There is a hope

85 19 7
                                    

Wildly my mind beats against you, but my soul obeys. - The Phantom of the Opera

Layar berpendar menerangi wajahku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Layar berpendar menerangi wajahku. Aku sedang menggulung dan menggulung tampilan layar smartphone untuk mencari suatu informasi.

Tok... Tok...

Itu gaya Mami, mengetuk dua kali tanpa menyapa. Aku tak beranjak dari posisiku dan mempersilakan Mami masuk.

"Masuk aja."

Mami membuka gerendel dan sepertinya langsung sulit beradaptasi dengan pencahayaan kamarku yang minim.

"Aduh, Awan. Kenapa, sih, selalu suka gelap-gelapan gini?"

Mami mematik sakelar lampu di tembok dekat pintu masuk. Dua belas lampu LED putih terang langsung menyala mengimbangi lampu pita yang dipasang estetik mengelilingi plafon kamarku. Aku yang jadi harus menyesuaikan pengelihatan dengan terang yang tiba-tiba seperti menyerbuku saat lengah. Aku memincingkan mata sambil mulai membiasakan diri.

Mami duduk di ujung kasurku. Ia duduk dengan hati-hati dan sopan. Tampaknya ia sedikit tidak nyaman harus menghadapiku yang sudah ia katakan 'dewasa' ini.

"Apa yang kamu lihat?"

Mami sekilas memperhatikan layar smartphone yang tak lepas dari genggamanku sejak tadi. Posisiku berbaring tengkurap sambil memeluk bantal memeriksa dengan teliti apa yang disuguhkan situs. Mami menepuk kakiku.

" Hmmh, nggak perlu kamu cari di situs lelang. Mami udah coba cari."

Aku menghela napas panjang, lalu melempar smartphone hingga membentur sandaran kasur beledu. Aku menyusup ke dalam sela-sela bantal dan guling lagi.

"Please don't be naïve. Mami sama Papi nggak akan minta kamu untuk cari kalung lapis lazuli itu kalau bisa kami tebus di pasar lelang."

Aku tak meresponsnya. Kalau tahu Mami masuk hanya untuk memperingatiku bahwa aku naif, aku akan pura-pura mati seperti musang saja tadi ketika ia memanggilku.

"Kami nganggep kamu sudah dewasa, Awan, makannya kami serahkan tugas buat cari kalung ini ke kamu. Kamu adalah harapan Engkong."

Fakta itu tak perlu sering diulang-ulang. Aku tahu aku anak pertama keluarga ini, aku laki-laki, dan juga cucu pertama Engkong. Silakan, teruslah menaruh beban di pundakku. Aku sampai tak mengerti, apa lagi yang harus kulakukan dengan semua ini. Selama ini aku berusaha menjadi diriku sendiri, tapi aku tak pernah menemukan seperti apa diriku sesungguhnya. Segalanya selalu membayangiku. Bisa dibilang, sampai sekarang, aku gagal jadi diri sendiri. Aku terlalu takut dengan sorotan dan lebih memilih mengapung dan mengikuti ke mana arus hidup membawaku pergi.

" Mami sama Papi udah coba selidiki ke kepolisian. Kami memang diam dalam waktu yang lama. Like we need some times to accepted all of things happened. Terlalu lama sampai kepala tim kepolisisan yang nyelesaiin kasus Fey waktu itu sudah meninggal. Papi sudah minta tolong cek barang bukti kasus lima belas tahun yang lalu, nggak ada kalung lapis lazuli Engkong di situ."

Aku menggerakkan kepalaku melihat mami. Penjelasannya tadi membuatku tambah ingin memberontak dan berteriak, tapi tidak mungkin aku memaki. Kalau sudah dicari dan benda itu tidak ketemu, ke mana aku harus mencari? Apa yang harus kulakukan?

"Masa kedaluwarsa kasus pidana dulu enam tahun, Awan. Meskipun Mama Fey berkenan kalau kita mau ungkit kasus itu, tetap nggak akan bisa diungkit. Seharusnya Kami nggak diam terlalu lama, jadi penculik Fey bisa dicari dan diinterogasi lagi. Kita bisa nanya di mana keberadaan kalung lapis lazuli itu."

Diam yang mencekam. Aku tahu Mami menyesal, tapi di sisi lain aku tidak bisa membayangkan jadi Papi dan Mami di kala itu. Keadaan pasti mengkhawatirkan dan mereka pasti sebisa mungkin bertahan.

