Enam Belas

661 83 12
                                    

Keenan menghentikan mobilnya di parkiran kantor polisi, membuat Amasha yang duduk di sampingnya menoleh keheranan.

“kita ngapain kesini?” tanya Amasha.

Keenan menghela nafas, “sebenarnya aku tidak ingin ikut campur terhadap urusannya karena masih menganggap dia sebagai teman lamaku, tapi dia berani melanggar larangan serta peringatanku. Aku tidak bisa diam saja dan menonton sampai dia benar-benar menyentuhmu, Masha.”

Amasha mengerutkan dahi, “kamu ngomong apa sih?”

Keenan membuka seatbeltnya, dia juga membuka seatbelt Amasha.

“pertama, kita turun dulu. Ada seseorang yang harus ku temui,” kata Keenan.

“siapa?” tanya Amasha.

“nanti kamu akan tahu. Perlu ku bukakan pintunya?” tanya Keenan.

Amasha menggeleng, “nggak usah.”

Keenan mengangguk, dia dan Amasha keluar dari mobil. Keenan menuntun Amasha memasuki kantor polisi. Saat Keenan berbicara dengan beberapa petugas, Amasha hanya mengamati keadaan sekitarnya karena ini adalah pertama kali bagi Amasha datang ke tempat itu.

Setelah selesai dengan urusannya, Keenan membawa Amasha ke ruang besuk. Meskipun kebingungan karena tidak tahu siapa yang akan Keenan besuk, Amasha memilih untuk diam dan duduk dengan tenang di samping pria itu.

Beberapa saat menunggu, dua orang petugas polisi membawa seorang pria muda yang Amasha perkirakan usianya masih awal dua puluhan. Pria itu memakai pakaian narapidana. Saat petugas menyuruh pria itu duduk di hadapan Amasha dan Keenan, dia menurut tanpa banyak protes.

Keenan menghela nafas panjang setelah dua orang petugas tadi menjauh, memberi privasi untuk mereka. Keenan mengeluarkan ponsel dari saku, mengutak-atik sebentar sebelum meletakkannya di atas meja yang memisahkan Amasha serta Keenan dengan si narapidana.

“hai, boleh aku tahu siapa namamu?” tanya Keenan ramah.

“bukannya seharusnya saya yang nanya sama kalian? Kalian siapa? Kenapa mau menemui saya?” tanya sang narapidana.

Keenan tersenyum, “kami kerabat dari gadis yang kamu tabrak sampai mati itu.”

Sang napi terkejut, sedetik kemudian dia menunduk menatap meja, “maaf, saya memang lalai. Saya tidak sengaja.”

“lalai? Tidak sengaja? Sungguh hanya itu alasanmu membunuh gadis kecil yang tak bersalah? Bukan untuk dua milyar rupiah?”

Lagi-lagi napi itu terkejut, dia mengangkat kepada dan menatap Keenan lagi, “maksud anda apa?”

“nama lahir Mario Dwi Susanto, nama panggilan Rio, usia dua puluh satu tahun, pekerjaan sopir truk sampah daur ulang. Anak yatim yang menjadi tulang punggung keluarga, harus membayar hutang-hutang mendiang ayahnya, menghidupi seorang ibu yang didiagnosis kanker payudara dan juga tiga orang adik yang masing-masing masih bersokolah di SD, SMP dan SMA. Kamu kah itu, Rio?”

Amasha (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang