Responsibility

170 35 6
                                    

Past the point of no return, no backward glances : the games we've played till now and end. - The Panthom of the Opera

" Yang jadi fokus utama sekarang bukan penculikannya, tapi kalung yang hilang saat penculikan itu, Awan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

" Yang jadi fokus utama sekarang bukan penculikannya, tapi kalung yang hilang saat penculikan itu, Awan." Papi melanjutkan bicara.

Setiap perkataannya seperti daging alot yang sulit sekali kucerna. Berapa puluh kali pun aku mengunyahnya, ia tetap melukai kerongkongan dan membuatku mual saat menelannya. Mulutku bungkam sampai aku tak bisa berkata,"Tolong, stop sebentar." Aku perlu waktu sebelum benang kusut ini dikerik lebih lanjut untuk diurai.

Pada titik fokus imajiner itu nalarku berproses. Sudah berusaha kupisahkan daya pikir logis ini dengan dadaku yang kelu karena perasaanku yang tidak nyaman, tapi tetap saja aku merasa bersalah akan semua yang terjadi. Jadi, akulah penyebab Fey diculik dulu. Fey yang sejak saat itu berubah menjadi sosok pendiam, lalu seperti dipantik listrik ia kembali menjadi sosok ceria yang tiba-tiba jadi tidak tahu apa-apa. Fey mengubur peristiwa mengerikan itu sendirian, ia melupakannya. Ia menjadi sosok yang diluar tampak baik-baik saja, tapi satu bagian ingatannya lenyap sebagai upaya pertahanan diri.

Fey, gadis manis yang melalui fase kehidupannya bersamaku. Kami lulus SD dan mengalami masa pra-remaja bersama. Aku melihatnya ketika rambutnya mulai dipanjangkan. Ia tidak memotongnya lagi ketika helai-helainya melebihi telinganya. Padanya aku bercerita pengalamanku membayangkan sosok perempuan Jepang yang kutonton sembunyi-sembunyi bersama teman-teman cowok lainnya saat istirahat sekolah dengan berkerumun di sudut WC. Saat itu aku menatap tak berkedip pada perempuan yang megap-megap seperti ikan dengan ekspresi wajah nakal. Aku mengisi benakku dengan rangkaian suara yang kuciptakan sendiri karena kami tidak mungkin nonton film biru dengan volume hidup di WC sekolah.

Saat itu Fey hanya terkikik dan menyelamatiku; "Welcome to the new world!" katanya. Setelah itu, aku tak bisa lepas dari Fey. Gadis dengan senyum yang menampakkan gigi gingsulnya itu menjadi fokus duniaku. Beranjak SMA, sikap tomboi Fey seolah luntur. Ia mulai memakai anting berlian sederhana dan rambutnya yang dipanjangkan sebatas leher digerai dengan indah. Kami bersama memasuki tahap pendewasaan, dimana ia dan aku sama-sama bertanggung jawab akan pilihan jurusan kuliah masing-masing. Aku tetap bersamanya, aku menjaganya. Kami berbagi sebuah apartemen bersama di Melbourne. Aku mendampinginya karena aku ingin di sisinya, bahkan sejak dulu, ketika penculikan itu terjadi, aku takut setengah mati tidak bisa berjumpa lagi dengannya.

Namun, ternyata akulah yang menyebabkan Fey harus menjalani kehidupannya seperti robot yang kehilangan sparepart. Harusnya aku yang diculik, bukan Fey. Seandainya aku yang diculik saat itu, Fey tidak akan jadi seperti sekarang ini. Tersesat  dan tidak siap menghadapi dunia setelah kami lulus sekarang ini.

" Awan...." Mami memanggilku. Suara Mami terdengar lebih tegas dan membuyarkan lamunanku.

" Jadi, aku penyebab Fey diculik?"

" Ehm, kejadian itu sudah lima belas tahun yang lalu, Awan. Kehidupan berjalan. Kamu juga udah secara nggak langsung nebus semua itu dengan selalu nemenin Fey. Kalian sama-sama terus sejak SD, sampai lulus kuliah. Itu sudah berlalu, Awan. Kamu udah 23 tahun, Mami sama Papi ngerasa kamu udah cukup matang buat tahu fakta ini." Mami menjelaskan. Tangannya masih dalam genggaman Papi, wajah Mami tampak khawatir sekaligus terdesak. Suaranya meneguhkan, tapi sekaligus menuntut.

Aku menutup mata dan mengangguk. Aku mengeraskan gigiku, dan benar saja, ada suatu hal lain yang mendesak untuk disampaikan.

" Ini tentang kalung. Kamu ingat, kan, kalung lapis lazuli warisan turun-temurun keluarga Mami? Kalung itu diwariskan pada setiap anak pertama dalam keluarga dan Mami memberikannya padamu."

Setiap Mami berbicara padaku, nada bicaranya menyampaikan kepedulian, kebanggaan, tapi aku merasa ada sebuah tuntutan di sana. Seperti kali ini, aku kembali ditegaskan sebagai anak pertama dalam keluarga ini. Seolah aku memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih. Hatiku sebenarnya gentar, aku merasa entahlah. Apakah aku sanggup menerima harapan dan kebanggaan itu?

Tentu saja aku mengingat kalung lapis lazuli itu. Dingin logam itu terkadang masih terasa di kulit sekitar dada. Beratnya membuat leher kecilku sering menunduk tanpa kusadari. Samar-samar aku pun masih mengingat bentuknya. Kalung itu adalah kalung rantai panjang dengan batangan-batangan kecil membentuk seperti prisma yang membiaskan sinar. Prisma tersebut menghubungkan kalung dengan liontin pembingkai bergaya vintage yang mencengkeram erat batu oval biru bertitik-titik. Dulu, aku hanya tahu namanya kalung lapis lazuli, belakangan aku tahu bahwa lazuli bukan nama orang melainkan nama batu kristal.

"Kalung lapis lazuli itu milik Engkong Buyut yang diwariskan pada Engkong, kemudian Mami, dan Mami padamu, Awan. Kalung itu adalah hadiah persahabatan dari rekan yang membantu Engkong Buyut merintis bisnis dulu. Rekan itu seorang Belanda, ia sendiri yang menempa kalung lapis lazuli itu dengan model kalung Perancis yang disebut Lavalliere. Batunya sendiri berasal dari Rusia. Dulu, batu lapis lazuli ini salah satu batu yang dianggap paling berharga oleh orang di Daratan Cina. Banyak karya seni yang menggunakan batu ini. Engkong menggunakan batu ini sebagai simbol keluarga."

Sampai di sini Mami berhenti sejenak membasahi bibirnya. Aku melihat papi mengelus jemari tangan mami dengan halus.

"Mami memang salah. Waktu itu kamu masih kecil dan selalu bertanya semua hal yang kamu lihat. Kamu lihat kalung lapis lazuli ketika Mama buka kotak perhiasan dan Mami menjelaskan bahwa kalung itu kalung warisan untukmu. Kamu nggak sabar untuk meraihnya waktu itu. Matamu memantulkan biru liontin kalung itu. Mami masih ingat dengan jelas. Kamu memakainya esok hari tanpa Mami tahu. Kamu ingin hem, pamer benda yang menurutmu sangat keren waktu itu. Ya, penculikan itu terjadi dan pas ketika kamu mencobakan kalung ini pada Fey. Fey kembali, tapi kalung lapis lazuli itu nggak."

Aku mengerjap dan memainkan rahangku. Sebagian diriku seperti disalahkan akan hilangnya kalung itu .

" Engkong sekarang sudah sakit karena usia tua. Parkinson-nya makin parah dan takutnya akan berpengaruh terhadap daya ingatnya. Lansia dengan Parkinson punya preferensi lebih tinggi untuk mendapatkan gejala demensia, Awan. Engkong sangat sadar tentang hal itu. Sebelum itu terjadi, Engkong minta supaya kalung lapis lazuli itu ditemukan. Lima belas tahun yang lalu, kalung itu hilang ketika kamu bawa. Sekarang kamu sudah dewasa dan kami harap kamu bisa membawanya kembali."

Mungkin sudah sejak tadi awan kumulus abu-abu menang menggeser posisi matahari dan menurunkan hujan deras . Bunyi guruh seperti suara gong mengawali tugasku untuk membuktikan kebanggaan Mami Papi.

"Jangan merasa terbeban. Kami akan sokong dan dukung kamu selalu dari belakang, Awan. Kami tidak mungkin melakukan pencarian selama ini; kehidupan terus berjalan dan segala urusan perusahaan mengikat. Kami menyerahkan tugas ini padamu, Awan. Kami tahu, kamu bisa melaluinya." Perkataan Papi yang bermaksud memberi semangat, malah seolah menegaskan akan tanggung jawab yang dibebankan pada pundakku.


#trahtranggana #keluargatranggana #writhon #awantranggana #jakarta #glamour #mewah #ceritaorangkaya #penculikan #kalung #rahasiakeluarga #psikologi #ceritacinta #kisahmisteri #ceritamisteri #kalung #kisahcinta

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

#trahtranggana #keluargatranggana #writhon #awantranggana #jakarta #glamour #mewah #ceritaorangkaya #penculikan #kalung #rahasiakeluarga #psikologi #ceritacinta #kisahmisteri #ceritamisteri #kalung #kisahcinta

LAVALLIEREWhere stories live. Discover now