Sudahlah, menyesal sekarang nggak akan bikin yang dulu berubah. Mami sama Papi waktu itu kalut, bahkan Mami trauma. Kami pertahanin kamu, Awan, supaya nggak sampai diproses oleh tim dan ditanyai sebagai saksi, mengingat kamu adalah satu-satunya orang di dekat Fey saat kejadian itu."

Dadaku kembali terasa sakit. Aku sudah tak tahan. Walaupun semua ini tidak bermaksud menyudutkanku, tapi kini mereka menuntutku untuk berbuat sesuatu. Apa? Apa yang bisa kulakukan? Kukuku mulai kugesek-gesekkan pada kasur.

"Kenapa nggak datang ke lapas dan nanya sama penculik itu tentang kalung?" Dengan ragu-ragu aku membuka suara.

"Sudah. Dia tak tahu apa-apa. Ah ya, dalang penculikan itu, yang kolega Papi, memang sudah divonis bersalah dan dihukum seumur hidup, tapi penculikan itu dieksekusi nggak sendirian, Awan. Ada beberapa orang yang membantunya."

Aku menegakkan diri dan duduk bersandar. Aku seperti pemburu yang baru mencium petunjuk yang akan menerangi jalanku. Mungkin di mataku tersirat pertanyaan; " Siapa?" dan "Di mana dia?" yang membuat Mami melanjutkan carita setelah sebentar membasahi bibirnya. Mata Mami menatap ke bawah saat mulai berbicara.

"Ada seorang pelajar, dia masih kelas 2 SMA waktu penculikan itu. Dia yang bawa Fey dan jaga Fey selama disekap. Sayangnya, ia termasuk anak di bawah umur, dia menghilang setelah kasus itu."

Sial, aku tak mungkin menghentakkan kaki dan menuju kulkas untuk meneguk Belvedere-ku saat ini. Mami tentu saja tahu aku peminum, tapi Mami tak tahu kalau aku minum juga di siang atau di sore hari. Aku bisa menyimpulkan, tujuan Mami datang mampir ke kamarku adalah mulai menyalakan timer upayaku untuk mencari kalung itu.

"Fey balik pulang Jakarta sama kamu, kan? Hmm. Mami juga nggak yakin akan hal ini. Ini, mami kasih kamu kartu nama psikolog yang namanya baru naik daun, dia barusan nyelesaiin Pendidikan di Leiden. Pas kejadian itu, kamu kalungkan batu lapis lazuli itu pada Fey, kan? Coba kamu pikirkan lagi, apakah memungkinkan meminta tolong sama Fey? Kalau Fey bisa dibawa therapy untuk mengingat apa yang terjadi lima belas tahun yang lalu ketika dia diculik, mungkin kita bisa nemuin kalung lapis lazuli itu."

Mami memainkan sebuah kartu nama. Kartu nama itu pasti tidak terbuat dari kertas, melainkan jenis plastik. Ada suara khas ketika Mami menjentikkannya dengan ibu jarinya. Lama, sebelum akhirnya Mami beranjak berdiri dan meletakkan kartu itu di meja seberang kasurku. Sebelum Mami keluar, ia menundukkan badan, membelai pipiku. Aku tahu, ia sayang padaku.

"Semoga kamu jadi orang kebanggan Mami, Papi, juga Engkong ya,Nak"

Aku pun kecewa karena yang diucapkannya tidak mengandung kata-kata cinta. Aku menyibakkan bedcover dengan kasar dan beranjak menuju kulkas. Belvedere akan menyelamatkanku dari frustasi. Sambil meneguk dengan brutal, aku melirik kartu nama yang diletakkan mami di atas meja. Benar saja, kartu itu dari plastik PVC transparan, kesan feminin kudapat dari kartu dengan garis lengkung dibawah nama pemiliknya; Marietta Gunawan, M.Psi, Psikolog, Ph.D.

#writhon #writhontranggana #lavalliere #awantranggana #keluargatranggana #trahtranggana #misteri #dramamisteri #kisahcinta #ceritacinta #kehilangan #psikolog #cowokkeren #fiksipsikologi #crazyrich #ceritacrazyrich #psikologi #terapi #penculikan #l...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

#writhon #writhontranggana #lavalliere #awantranggana #keluargatranggana #trahtranggana #misteri #dramamisteri #kisahcinta #ceritacinta #kehilangan #psikolog #cowokkeren #fiksipsikologi #crazyrich #ceritacrazyrich #psikologi #terapi #penculikan #love #ceritacinta #desire #novelmisteri #psikologi #penculikan #ptsd #memori

LAVALLIERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang