[8] Pelarian dan kebahagiaan

3.4K 407 14
                                    

Dia melukis wajahnya sambil tertawa di kertas putih. Seakan-akan bertanya. Apa aku pernah melakukannya, tawa seperti ini.

-Adinda Maharani Syilla-

"Siapa Din?"

"Darrel Bunda," jawab Dinda sembari meletakkan ponselnya di atas meja. "Darrel pamit untuk pulang nanti malam karena lagi bersama temannya."

"Kamu mengizinkan?" pertanyaan Rani membuat Dinda memandangi Bundanya begitu intens.

"Iya Bunda."

"Apa ini karena Bunda?" Rani meraih jemari Dinda untuk ia genggam. Perasaanya mulai tak tenang, namun Dinda menggeleng.

"Dinda takut Bunda, Darrel akan bersikap sama seperti Dinda. Dia selalu menyimpan masalahnya sendiri, menyembunyikan tanpa mau berbicara sama Dinda," ucapnya. "Setiap kali Tissa bertanya, Darrel tak pernah mau menjawab. Setiap kali Dinda dan Regal bertanya. Dia hanya menggeleng lalu tersenyum. Darrel baik-baik aja Bunda."

Dinda menunduk melepaskan sesak yang mengurung napasnya. "Senyum itu membuat Dinda sakit."

"Sayang," panggil Rani, ia mengusap jemari Dinda memberikan ketenangan. "Apa yang membuat Darrel menyimpan semuanya sendiri. Apa Darrel mengalami sesuatu di sekolah?" Dinda menggeleng lagi, ia tidak mengetahui apapun.

"Darrel bahkan tak pernah bercerita tentang teman-temannya sama Dinda Bunda. Tak ada satu nama pun yang pernah ia sebutkan. Kecuali_"

"Kecuali?" Dinda mengembuskan napasnya.

"Anna!"

Tangan Rani terlepas. "Anna? Anak Anisa?" Dinda mengangguk.

"Darrel begitu senang dan antusias saat ia bercerita tentang Anna. Gadis itu datang ke sekolah Darrel bahkan ingin dia ajak untuk datang kesini Bunda."

"Lalu apa yang salah?"

Pertanyaan sang Bunda justru membuat Dinda memejamkan matanya takut.

"Din," Rani di kungkung rasa panik. "Kamu belum memberitahu Darrel?"

Dalam kegundahan Dinda menjawab
"Belum Bunda. Dan sepertinya Anna juga belum mengetahui segalanya."

"Ya Allah, kenapa?"

"Bunda," sekarang Dinda yang menggenggam jemari Bundanya. Satu tetes air matanya terjatuh. "Bagaimana cara menjelaskan ke pada Darrel dan Anna, dari mana cara memulai segalanya. Mengatakan kalau ayah mereka sama? Memberitahu bahwa ayahnya memiliki dua istri? Siapa di antara mereka yang akan mengerti lebih dulu."

"Dinda."

"Bagaimana jika Anna melihat wajah Mas Adnan lalu menatap Darrel. Apa yang akan terjadi Bunda, bagaimana perasaan Anna? Bagaimana jika Anna membenci Darrel?" isakkan terus lolos yang membuat Dinda menyekanya beberapa kali.

Menjauh dari Nisa, mengubur segala hal yang pernah mereka lalui di masa lalu tetap tak mendapat restu dari semesta. Buktinya, ada jalan ketika Anna dan Darrel bertemu lalu mengungkit kisah yang sempat tenggelam.

"Adnan juga butuh pengakuan dari kedua anaknya Dinda. Bahkan sampai akhir hidupnya pun, ia tak melihat putra bahkan tak mengetahui kehadiran putrinya," Rani memelankan intonasi suaranya. Memperhatikan gurat cemas dari Dinda yang justru membuat ia merasa sakit.

"Tapi Dinda yang belum siap Bunda. Kondisi Darrel tak memungkinkan ia tahu tentang ayah kandungnya, Darrel dengan segala raut sendunya," bibir Dinda bergetar, pegangannya semakin kuat.

"Bunda. Darrel pintar melukis, tapi lukisan itu tentang dirinya."

"Apa maksud kamu?"

"Wajah dia tertawa di dalam sana Bunda. Darrel seakan bertanya pada diri sendiri. Pernahkah dia melakukan itu. Tawa yang serupa?" Dinda menunduk dalam-dalam. Netra yang basah mulai ia usap.

Hai Darrel [Tamat]Where stories live. Discover now