The Opera

72 20 2
                                    

The Panthom of the Opera is there inside my mind. - The Pantom of the Opera

Kenapa aku tidak memilih jurusan medis saja waktu lulus SMA, ya? Hal konyol yang terlintas sesaat karena aroma vodka yang lebih mirip bau steril rumah sakit meliputi kamarku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kenapa aku tidak memilih jurusan medis saja waktu lulus SMA, ya? Hal konyol yang terlintas sesaat karena aroma vodka yang lebih mirip bau steril rumah sakit meliputi kamarku. Aku bisa mencium harum vodka yang tipis sekali, walaupun hampir tak terbau, bau itu menempel di serat kain yang kukenakan. Aku menyesap vodka, mendiamkannya sejenak mengisi rongga mulut sebelum meluruhkannya menyongsong kerongkongan.

Smartphone berpendar sebentar, kemudian bergetar, dan selanjutnya berbunyi. Panggilan dari Fey. Segera kuletakkan gelas di meja dan kuperiksa benda itu.

" Ya, halo."

" Awan, keluar, deh."

Aku memutar badanku di tempat, lalu menghampiri jendela tinggi yang ditutupi tirai. Kusibakkan sampai lapis terdalam untuk mengintip dari batas kaca.

Tet... Tet....

Fey membunyikan klakson. Ia juga menekan dim sehingga dua lampu mobilnya seperti mendelik ke arahku.

"Ngapain kamu, Fey? Udah malem gini. Literally udah pagi ini, udah ganti hari."

" Ayuk, kita pergi."

" Ke mana? Mau kemana kamu, Fey?" Perasaan tidak enak menyemprot dadaku. Aku takut ia memaksaku pergi mencari sosok laki-laki itu.

" Udah, buruan turun, yah."

" Enggak, ah. Kamu pulang aja!" Tak sampai sedetik aku selesai mengucapkannya. Nada bicaraku seperti mengusir Fey. Aku menyesal.

" Awan..., Ayolah, temenin aku ke suatu tempat."

" Nggak, ah, udah tengah malem gini. Kamu aku anterin pulang aja, deh."

" Ih, Awan. Aku bukan mau pulang. Aku pengen kamu ikut aku. Oke? Turun ya."

Desah panjang di ujung kalimat tadi membuatku menurut saja pada kemauannya. Aku memang tak bisa menolak hampir semua kata yang keluar dari mulutnya. Kubasuh wajah dan leherku, kumasukkan dompet kulit lipat ke kantong, kemudian setengah berlari menuruni anak tangga untuk menghampiri Fey.

"Kamu nih lucu, Awan. Giliran ujan gini malah nggak pakai jumper." Fey berkomentar, ia sudah bergeser ke kursi penumpang dengan meloncati batas di mobil mini cooper kuningnya sehingga aku langsung saja masuk menempati kursi pengemudi menghindari semakin banyak titik hujan menerpaku.

Fey menepuk-nepuk pundak dan menyibakkan rambutku yang sedikit basah. Dia juga membauiku. Aku menyesal kenapa tidak mengganti kaosku. Ah, terlalu banyak yang kusesali. Aku menyesal bahkan untuk keputusan-keputusan kecil seperti ini.

Aku mulai menginjak pedal gas, mobil berjalan. Aku memberi satu sapaan klakson khasku pada satpam. Aku melirik Fey di sebelahku, meskipun tak bersuara, aku tahu Fey kecewa. Vodka memang tidak memiliki bau tajam seperti minuman alkohol lainnya, tapi bau itu tetap saja bisa ditangkap dan jadi sensasi olfaktori yang berbeda.

LAVALLIEREWhere stories live. Discover now