Lost

89 21 2
                                    

Don't go, don't leave me in the dark. - The Phantom of the Opera

Mataku menyisir ke segala penjuru arah mencari dua sosok penjaga kami

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mataku menyisir ke segala penjuru arah mencari dua sosok penjaga kami. Sekolah sudah sepi, tapi mungkin masih ada beberapa guru di ruangan mereka di lantai dua. Sekarang hanya ada aku dan Fey di lapangan tempat kami berdiri. Perasaanku tidak enak. Keheningan itu membuat suara Fey menggema.

" Lalala, dududu..." Fey bernyanyi mengiringi tarian hula-hulanya sendiri.

Kemudian aku seperti melihat kilasan film rusak karena dipercepat beberapa kali. Aku melihat figur yang berlari sangat kencang menyambar pergelangan tangan Fey dan mengangkatnya dengan mudah seolah Fey adalah boneka kertas yang ringan. Orang itu berlari lagi keluar dari gerbang, langkahnya secepat kilat dan sigap. Ia lari seperti bayangan yang cepat sekali hilang. Orang itu tinggi, badannya kurus, tapi aku tak sempat melihat mukanya. Aku hanya ingat ia memakai sepatu kanvas yang warna talinya berbeda kiri dan kanannya.

Pak Satpam yang baru saja menuntaskan hasratnya untuk buang air, keluar dari toilet dan terlihat buru-buru memasang ikat pinggangnya sambil berusaha berlari mengejar orang yang membawa Fey. Pak Satpam itu menghubungi rekannya lewat HT.

Aku tertegun melihat sendiri Fey ditarik, lalu di gendong dan dibawa lari dengan sangat cepat. Aku mendengar suara derap langkah kaki guru-guru yang berlarian menuruni tangga untuk melihat apa yang terjadi. Sebelum mereka sampai di hadapanku, tangisku tak terbendung sehingga aku berteriak sekuat tenaga.

Air mataku mengalir dengan derasnya. Aku anak laki-laki yang terisak di tengah lapangan sekolah. Guru-guru mengerumuniku. Kepala Sekolahku yang saat itu adalah seorang Ibu berambut bob pendek dengan blazer merah bata menuntunku untuk kembali naik ke lantai dua dan duduk di sofa empuk ruang tunggu yang dindingnya penuh dihiasi piala sampai ke langit-langit. Air mata membuat pandanganku seperti kabut berair dan ingusku seperti membekap hidung sehingga aku tak bisa bernapas.

Perasaanku saat itu sangat mengerikan. Aku menangis karena ditinggalkan. Aku menangis karena kawanku satu-satunya ditarik paksa. ku takut kawanku terluka. Sisi hatiku yang lain takut karena tak bisa lagi berjumpa dengannya. Dasar hatiku malah menyalahkanku. Kenapa aku diam saja tak bereaksi saat orang itu menyambar Fey? Seharusnya aku bisa memukulnya. Aku bisa menarik tangan Fey yang satunya dan mempertahankan Fey. Kalau aku melakukan itu, waktu pasti terulur dan pasti akan banyak orang berkerumun seperti ini sehingga Fey tidak akan bisa disambar secepat itu. Kenapa aku tidak berteriak? Bahkan hal sepele saja aku tak bisa melakukannya. Berteriak akan membuat semua orang tersadar dan bisa menangkap orang yang mengambil Fey lebih cepat. Apa sebenarnya yang kulakukan? Aku diam saja tak melakukan apa-apa sementara sahabatku ditarik paksa dan di sambar orang. Aku sungguh..., aku....

Sementara itu Papi dan Mami telah dihubungi oleh guru lain. Papi hadir sejam setelah kejadian berlangsung dengan membawa dua orang pengacara. Aku dibawa pulang sambil digendong Papi dari samping. Tangisku mereda. Rasa hangat mulai menjari tubuhku. Aku lemas karena jantungku berdebar keras sejak tadi. Aku ketiduran di dalam mobil Alphard. Ketika aku terjaga, di hadapanku sudah ada Mami yang sibuk berbicara di telepon.

"Awan belum bisa ditanyain, sabar, ya, Sist. Sekarang Awan demam. Awan ngigau terus nama Fey. Minta polisi untuk ngecek CCTV jalanan. Ya..., Ya..., aku sudah panggil pengasuh pengganti untuk Awan, sudah datang. Ya, keduanya jadi tersangka sekarang dan bukan tanggung jawab kita lagi."

Kemudian aku sesak napas. Mami panik, Madam Ghauri membawa selusin orang ke kamarku hilir mudik. Ada para asisten rumah tangga yang giliran menjagaku dan menyiapkan susu, buah, cemilan, dan cokelat. Ada yang memperhatikan jam dan tak pernah terlambat mengganti plester penurun panasku. Mereka juga menyelimutiku dengan selimut listrik. Ada driver yang naik turun memastikan barang dan obat yang hendak dibeli. Dokter dan perawat memberikanku suntikan supaya demamku lekas turun, bahkan ada seseorang yang memasang lagu relaksasi dan menghidupkan humidifier supaya aku lebih tenang.

Tanpa sadar, aku demam sudah hampir seminggu. Dalam kondisi demam itu, aku tidak sadar apa yang sedang terjadi. Suara-suara orang datang dan pergi seperti dengungan. Aku hanya dengar kalimat-kalimat yang tak utuh. Hawa kekhawatiran sangat terasa. Diriku malah sibuk menyalahkan diri sendiri kenapa aku tak bisa melindungi Fey. Fey adalah sahabatku satu-satunya. Ia rela menemaniku berlama-lama bermain di sekolah. Ketika ada suatu hal buruk terjadi padanya, kenapa aku diam? Sahabat macam apakah aku?

Diriku kecewa pada perilaku dan sikap yang aku ambil saat itu. Selama seminggu aku memilih untuk sakit, mungkin alam bawah sadarku menghendaki hal itu supaya aku tak disalahkan. Diriku yang pengecut tidak sanggup menerima tatapan sinis orang lain yang menghakimi kediamanku saat itu. Mungkin sakit menjadi mekanisme pertahanan diri seseorang. Aku inginh bertanya tentang bagaimana keadaan Fey tapi lidahku seperti mati rasa dan tak bisa berkompromi untuk menghasilkan suatu bahasa.

Aku hanya mengerang dan mengucapkan huruf vokal secara terbata-bata seperti orang gagu yang tak pernah diajari berkata-kata.

Aku terbangun di sebuah hari yang entah hari apa, aku tidak ingat. Aku merasakan sendi-sendi di buku jariku tak lagi ngilu. Aku berkeringat dan merasakan udara dalam kamarku terlalu hangat.

"Syukurlah, Sist! Sekarang tinggal menuntutnya sampai habis!"

Aku mengerjap. Aku berusaha mengumpulkan tenaga, mengangkat badanku sehingga posisiku duduk setengah bersandar ke belakang.

" Anak gadis itu..., semoga dia dalam lindungan Tuhan, ya. Semoga semuanya aman, Sist."

" Ma.., a, a, mi."

Walaupun suaraku tak lebih nyaring daripada suara mesin humidifier, Mami langsung menoleh ketika kupanggil. Mami dengan anting mutiaranya yang anggun dan elegan itu memelukku. Ia bertukar suhu badan denganku. Mataku masih buram dan kepalaku berat, tapi ada senyum tipis yang terkembang dari bibir Mami yang merah muda tanpa pulasan lipstik.

" Demamnya turun, ya. Mbak, tolong termometer."

Aku membuka mulutku untuk prosedur pengukuran suhu, tapi sebelum alat itu masuk ke dalam mulutku, aku sempat terlibat pembicaraan dengan Mami.

" Fey?"

" Fey sudah ketemu, Nak. Penculiknya juga sudah ketangkep. Untung penculiknya minta tebusan 2M, jadi polisi bisa ikut dalam operasi penebusan sandera. Sudah, yang penting demam kamu udah turun. Syukurlah. Untung demamnya sudah turun sekarang. Mami sudah kepikiran macam-macam sama kamu, Awan."

Mami kembali memelukku dan mengusap punggungku. Usapannya membuatku damai dan sejenak memejamkan mata lagi. Namun, aku teringat sesuatu. Aku tersentak dan melepaskan diriku dari pelukan Mami. Termometer masih terselip di dalam rongga mulutku, kugigit dengan gigi geraham supaya tak jatuh. Aku bertanya pada Mami;

" Kalung lapis lazulinya, Mi...?"

Mami tidak menjawabnya dan malah memelukku lagi. Aku semakin membenamkan wajahku pada dada Mami. Tanpa sadar, aku menangis. Kali ini tangisanku lirih.

#writhon #writhontranggana #lavalliere #awantranggana #keluargatranggana #misteri #dramamisteri #kisahcinta #ceritacinta #kehilangan #cowokkeren #fiksipsikologi #crazyrich #ceritacrazyrich #psikologi #terapi #penculikan #love #ceritacinta #desire ...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

#writhon #writhontranggana #lavalliere #awantranggana #keluargatranggana #misteri #dramamisteri #kisahcinta #ceritacinta #kehilangan #cowokkeren #fiksipsikologi #crazyrich #ceritacrazyrich #psikologi #terapi #penculikan #love #ceritacinta #desire #novelmisteri #psikologi #penculikan #ptsd #memori

LAVALLIEREWhere stories live. Discover now