Delapan belas

694 81 16
                                    

Cahaya temaram di basement gedung apartemen tetap tak bisa menyembunyikan senyuman yang terus mengembang di wajah pria itu. Pria yang saat ini hatinya tengah berbunga-bunga karena terlalu bahagia. Bagaimana tidak? Beberapa saat yang lalu dia baru saja melakukan sesuatu yang sangat dia impikan selama ini, yaitu mencium bibir Amasha. Iya, pria yang tengah tersenyum itu adalah Keenan.

Masih sambil terus tersenyum, Keenan menggandeng Amasha menuju mobilnya. Dengan gentle, pria itu membuka pintu mobil untuk Amasha. Setelah memastikan Amasha duduk dengan nyaman, Keenan memasangkan seatbelt kemudian menutup pintu mobil. Setelah itu Keenan juga ikut masuk dan duduk di belakang kemudi. Dengan perasaan gembira yang meluap-luap, Keenan mengemudikan mobilnya meninggalkan gedung apartemen tempat Adelle tinggal.

“Sudah makan siang?” tanya Keenan saat mobilnya mulai meluncur ke jalan raya.

Amasha menggeleng, “Tadi aku gagal makan pasta buatan Adelle.”

“Kita makan siang, yuk!” ajak Keenan.

“Aku terlalu takut sampai nafsu makanku hilang, Keenan.”

Keenan melirik Amasha, “Hei, kemana dokter Amasha yang selalu tenang dalam setiap situasi itu? Kalau meringkuk begini, kamu jadi seperti anak kecil.”

Amasha cemberut, “Jangan menyebutku seperti anak kecil!”

“Kalau gitu kita makan, ya? Aku janji enggak akan menyebut kamu anak kecil lagi setelah kita makan siang nanti,” bujuk Keenan.

Menghela napas panjang, Amasha akhirnya mengangguk.

Keenan tersenyum senang, pria itu semakin bersemangat mengendarai mobil menuju restoran favoritnya.

Setelah lima belas menit berkendara, mobil Keenan akhirnya tiba di parkiran restoran favorit pria itu. Dengan senyuman cerah, Keenan membukakan pintu mobil Amasha dan menggandeng sang dokter cantik memasuki restoran.

Keenan memesan salah satu meja di lantai dua, lantai khusus pelanggan VIP. Meja yang Keenan pilih berada di tengah ruangan, tepat di bawah lampu gantung mewah yang menjatuhkan cahaya temaram ke wajah Amasha yang cantik. Sekali lagi, Keenan terpesona menatap wajah gadis yang kini tengah duduk berhadapan dengannya. Pelayan yang datang menanyakan pesanan menyeret Keenan kembali ke alam sadar, pria itu memesankan menu makan siang untuk Amasha dan untuk dirinya sendiri. Setelah sanga pelayan pergi, Keenan kembali memandangi wajah cantik yang hari ini begitu pendiam itu.

“Kenapa kamu ngelihatin aku terus?” tanya Amasha.

“Aku jatuh cinta lagi,” sahut Keenan.

Amasha menaikkan alisnya, membuat dahi sang dokter cantik berkerut lucu, “Sama aku?”

Tersenyum lagi, Keenan mengangguk.

Amasha menghela napas, “Ya, jatuh cintalah kepadaku sepuasmu. Aku enggak akan melarang.”

“Kamu mengizinkanku mencintaimu?” tanya Keenan sedikit terkejut.

“Memangnya aku pernah melarangmu mencintaiku?” tanya Amasha.

Keenan menggeleng, “Tidak, tapi kamu selalu menarik garis batasan yang sangat jelas untukku dan Ryu. Kamu selalu bilang bahwa kamu enggak akan memilih salah satu di antara kami.”

“Memang,” sahut Amasha, “tapi itu saat kamu dan Ryu bersaing untuk memperebutkanku. Sekarang Ryu sudah bukan lagi sainganmu, jadi kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau.”

Amasha (END)Where stories live. Discover now