar di kiri dan kanan ruang ini, yang senantiasa tertutup dengan gorden cokelat susu panjang berumbai. Ketika kecil aku takut berada di sini, takut Monster Tirai akan menculik dan menyembunyikanku, kemudian aku tak bisa kembali lagi untuk bertemu dengan orang yang kusayang.

Mami dan Papi di hadapanku. Sebuah globe sebesar bola pantai ikut menatapku dari belakang. Ada sirat ketidaknyamanan dan kekhawatiran dari Mami. Aku bisa melihat gerakannya yang gelisah memegang bandul kalung Cartier yang menghiasi leher jenjangnya hari ini.

"Awan, Papi pengen cerita sama kamu tentang sesuatu." Suara Papi yang bass itu membangkitkan respons Mami untuk menggenggam tangan papi. Aku mengernyit berusaha memetakan situasi. Foto dibelakang Mami dan Papi menampakkan wajah Mami dan Papi dua puluh empat tahun yang lalu. Wajah yang sumringah menatap kamera penuh hasrat gelora cinta. Sebuah Kastil yang berlokasi di Praha menjadi latar foto Mami dan Papi. Tempat bulan madu yang membuahkanku sebagai souvenir terindah honeymoon mereka. Untuk itulah nama tengahku 'Miroslav', sebuah kosa kata bahasa Cekoslovakia yang memiliki arti sabar. Mereka membubuhkan nama itu sebagai kenangan masa-masa indah mereka di awal umur dua puluhan.

Kini papi seperti terlalu banyak disentuh oleh waktu sehingga gurat-gurat kening dan samping matanya menonjol, sedangkan Mami, mengalami pertambahan berat badan yang signifikan setelah memiliki tiga anak. Bila boleh aku membuat perkiraan, berat badannya di foto itu mungkin empat puluh lima kilo, dan sekarang Mami sepertinya sudah menginjak angka enam di depan timbangan berat badannya. Namun, perbedaan yang paling kuperhatikan sekarang adalah ekspresi wajahnya. Bila dikomparasikan, air muka Papi dan Mami di foto itu dulu sangat bahagia, sedangkan sekarang sepertinya ada gundah yang merundung mereka, tapi aku belum boleh cemas.

" Sekarang, kan, Awan sudah dua puluh tiga, ya.... Papi sama Mami merasa sudah saatnya Awan tahu yang sebenarnya. Hmm, kita mulai dari mana, ya?" Papi malah bertanya. Tak kujawab. Mataku malah sedikit menyipit seolah dapat mengambil klu dari memindai wajah mereka berdua.

" Kasus penculikan yang dulu, lima belas tahun yang lalu...."

Aku menelan air ludahku sendiri. Ada perasaan tak enak dari sekat perut dan diafragmaku. Reflek otomatis yang tak dapat kukendalikan adalah jemariku mulai menggaruk kecil-kecil seolah mau mengikis kulit sofa yang aku duduki.

" Sebenarnya, sasaran utama penculikan tersebut adalah kamu, Awan.."

Diam sejenak. Aku mengerjap karena tak tahu lagi apa yang dapat kulakukan. Papi menatap Mami, kemudian Mami mengangguk kecil. Papi kemudian menatapku dan melanjutkan perkataannya.

" Dulu, ada kolega Papi yang enggak Papi suka. Kepribadiannya kurang oke dan omongannya kurang bisa dipercaya. Selain itu, dia juga banyak terlibat dalam bisnis ilegal. Hmm, impor barang ilegal, penggelapan pajak, dan pemalsuan surat-surat dagang. Semua itu dia lakukan buat cari untung. Ia menawarkan perusahaan bahan baku dengan dia sebagai importirnya. Bahan baku itu memang sangat kita butuhkan waktu itu, tapi Papi tetap menolak kerjasama dengannya. Papi lebih memilih bekerjasama dengan orang lain walaupun harga netnya lebih mahal. Rupanya ia tidak terima dan memakai cara paksa buat mendapatkan kontrak kerjasama.

Hari itu sehari sebelum kontrak supplier bahan baku ditandatangani. Dia sudah mengincar kamu dan bermuslihat supaya bisa nyulik kamu. Nantinya ia akan menggunakanmu, Awan, untuk bernegosiasi supaya Papi menerima tawaran kerjasama darinya, tapi...."

Papi berhenti berkata. Aku menelungkupkan telapak tangan kananku ke muka. Penculikan lima belas tahun lalu. Kasus yang mencetak sejarah dalam hidupku. Penculikan yang membuatku tak berhenti menangis dan demam selama seminggu.

" Awan, kamu nggak apa-apa?" Papi bertanya simpati padaku.

Aku memajukan posisi duduk. Tubuhku sedikit membungkuk dengan kedua lengan menjadi tumpuan. Tak ada suara, Papi memberi jeda. Aku menatap sebuah titik imajiner dan terpaku pada titik itu.

"Tapi Fey, temen deket kamu yang waktu kecil gayanya tomboi, yang rambutnya dipotong model batok sama kayak kamu, dan menolak pakai rok ke sekolah, dialah korban salah culik dari rencana penculikanmu, Awan. Kolega itu sudah terlanjur basah. Ia tidak bisa melakukan negosisasi untuk mendapatkan apa yang dia inginkan; kontrak kerjasama. Ia mengubah rencananya dengan meminta tebusan dari Mama Papa Fey. Dia begitu licin, dari seorang spekulator dagang, ia berubah jadi penculik anak dalam sekejap."

" Awan, kamu mendengarkan Papi kan?" Suara lembut Mami kudengar, tapi aku tetap tak diijinkan oleh diriku sendiri untuk berpindah fokus pandangan.


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


#trahtranggana #keluargatranggana #writhon #awantranggana #jakarta #glamour #mewah #ceritaorangkaya #penculikan #kalung #rahasiakeluarga #psikologi #ceritacinta #kisahmisteri #ceritamisteri #kalung #kisahcinta

LAVALLIEREWhere stories live. Discover now